Perahu Aster 1

195 53 104
                                    

Aster melihat nasi goreng yang telah dihidangkan di atas meja dengan mata berbinar dan kedua sudut bibirnya tertarik lebar, membentuk senyum sumringah. Ia segera menggeser kursi dan mendudukinya. Ia sudah tidak sabar lagi untuk segera menyantap nasi goreng tersebut.

"Kalau makan pelan-pelan, Aster. Nanti kamu keselek, loh." Peringat Nuri yang berjalan dari arah dapur sambil membawa dua gelas air putih.

"Nasi gorengnya enak banget, Bu. Jadi semangat makan nasi gorengnya," kata Aster sambil memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Nuri hanya tersenyum melihat tingkah anaknya yang kekanak-kanakan. Meskipun Aster sudah menginjak umur tujuh belas tahun, tingkah kekanak-kanakannya tidak pernah hilang.
Apalagi jika diajak jalan-jalan ke supermarket dan melihat suatu benda yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Wah, senangnya minta ampun.

Setelah selesai sarapan. Aster segera berpamitan dengan ibunya untuk berangkat ke sekolah.

"Aster berangkat sekolah dulu ya, Bu. Assalamualaikum." Pamit Aster sambil mencium punggung tangan Nuri.

"Waalaikumsalam. Sekolah yang rajin ya, biar bisa jadi anak yang sukses," pesan Nuri.

"Siap, Bu." Aster mengangkat tangan kanannya seperti hormat kepada bendera. Kemudian Aster beranjak pergi ke sekolah.

Nuri sangat bangga kepada Aster. Meskipun Aster bukan anak kandungnya, ia tetap menyanyangi Aster seperti anak kandungnya sendiri.

****

Selembar kertas yang semula putih bersih kini telah ternodai dengan tinta berwarna hitam yang menghasilkan tulisan berjejer rapi di atas kertas tersebut. Tanpa lelah tangan itu terus memegang bolpoin dan menggerakkannya dengan lihai ke arah kanan dan ke kiri. Telah sampai dikata terakhir bolpoin itu dijatuhkan di atas meja.

"Akhirnya selesai juga." Ujar Aster sembari meregangkan jari-jari tangannya.

"Lo udah selesai nyatet materinya?" tanya Mentari dengan tatapan yang masih terfokus ke arah bukunya.

"Udah," balas Aster singkat. Lalu ia merapikan buku beserta alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Cepet banget lo nulisnya. Gue aja baru nulis satu lembar setengah," gerutu Mentari.

"Kalau nulis itu jangan pakek perasaan," ujar Aster.

"Ihh apaan, sih." Aster hanya terkekeh pelan.

Aster Aleisha Castarica. Seorang gadis rajin dan tentunya punya otak cerdas serta pintar yang hampir mirip dengan otak Albert Eistein. Ia selalu mendapat peringkat paralel di Trijaya Manggala. Nilainya terus naik dan tidak pernah turun.

Meskipun berasal dari orang biasa dan sederhana tetapi pemikirannya sungguh kaya raya. Aster tetap menggali segala potensi di dalam dirinya agar wawasan dan pengetahuannya luas.

Hingga sahabatnya yang bernama Mentari Cindya Loka, yang ingin mengalahkan peringkat Aster pun tidak pernah berhasil. Ia selalu menduduki peringkat sepuluh besar.

Setelah beberapa menit kemudian, Mentari telah selesai mencatat materi dari buku paketnya. Ia segera membereskan semua alat-alat tulisnya.

"Ke kantin, yuk!" ajak Mentari kepada Aster.

"Ayo. Tapi gue mau ke perpustakaan sebentar, mau cari buku sejarah. Lo duluan aja ke kantin. Entar gue nyusul," kata Aster.

Mentari mengangguk mengerti dan mengangkat satu jempol kanannya. "Oke."

****

Seorang cowok bertahan tanpa lelah sembari memacu keringatnya yang bercucuran membasahi tubuhnya. Napasnya terengah-engah sejalan dengan waktu.

Matahari mungkin sekarang sedang tidak bersahabat dengannya, karena memancarkan terik yang menyengat. Tetapi angin segar memberi kenikmatan yang tidak terbatas. Bersama detak jantung yang tidak terkendali ia merasa bahwa kini telah bebas.

Pukulan smash yang terakhir dapat mencetak poin pada timnya. Kini gemuruh-gemuruh riuh dari para penonton di pinggir lapangan membuat dirinya tersenyum bangga. Ia memberikan tampilan yang membuatnya menjadi juara, menjadi idola, dan menjadi cowok paling keren di antara mereka.

Tiba-tiba kesenangannya yang ia rasakan saat itu luntur seketika. Disaat bola yang ia mainkan mendarat di kepala seseorang yang tidak pernah ia duga.
Gadis itu tertunduk di pinggir lapangan bola voli sambil memegangi kepalanya dan mengerang kesakitan. Kemudian cowok tadi berlari ke arahnya.

"Lo nggak papa kan?"tanya Samudra.

"Kepala gue sakit," ujar Aster yang masih menunduk ke bawah.

"Makanya jangan duduk di pinggir lapangan," ketus Samudra.

Aster langsung berdiri dari duduknya dan membersihkan belakang roknya yang kotor terkena debu.

"Lo kok bisa nyalahin gue. Yang main bolanya siapa? Terus yang mukul bola dan kena kepala gue siapa? Nanti kalau gue gagal otak gimana?" kesal Aster.

"Jelas-jelas ada anak main voli di lapangan seharusnya lo nggak duduk di sini," kata Samudra.

Samudra tetap tidak mau mengalah. Ia merasa dirinya yang paling benar dan Aster yang salah.

"Gue tadi duduk buat menali tali sepatu gue yang lepas," ujar Aster dengan menekankan kata menali.

Samudra tetaplah Samudra yang tidak mau mengalah dan tidak mau mengakui kesalahannya. Ia mengambil bola volinya. Lalu pergi meninggalkan Aster yang masih berdiri di tempat. Aster diam-diam mengumpati cowok itu berkali-kali.

"Dasar cowok nyebelin. Awas aja kalau otak gue sampai bocor!" Aster berdecak kesal sembari mengelus kepalanya yang masih terasa sakit.

Sebenarnya Aster tidak ingin mempermasalahkan itu semua. Aster cuma sedikit takut saja kalau terjadi sesuatu di kepalanya. Kalau yang terkena pukulan bola itu anggota tubuh yang lain tidak masalah. Tapi jika yang terkena pukulan itu kepala bisa berbahaya.

Perahu AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang