Perahu Aster 10

88 38 132
                                    

"Lo gila atau emang udah benar-benar gila?"

Aster merasa kesal sendiri dengan tingkah Langit barusan. Bagaimana mungkin ia akan membawa pulang semua bakpau-bakpau itu ke rumah. Mau dibuat apa nanti? Apakah Aster sendiri yang akan memakan satu kantong plastik bakpaunya? Tidak mungkin kan.

"Gila gimana maksudnya?" tanya Langit tidak mengerti dengan pertanyaan Aster.

"Lo gila udah membeli bakpau satu kantong plastik. Mau dibuat apa nanti bakpaunya?" Aster kembali menatap ke arah kaca bus.

"Dimakan. Terus kalau nggak habis bisa dijual lagi besok," ujar Langit.

"Sinting. Bakpaunya pasti udah basi, mana bisa dijual lagi."

"Dibagi-bagi ke tetangga kan bisa. Lumayan buat nambah pahala," ucap Langit tersenyum senang.

Benar juga dengan apa yang dikatakan oleh Langit. Bisa juga buat sedekah dan mendapat pahala. Tapi mana mungkin bagi-bagi bakpau ke tetangga kalau bakpaunya cuma satu biji. Padahal tetangga Aster kan banyak.

"Lagi pula kenapa lo beliin bakpau?" tanya Aster beralih menatap ke arah Langit yang sedang duduk di sebelahnya sambil menikmati perjalanan pulang.

"Uangnya terlalu besar dan lo nggak punya kembaliannya. Lalu gue mendapat ide cemerlang yaitu beli bakpau sebagai gantinya. Kebetulan di seberang halte tadi ada yang menjual bakpau, yaudah deh gue beli aja. Pikirku sih penjualnya mau gue beli juga," jelas Langit.

"Hah? Apa kata lo tadi? Penjualnya mau lo beli juga?" tanya Aster.

Langit mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Aster langsung tertawa kecil dan ia tak habis pikir tentang tingkah Langit.

"Aneh banget ya. Gue nggak bisa bayangin, si penjualnya ikut lo beli juga."

Langit langsung tertawa sembari berkata, "Jangan lo bayangin, entar lo bisa stres kalau lo bayangin terus."

"Iya deh iya."

Kemudian Aster kembali menatap ke arah kaca bus. Ia memandang indahnya jalanan kota yang dipenuhi dengan kendaraan yang melintas dan berbagai gedung-gedung yang menjulang tinggi. Serta lampu lalu-lintas yang selalu berdiri di sepanjang jalan. Seulas senyum terukir di wajah Aster. Jalanan kota memang indah.

"Aster," panggil Langit.

"Iya."

"Lihat tuh ada telolet lewat." Langit menunjuk ke arah depan. Aster pun beralih menatap ke depan dan melihat telolet yang dikatakan oleh Langit.

Namun Aster tak melihat satupun telolet yang lewat.

"Mana nggak ada telolet? Emangnya apasih telolet?"

"Telolet itu adalah tayo. Hei tayo, hei tayo dia bis kecil...."

"Nggak ada tayo di sini," potong Aster.

"Ada."

"Mana?"

"Bis yang kita tumpangi ini namanya tayo." Tawa Langit langsung pecah hingga membuat penumpang lainnya langsung menatap ke arahnya.

"Candaan lo nggak lucu."

******

Setelah turun dari bus yang ditumpanginya tadi, Aster langsung berjalan ke arah gang masuk kompleks perumahan tempat ia tinggal.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, mungkin sekitar sepuluh menit saja Aster sudah sampai di depan rumahnya. Kebetulan juga Nuri sedang menyapu di halaman.

"Aster udah pulang ya." Nuri menghentikan aktivitas menyapunya saat melihat Aster sedang berjalan ke arahnya.

"Udah Bu," balas Aster.

Perahu AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang