Muak

3.9K 168 2
                                    

Kevin menyampirkan jaket kulitnya ke bahu. Malam ini Kevin akan kembali menuju rumah orang tua Mila. Sekarang masih jam setengah sembilan. Kevin harap ia menemukan apa yang ia cari.

Belum sampai langkah Kevin keluar dari pintu. Suara bariton menggelegar memenuhi ruang tamu.

“Mau ke mana lagi kamu?! Sekali saja kakimu berani melangkah keluar, saya pastikan kamu tidak akan bisa lagi menghirup udara segar!” teriak Vian –Ayah Kevin lantang.

Tangan Kevin mengepal. Semangat membaranya tiba-tiba mulai meredup. Kevin ingin sekali melawan orang jahat itu, namun akal sehatnya masih bisa menahan dirinya agar tidak berbuat bodoh. Jika Kevin keluar dari rumah ini bagaimana caranya ia akan menemukan Mila? Tentu ia masih membutuhkan fasilitas ini untuk menata hidupnya dan Mila di masa depan.

“Kemari!”

Kevin masih diam di depan pintu.

“Saya bilang kemari, Kevin Dirgantara!”

Dengan langkah berat Kevin berjalan mendekati Vian. Rasanya ia sangat kesal, orang tua itu pasti akan memintanya untuk belajar sangat keras.

“Mau ke mana kamu, hah! Saya suda berulang kali katakan. Jangan pernah kamu keluar tanpa seijin saya. Sekarang kembali ke kamarmu dan kerjakan tugas sekolah!”

“Baik,” balas Kevin acuh. Ia segera berjalan menaiki tangga dengan sorot mata kesal.

“Tadi pagi pihak sekolah menelpon saya. Mereka bilang kamu akhir-akhir ini sering bolos. Saya tidak mau lagi mendengar kabar buruk seperti itu. Kalau sampai hal itu kembali terulang... cambuk di lemari saya yang akan mengenai kulit putihmu itu, camkan!”

Kevin tidak menggubris ia berjalan cepat menuju kamar. Lalu membanting pintu sangat keras, ia sangat muak selalu ditekan seperti itu oleh ayahnya seandainya ibunya masih ada mungkin saja ia tidak akan mendapatkan nasib malang seperti ini.

Kevin mengapai foto sangat ibu di nakas. Wajah manis dengan senyum lebarnya membuat Kevin sangat rindu. Kevin rindu betapa lembutnya sapaan manis, canda, tawa dan omelannya yang terkadang membuat kuping Kevin rasanya panas dingin. Tapi tidak masalah Kevin maklumi itu.

Semenjak sang ibu pergi Vian mulai kasar. Ia mulai membentak, memukul dan mencambuk Kevin semaunya. Yang selalu Vian inginkan adalah Kevin selalu yang paling terdepan, ia ingin Kevin sempurna. Nyatanya Vian tidak pernah menyadari perbuatannya selama ini membuat psikis Kevin terguncang. Ia selalu mendapat mimpi buruk, ia seolah berada dalam neraka.

Kevin membuka buku fisika tebal miliknya dengan berat hati. Saat ini Kevin tidak fokus belajar. Namun ia tidak punya pilihan lain. Ulangan harian besok ia harus mendapatkan nilai seratus, kalau tidak Vian akan menghadiahkan dirinya dengan cambuk besar yang pria itu beli setahun sejak meninggalnya sang ibu. Kevin terus belajar tanpa henti, membaca berulang sampai ia terkantuk-kantuk. Lalu kepala itu mulai mencari titik ternyaman untuk terlelap.

Keesokan paginya Kevin bergegas ke dapur. Memasak telur dadar dan nasi goreng untuk sang ayah. Lalu bersiap ke sekolah dengan seragam yang sudah rapi. Saat Kevin menata makanan di meja makan. Vian keluar dari kamarnya dengan setelan kemeja kantor. Irisnya menatap tajam mata sang putra. Dia tidak tersenyum atau menyapa. Kevin pun sudah tidak lagi mengharapkan hal itu. Kevin sudah terbiasa di perlakukan kasar. Ia sudah mati rasa dengan yang namanya rasa peduli orang tua.

“Sudah pahami pelajarannya? Ingat. Jangan sampai nilai ulangan harian kamu buruk,” katanya sembari memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulut.

Kevin mengangguk, ia memutar bola mata jengah. Apa setiap keluarga selalu begini? Bukanya memberikan nasehat yang baik ia malah menuntut anaknya mendapat nilai sempurna.

“Kamu jangan sampai menyembunyikan hasil ulangan kamu dari saya. Saya akan langsung tahu kalau kamu sampai berbohong,” ujar Vian dengan mata memicing tajam.

“Iya.”

“Bagaimana dengan kabarnya Arjuna, dia sudah hampir satu tahun tidak lagi datang ke sini. Apa kamu membuat dia marah?”
“Pandu sangat beruntung memiliki anak seperti dia. Jika saya punya anak seperti dia, saya pasti akan menjadi ayah terbahagia di dunia ini,” ucap Vian sembari tersenyum kecil.

Kevin benci. Kenapa ayahnya tidak bisa sedikit saja melihat dirinya. Apa dia pikir Kevin ini anak pungut? Atau memang benar bahwa sebenarnya Kevin bukanlah anak kandungnya. Kevin tersenyum palsu dalam hati ia ingin sekali berkata, “ Kenapa lo ngga jadiin dia aja anakmu!” namun itu hanya tertahan di dada. Tidak mungkin ia akan mengatakannya, terlalu banyak siksa yang menunggu di depan mata.

Vian berangkat lebih dulu dengan mobilnya. Sementara Kevin membersihkan sisa makanan lalu bergegas ke sekolah. Cuaca hari ini begitu cerah, teriknya mentari pagi mampu membuat siapa saja mengadu kepanasan. Padahal saat ini masih jam tujuh lewat. Di parkiran Kevin mendapat sapaan dari para juniornya. Dan seseorang yang paling Kevin tidak suka mulai mendekatinya.

“Pagi Kak Kevin,” sapa Mona.

“Ya,” balas Kevin cuek.

“Kak Kevin. Besok ulang tahun aku, kakak datang ya?” pinta Mona sembari menyerahkan undangan untuk Kevin.

“Lihat aja nanti.”

“Okey, semangat belajar ya, Kak. Kalo gitu Mona duluan ya.”

Kevin mengibaskan undangan dari Mona. Ia hampir saja membuang kartu undangan itu namun urung. Ini bisa jadi alasanya untuk keluar mencari Mila malam ini. Kevin berjalan menuju kelas dengan perasaan gembira. Setidaknya walau ia tidak suka dengan Mona ia bisa sedikit mengorek informasi, seperti yang ia lakukan dulu.

Ulangan berjalan dengan khidmat. Tidak ada kebisingan, awalnya Kevin mengerjakannya dengan lancar namun sampai pada nomor sembilan ia mulai kebingungan. Semalam ia tidak belajar bagian dalam soal itu. Tamat sudah. Kevin mulai panas dingin. Ia melirik temanya yang ada di sebelahnya. Ia berbisik pelan.

“Winda. Bantuin gue dong, nomor sembilan gue lupa rumusnya,” bisik Kevin.

Winda hanya menggeleng lemah. Ia pun tidak tahu jawaban dari soal nomor sembilan.
“Sorry, Vin. Gue juga nggak tahu,” balasnya berbisik.

Kevin pasrah. Biarlah ia mendapat hukuman lagi kali ini, semoga saja nilainya tidak mempengaruhi kerja kerasnya mencari Mila. Ia akan lebih kecewa jika benar-benar demikian. Rasa sakit dicambuk tidak lebih menyakitkan daripada terkurung dalam sangkar penghalang dirinya dan Mila bertemu. Sudah Kevin katakan dia tidak akan berhenti mencari sampai ia kembali menggenggam tangan Mila dalam genggaman tangannya. Kevin kembali fokus pada lembar jawaban miliknya. Ia mengisi soal itu itu dengan apa yang ada di Kepala. Biarlah Tuhan yang menentukan bagaimana nasibnya setelah ini.

Belum pergantian pelajaran berbunyi satu kali. Dengan langkah santai Kevin mengumpulkan lembar jawaban, jika ditanya deg degan. Kevin akan menjawab jujur bahwa memang benar ia khawatir.


Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang