Undangan

2.7K 145 0
                                    

"Mila, maaf ya soal tadi. Mbak benar-benar tidak berniat melukai hati kamu."

"Nggak apa-apa kok, Mbak. Mila paham, makasih juga sudah ngajak aku jalan pagi Mbak."

Mila melambai lalu segera masuk kedalam lif. Sekarang sudah pukul 10 pagi, berjalan pagi membuat dia berkeringat banyak, ada rasa lelah dan segar yang ia rasakan secara bersamaan. Tapi ia kembali teringat dengan Kevin, sekarang Mila harus mulai berhati-hati. Kevin sudah mulai datang ke tempat  itu. Padahal jarak dari rumah Kevin sangat jauh, bahkan untuk sampai ke daerah ini memerlukan tiga jam perjalanan.

***
"Hari ini kita ke rumah mama yuk, Kak!" Mila berujar, sedari tadi siang, ia merasa tidak enak. Pikirannya tidak tenang, ia selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk kalau saja Kevin tiba-tiba menemukannya.

Arjuna yang tengah mengerjakan tugasnya di meja belajar melirik ke arah kasur yang  istrinya itu tiduri. "Tumben? Kenapa, kok kamu kaya gelisah gitu?"

Mila menggeleng, lalu bangun dari posisi rebahannya. Tidak mungkin ia menceritakan tentang Kevin kepada Arjuna. Mila tidak ingin kembali membuka lembaran-lembaran halaman memori yang sejak dulu ia tutup dengan rapat.

"Aku cuman... kangen aja sama mama."

"Besok aja kita perginya yah? Sekarang belum bisa ini udah jam sepuluh malam, kamu juga jangan bergadang. Udah tiduran lagi, gih."

"Yauda deh, Kak Juna ngga mau aku buatin kopi?"

"Ngga usah. Aku bisa buat sendiri kok, kamu kan udah capek-capek bawa si Dedek, hal-hal kaya gini aku bisa lakuin sendiri. Kalau kamu capek sama pekerjaan rumah, kamu bilang aja. Aku sering lihat kamu kesulitan, jangan sungkan minta bantuan," Arjuna berujar, lalu menggeser kursinya sedikit, mendekati Mila yang terduduk di sisi kasur. Tangan besar Arjuna membelai lembut rambut Mila, ia mengulas senyum tulus.

"Itu kan emang udah tugas aku, Kak. Kamu cari uang dan aku bantuin lakuin pekerjaan rumah, aku ngga bisa dong, melimpahkan segala urusan ke kamu. Apalagi aku tahu, kamu pasti capek banget. Sekolah aja capek, apalagi kamu harus ngurus kafe lagi."

Arjuna mengangguk, lalu tangan besarnya menempel di pundak sang istri. "Yang kamu bilang itu benar. Tapi... kalau aku bisa bantu kamu kenapa enggak? Aku nikahin kamu bukan buat jadi babu, tapi istri. Teman hidup aku, kamu bisa anggap aku sebagai ayah, abang atau teman kamu. Kamu pasti ngga akan sungkan buat curhat sama mereka, jadi itu juga berlaku sama aku, jangan sungkan-sungkan lagi yah, janji?"

Mila mengangguk dengan senyum lebar. "Iya, Kak. Makasih banyak buat semuanya. I love you, katanya lalu memeluk Arjuna erat.

Arjuna balas memeluk Mila tak kalah erat." I love you more, Mbul. Udah sekarang tidur, ya. Ayo rebahan lagi."

Mila menurut, ia rebahkan tubuhnya kembali. Semua rasa yang tadi terasa mengganjal  dalam sekejap langsung menghilang berkat ucapan penenang dari Arjuna. Mila merasa sangat-sangat bahagia disisi Arjuna, dia sangat mengerti apa yang Mila butuhkan. Kali ini, Mila benar-benar tidak akan berpikir dua kali untuk memberikan label suami idaman kepada suami pengertiannya itu.

Mila menutup matanya kembali, elusan tangan  Arjuna di perutnya membuat ia merasa nyaman. Tanpa terasa kantuk mulai menyerang hingga ia tertidur lelap, mendengar dengkuran halus dari sang istri membuat Arjuna tersenyum. Ia mengecup bibir Mila sekilas lalu mulai kembali menyelesaikan tugasnya.

Arjuna berjalan menuju dapur, memanaskan air di teko, lalu membuat segelas kopi. Tugas sekolahnya masih sangat banyak, ia harus menyalin catatan yang tertinggal. Selesai dengan secangkir kopi, Arjuna kembali ke kamar.

Mila terlihat bergerak gelisah dari tidurnya, mungkin karena lampu kamar yang belum juga dimatikan, Arjuna tahu betul wanita itu tidak terlalu nyaman tidur dalam keadaan lampu menyala. Arjuna segera membereskan peralatan belajarnya, lalu  menyusun buku-buku penting itu ke atas lengan. Setelah dirasa semua yang ia butuhkan sudah lengkap, Arjuna berjalan ke luar pintu kamar, lalu mematikan lampunya.

"Have a nice dream, Mbul."

Pukul 12 Arjuna baru saja menyelesaikan tugasnya. Ia hendak kembali ke kamar setelah membereskan bukunya dari meja di ruang tamu. Namun sebuah pesan masuk dari gawai miliknya.

Kevin
[Papa mau lo datang ke rumah. Katanya dia mau ketemu cowok pecundang kayak, lo.]

Arjuna mengerutkan dahi. Kevin-- pemuda  itu memang tidak tahu diri rupanya, dia yang menang dengan cara memeras orang lain merasa menjadi pemenang. Tapi masa bodoh dengan manusia sepertinya, kalau saja itu undangan yang diberikan Kevin, mungkin Arjuna tidak akan pernah mau. Namun dari dulu orang tua Kevin selalu baik kepadanya, bahkan ilmu usaha kafenya itu ia dapatkan dari Papanya Kevin. Demi menghormati orang yang berjasa dalam hidupnya, Arjuna menerima ajakan itu dengan senang hati.

Me
[Oke. Kapan.]

Kevin
[Besok, lo ngga usah nggak tau diri dengan membawa teman-teman sampah lo itu. Cukup lo datang sendiri aja udah bikin gue muak!]

Me
[Ok. Kalo lo ngga suka, kenapa lo ngga minta Papa lo buat nggak ngundang gue.]

Kevin
[I don't care. Bokap gue yang punya urusan sama lo, bukan gue.]

[Oya, mau ke kelab lagi nggak? Banyak cewek-cewek cantik dan seksi loh. Kali aja lo kecantol lagi ML sama pelacur-pelacur itu ha ha ha]

Me
[Gila.]

Kevin
[Ooh, gue tahu. Apa lo udah  di pelet sama jalang yang lo tidurin waktu itu? Secantik apa sih dia itu, gue jadi penasaran. Lo benaran masih berhubungan sama dia?]

Me
[Shut up your rotten mouth! Jangan pernah sebut dia jalang lagi!]

Arjuna mematikan ponselnya, ia tidak mau terpancing lagi oleh orang gila seperti Kevin. Perkataan Kevin yang menyebut Mila jalang sudah cukup membuat darahnya mendidih. Arjuna mengusap wajahnya kasar.

Kevin benar-benar bukan lagi orang yang dulu ia kenal. Dia benar-benar sudah jauh berbeda. Dahulu, dia bahkan memaksa Papanya untuk memasukkan dia di SMA yang sama dengan Arjuna. Tapi karena alasan sekolah yang Papanya pilih itu sangat elite dan dari kalangan internasional  membuat Kevin mau tidak mau harus menuruti permintaan orang tuanya. Apalagi, Arjuna juga merasakan, semenjak Mama Kevin meninggal saat mereka masih duduk di bangku kelas 9 SMP. Papa kevin mulai mengekang dan memukul Kevin semaunya, jika nilai yang ia dapatkan lebih rendah dari nilai Arjuna.

Mungkin, itu juga alasan Kevin mulai kehilangan jati dirinya sendiri. Arjuna memaklumi itu. Kehilangan seorang ibu pasti membuat psikisnya terguncang. Apalagi Kevin bisa dibilang adalah anak yang sangat dekat dengan ibunya, sama halnya dengan dirinya. Dulu, jauh dari ibu selama beberapa hari saja sudah membuat Arjuna tidak bisa makan dan tidur dengan teratur. Lalu Kevin? Dia sudah kehilangan ibunya selama empat tahun, itu pasti sangat berat untuknya.

"Vin. Gue harap lo  segera  menyadari betapa baiknya lo yang dulu."

Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang