Siang ini Mona tidak ada rencana ke mana pun, ia masih terus berbaring di kasur empuknya. Tangannya tidak berhenti mencari sosial media Mila. Tapi tetap sama, semuanya sudah non aktif, bahkan postingan terakhir adalah satu tahun lalu. Gusar, rasanya ini lebih melelahkan dari pada menjawab seratus soal matematika.
Mona menatap langit-langit kamar, ia sudah merasa lelah. Tapi rasa bersalah kian merundung, mencari sosok itu adalah cara agar hatinya kembali tenang. Kembali mata almon itu ia arahkan ke layar gawai, sebuah foto dengan nama akun @ArjunaDwipandu11 membuat Mona terpaku, bukan karena ketampanan pria bertopi hitam itu, tapi matanya fokus menatap perempuan di sebelahnya yang memakai masker, meski mulutnya dan hidungnya tertutup tapi garis menyipit di mata perempuan itu sudah menjelaskan bahwa dia sedang tersenyum, Mona cukup mengenal orang ini, dia terlihat seperti... Mila?
Mona masih fokus menatap foto itu, tidak salah lagi, ia sangat yakin bahwa perempuan itu adalah Mila--sahabatnya. Tapi siapa laki-laki ini, seingatnya ia belum pernah melihat dia. Ah itu tidak penting, segera Mona menguntit akun dengan nama @ArjunaDwipandu11 itu, semoga saja ia bisa menemukan titik terang. Tapi foto Mila hanya ada satu, sementara foto lainya hanya berisi kata-kata motivasi, dan... foto keempat laki-laki dengan seragam yang sama dengan seragam sepupunya, lambang SMA Pelita.
SMA Pelita, sekolah itu lokasinya sangat jauh dari Internasional school. Apa mungkin Arjuna ada hubungannya dengan Mila? Sinar di mata Mona yang tadinya redup kini kembali menyala, setidaknya ia punya sedikit titik terang. Dalam renung dan kebahagiaan, suara ponsel mengalihkan atensinya.
Nenek calling....
"Halo, ada apa, Nek?"
"Papa gak ada, Nek, lagi di kantor."
"Bawain kue ke rumah Bima?"
"Bisa, bisa kok, Mona berangkat sekarang."
"Iya, belum sih he he, iya nek, sekalian aku makan di sana deh."
"Bye..."
Panggilan terputus, sungguh sekarang Mona benar-benar senang berlipat ganda. Membawa kue ke rumah Bima, ini kesempatan langkah. Bima bersekolah di SMA Pelita, mungkin saja Bima tahu siapa Arjuna itu. Segera Mona menyambar kunci mobil di atas nakas, tidak ada hari yang lebih menyenangkan dari pada hari ini.
Tiga puluh menit berpacu dengan waktu di jalan raya, Mona tiba di kediaman nenek. Suasana rumah ini selalu sama, terlihat indah dan glamor seperti biasanya. Satpam di depan sana memberi hormat, membukakan pintu mobil untuk cucu kesayangan sang majikan.
Beberapa maid melirik Mona takut-takut dengan pandangan menunduk, tidak ada satu pun dari para maid di rumah ini yang tidak mengenal Mona, cucu perempuan pertama, gadis yang sedari kecil pandai sekali menyusahkan orang dengan sifat congkaknya.
Sifat buruknya itu yang membuat para maid di rumah nenek sangat tidak menghormatinya, mereka seolah menaruh dendam, dan beberapa maid yang mendekatinya tidak lain hanya seorang penjilat. Jika cucu sang majikan merasa senang dengan keramahtamahan mereka, maka sudah di pastikan mereka akan mendapat tambahan gaji.
Membandingkan Bima dan Mona sudah menjadi tradisi para maid di rumah ini, Bima di mata mereka adalah pemuda baik hati, dari kecil dia di penuhi cinta oleh para maid-maid itu. Bahkan mereka sangat setuju jikalau suatu saat nanti semua warisan sang majikan jatuh ke tangan Bima.
Mona melirik maid yang menunduk itu dengan pandangan malas, ia tidak peduli dengan tatapan sinis yang ia lihat beberapa saat lalu. Mona berjalan menuju meja makan, meja besar dan panjang itu selalu di penuhi banyak sekali makanan enak.
"Siang, Nenek...," sapa Mona sembari mengecup pipi keriput sang nenek.
"Siang, Sayang. Ayo, ayo duduk. Nenek sudah buatkan makanan kesukaan mu, lihat." Nenek membuka tudung saji di sebuah piring besar, di sana ada ayam taliwang kesukaannya, warna daging di dominasi warna hijau, dari cabai rawit hijau. Sangat menggugah selera dan rasanya tentu saja akan sangat segar.
"Wah, makasih banyak, Nek," balas Mona dengan raut sedikit tidak bersemangat.
"Kenapa, kok lesu sekali, Sayang?"
"Ehe he, gak pa-pa kok, Nek. Mona cuma lagi capek aja, di sekolah banyak banget tugas-tugasnya."
"Ooh begitu, ayo tetap semangat, sebentar lagi kan kamu sudah akan tamat dari SMA. Nikmatilah masa-masa mudamu ini, Nenek yakin, kamu akan merindukannya suatu saat nanti."
"Iya, Nek."
Hari ini Mona bisa makan dengan tenang, susana hati yang membaik dan hadirnya ayam taliwang kesukaannya membuat ia bisa menikmati makanan, yang biasanya terasa hambar kini mulai terasa nikmat di lidah. Mona baru menyadari berat badannya pun sudah turun dua kilo dalam dua minggu ini.
Mona setuju, ternyata benar kata orang, banyak pikiran membuat semua yang indah menjadi jelek, semua yang enak menjadi tidak enak, semua yang manis terasa pahit. Tapi sekali pikiran itu terkikis, semua yang terlihat berbeda kembali seperti sedia kala.
Setelah selesai dengan makanannya, Mona memilih segera bergegas ke rumah Bima, sekarang sudah pukul tiga, Mona harap Bima ada di rumah.
"Nek, sebaiknya Mona pergi sekarang ke rumah Bima, takutnya nanti dia malah uda pergi keluyuran."
"Ya sudah, titip salam Nenek ya kepada Bima," ujar Nenek dengan senyum manisnya.
"Baik, makasih juga buat ayam taliwangnya, Nek."
"Iya, Sayang. Hati-hati, jangan lupa pakai sabuk pengaman. Jangan bawa mobil ugal-ugalan, ingat kata pepatah..."
"Biar lambar asal selamat!" balas Mona dan nenek bersamaan, mereka saling menukar tawa, hingga akhirnya Mona pergi dengan semangat membara.
Tentu saja Mona akan selamat, ia belum mau mati konyol dengan rasa penasaran dan bersalah. Pokoknya dalam waktu dekat ini ia harus berhasil menemukan keberadaan Mila.
***
Jika ada yang membayangkan Jakarta itu sejuk, maka dia salah, sungguh salah. Jakarta itu sangat panas, macet, polusi udara di mana-mana. Dan ini yang membuat Mona begitu kesal, sudah hampir satu jam lamanya, ia terjebak macet. Berkali-kali ia memukul setir mobil, bahkan ia sudah mengantuk sekarang. Api semangat tadi kini mulai kembali meredup, ia tidak sabar menunggu.
Mobil crop merah yang ia kendarai hanya maju beberapa jengkal, lalu terhenti lama. Sial, pusing sekali rasanya jika sudah terjebak macet begini. Untung saja, mobilnya di lengkapi AC kalau tidak ia sudah membayangkan dirinya menjadi ikan asin hari ini. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Mona bisa lolos dari kemacetan itu. Untung saja, setelah jalan raya besar itu Mona hanya tinggal pergi ke perumahan elite yang tidak lagi harus ia menunggu hanya sekadar untuk memacu kecepatan si merah kesayangannya.
Mobil Mona terhenti di depan rumah tingkat dua bercat putih gading. Di luar sini tidak terlihat tanda kehidupan. Tapi setalah Mona turun dari Mobil kebetulan sekali ia bertemu dengan ART keluarga Bima.
"Bi, Bimanya ada?" tanya Mona di depan pintu.
"Ada, silakan masuk aja, Non. Mungkin den Bima ada di kamarnya, saya mau pergi buang sampah dulu, Non," ujar ART, ia terlihat sedikit kesulitan saat membawa sekantung hitam besar, yang katanya di dalam sana berisi sampah.
"Ooh, kalo gitu aku masuk dulu."
"Baik, Non. Permisi."
Kapan terakhir kali Mona datang ke rumah ini? semuanya masih sama, tidak ada perubahan sama sekali. Foto dia dan Bima kecil pun masih terpajang rapi di sana. Ooh Mona ingat, terakhir ia kemari saat ulang tahun Bima yang ke lima belas. Saat itu lah mereka mulai bermusuhan, tepatnya Mona sendiri yang mengibarkan bendera perang.
Tapi hari ini Mona datang mengorek informasi, tentu saja ia harus mengibarkan bendera perdamaian sekarang. Mona menaiki anak tangga, matanya menatap lurus ke atas sana. Di lantai dua ada tiga kamar. Mona melangkah mendekati pintu bercat putih polos, ia menarik knop pintu perlahan.
"Bima..." tidak ada sahutan, tapi Mona terus membuka pintu itu sampai ia sepenuhnya telah masuk ke dalam kamar bernuansa biru laut itu.
"Bima, gue bawain kue dari nenek!" masih tidak ada sahutan. Mona memilih menyimpan paperbag itu di atas meja belajar Bima.
Tapi bingkai foto itu membuat Mona benar-benar terpaku, matanya melotot dan dia mundur satu langkah. Hingga tidak sengaja ia menabrak dada seseorang di belakangnya.
"Lo ngapain di kamar gue?" tanya Bima dengan suara tidak suka.
Mona berbalik, menatap Bima yang meliriknya tajam, tampaknya pemuda ini baru saja mandi, di lihat dari rambutnya yang basah dan beberapa air yang jatuh dari helaian rambutnya.
"Gu-gue... gue, eh maksudnya nenek minta gue bawain lo kue."
"Oh, makasih. Lo bisa pulang sekarang," balas Bima maju selangkah, lalu mulai mengotak atik tas bawaan Mona.
Bima duduk di kasurnya, memasukkan satu potong brownis cokelat ke dalam mulut, tanpa menghiraukan Mona yang menatapnya dengan pandangan aneh.
"Lo tuli? Mama sama pa-pa gak ada di sini, kalo lo mau ngejek gue silakan pulang. Gue lagi males berurusan sama cewek sinting kaya elo," ucap Bima santai sembari kembali memasukkan potongan brownis ke dalam mulut.
"Gak, gue datang ke sini bukan cuman bawain kue lo, tapi gue mau minta maaf," balas Mona.
Bima mengorek kupingnya sendiri dengan tangan kiri. " Apa gue gak salah denger? Atau gue yang emang udah budeg, lo minta maaf?"
"Cih, kesambet setan apa lo?" Bima memicing curiga.
"Gue serius, maaf. Gue benar-benar minta maaf, Bim. Gue tahu gue udah salah."
"Gue butuh bantuan lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi Beda
Teen FictionJudul Sebelumnya [BECAUSE ACCIDENT] [TAHAP REVISI] Cerita ini tak terduga loh☡ alurnya bisa membuat kalian terkejut☺ cerita klasik yang bikin kamu penasaran tentunya😉 kalo tidak percaya sini buktikan sendiri❗ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA😉 Part awa...