Samyang

3K 166 0
                                    

Aina berjalan santai di jalan raya. Suasana malam ini terlihat begitu indah, dengan taburan bintang di langit sana. Malam ini Aina ingin sekali makan Samyang, beruntung mini market tidak jauh dari rumahnya. Jadi Aina tidak harus mengeluarkan ongkos untuk pulang dan pergi. Ia harus irit, berhubung sekarang masih tanggal tua.

Aina mengikat tali tudung hoodienya. Dingin. Telinganya terasa seperti terkena cairan es, kala angin malam menerpa. Tepat sepuluh langkah di depan mini market langkah Aina terhenti.

"Hai, Aina!"

Aina merasa mengenali suara itu, suara dalam  sedikit serak. Aina berbalik badan untuk memastikan apakah orang yang ia tebak itu benar.

Benar. Itu Nakula yang kini tengah tersenyum, memamerkan deretan gigi putih dengan dua gigi besar di tengah.   Malam ini Nakula terlihat sedikit berbeda dari hari-hari kemarin. Biasanya pemuda itu akan mengenakan kaos hitam dengan celana jeans. Selalu saja begitu, sampai-sampai Aina mengira bahwa Nakula tidak memiliki baju lain.

Malam ini. Nakula memakai baju kaos putih di padukan dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans hitam selutut. Dia terlihat tampan sekali di mata Aina. Persis seperti model dalam majalah yang ia lihat kemarin. Ah Aina hampir lupa. Dari awal masuk SMA Pelita ia memang sudah tahu, Nakula adalah salah satu mosth wanted di sana.

Tapi kali ini dia tampak berbeda. Kadar ke gantenggan Nakula meningkat. Membuat Aina terpesona. Sementara Nakula. Dia sekarang tengah menahan diri untuk tidak bersemu, ia merasa senang tapi sangat canggung melihat mata Aina yang masih saja setia terpaku pada dirinya.

"Ekhm... Ha-hai, Na. Ngapain malam-malam keluar sendirian?" Nakula berdehem pelan. Mengusir rasa canggung yang kian membuatnya takut. Takut membuat Aina ilfeel kalau sewaktu-waktu ia kembali berubah jadi pemuda pecicilan. Khusus untuk Aina, Nakula akan kalem.

"Eh? Anu. Aku mau ke mini market, Kak," balas Aina tersipu. Entah sudah berapa lama ia menatap Nakula, sekarang ia bahkan tidak berani mengangkat kepala. Benar kata orang, matamu mengalihkan duniaku. Mata teduh milik Nakula membuat Aina terhanyut di dalamnya, ingin semakin menyelam tapi takut tenggelam dalam duka. Iya duka, takut tidak bisa memiliki Nakula dan berujung patah hati. Aina takut patah hati, karena kata orang, patah hati lebih sakit dari pada patah tulang. Ngeri.

"Wah kebetulan. Aku juga mau ke sana, barangan aja, yuk?"

"Ayo."

***

Aina dan Nakula menenteng plastik belanjaan mereka masing-masing. Aina tadi sekalian saja membeli kebutuhan untuk satu bulan ini, sementara Nakula. Pemuda itu hanya membeli snack dan beberapa minuman soda kaleng. Keluar dari mini market, mereka saling melontarkan senyuman. Lalu saling melambaikan tangan perpisahan, rumah Aina dan Nakula tidak searah. Sayang sekali. Padahal Nakula masih ingin berlama-lama bersama Aina.


Mungkin lain kali. Begini saja sudah cukup melepas rindu di dada Nakula. Setelah uring-uringan seharian memikirkan pujaan hati. Siapa sangka mereka bertemu di sana, meski hanya sebentar. Apa ini yang orang katakan JODOH? Ah, Nakula berharap itu bebar adanya.

***
SiCebol

[Anterin gue beli martabak telor, dong. Bisa?]

Yudistira segera membuka pop up berisi pesan dari Saras. Tumben sekali gadis cebol itu mengiriminya pesan duluan. Biasanya Yudistira lah yang akan selalu memulai interaksi dengan Saras.

Yudistira segera mengetikkan balasan. Tidak mau sampai Saras menunggu dan menyumpah serapah kan dirinya karena lama membalas pesannya.

Me
[Bisa, otw rumahmu.]

SiCebol
[Ditunggu]

Yudistira segera meraih jaket jeans kesayangannya. Tiba-tiba terlintas sebuah ide, malam ini ia akan pergi ke rumah Saras dengan berjalan kaki. Yudistira ingin berhemat kok, tidak ada apa-apa, apalagi modus. Hanya saja, rasanya Yudistira ingin sedikit berlama-lama dengan gadis cebol tukang marah itu.

Yudistira mencium aroma keteknya sendiri. Tidak bau, tapi tidak wangi juga. Segera saja ia menyemprotkan parfum ke badan, ia teringat ucapan Sadewa waktu itu. Yang katanya perempuan suka dengan laki-laki wangi. Ini aneh, sekarang Yudistira menatap pantulannya di depan cermin. Memastikan pakaian dan semua yang ada padanya pantas untuk dilihat oleh. Saras -- si gadis cebol.

Seumur-umur. Yudistira tidak pernah peduli dengan penampilannya, apalagi ini hanya untuk bertemu dengan seorang gadis. Biasanya dia akan masa bodoh. Tapi sekarang kenapa ia merasa cemas, Yudistira takut membuat Saras tidak suka.

Yudistira memakai minyak rambut, lalu menatanya. Dia terlihat sangat rapi dan segar.

"Wah. Parah. Sejak kapan lo se- peduli ini sama penampilan?" tanya Yudistira pada diri sendiri. Ia kemudian mengacak-acak rambutnya, akal sehat dan gengsinya mulai kembali.

"Nah. Ini baru, tadi apaan sih. Berapa semprot parfum yang gue pake, kenapa gue berasa jadi pabrik minyak wangi," oceh Yudistira menyadari aroma harum di tubuhnya yang sangat pekat.

SiCebol
[Jadi datang gak sih? Kalo gak bisa, bilang dari tadi dong! Janngan bikin gue lama nunggu!!]

Yudistira terkesiap. Tidak ada waktu untuk ganti baju apalagi mandi. Ia segera berlari keluar rumah.

Rumah Yudistira dan Saras tidak jauh. Mereka hanya di pisahkan oleh dua kompleks perumahan elite dan perumahan kelas menengah. Cukup membuat tubuh banjir keringat, jika berjalan di siang hari. Tapi karena malam ini udaranya dingin. Yudistira tidak merasakan apa pun, yang ada dalam benaknya adalah segera bertemu Saras.

Masa bodoh jika orang-orang bilang Yudistira bucin. Toh, ia bucin pada tempat yang benar. Tidak seperti beberapa orang, bucin dengan si doi yang sudah pasti tidak bisa jadi miliknya. Bukan iri, Yudistira merasa miris. Yudistira memukul kepalanya sendiri. Kenapa akhir-akhir ini dia serasa bukan lagi dirinya sendiri. Sejak kapan ia punya pemikiran julit seperti Sadewa.

Yudistira mempercepat langkahnya untuk segera sampai di depan Saras. Gadis cebol itu terlihat duduk di teras sambil mengotak-atik gawai miliknya. Entah apa yang ia tonton, matanya berbinar, seperti orang yang tengah menantikan diskon akhir bulan.

"Hei!" sapa Yudistira, ia merasa detak jantungnya berpacu dengan deru napasnya yang tidak beraturan. Bunyi dug, dug, dug itu muncul setelah ia berlari. Miris, rasa rindu ternyata membuat orang kehilangan akal. Yudistira sangat mengakui itu, tidak heran bila Nakula terlihat seperti bujangan di tinggal nikah.

Saras menggubris. Ia masih asyik menonton acara mukbang di you tobe. Tidak peduli dengan Yudistira yang kini tampak kesal.

"Lama. Kemana aja sih lo? Nungguin kucing lahiran?!" Saras menyindir, matanya masih fokus mengamati cumi goreng di penuhi sambal yang merah. Sangat menggoda iman. Ingin sekali rasanya memakan semua yang ada di depan kreator itu, ah. Lapar.

"Gue jalan kaki ke sini," balas Yudistira cuek. Ia ikut duduk di samping Saras.

Saras menoleh. Alisnya naik sebelah. " Lo bangkrut?"

"Sembarangan. Nggak! Gue cuman pengen jalan aja, sekalian olahraga."

"Oh"

"Ini kita jadi pergi? Uda jama setengah delapan," kata Yudistira sembari mengamati jam di pergelangan tangannya.

"Duh. Malas banget, sono lu pulang aja! Siapa suruh telat!"

"Serius ga jadi?"

"Iya!"

"Oke, gue pulang." Yudistira berdiri. Rasanya lelah, setelah berjuang datang ke sini, malah di usir membuat ia tidak ingin berkata apa-apa lagi. Seperti tidak dihargai, sudahlah lebih baik ia kembali tidur.

"Eh, mau kemana?" tanya Saras. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

"Pulang."

"Ihhh. Gue cuman bercanda! Yakali ga jadi, gue ga setega itu kali! Yuk pergi! " ujar Saras. Ia menggandeng lengan Yudistira tanpa melihat si empunya tangan.

"BTW, lo wangi banget malam ini," kata Saras lagi.

Duh. Kenapa Yudistira jadi malu, pujian sekecil itu membuat dada imutnya seperti di tumbuhi bunga-bunga yang bermekaran. Kekesalan tadi entah sudah hilang ke planet mana. Yudistira hanya membalasnya dengan deheman, meski dalam hati menjerit kesenangan.




Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang