"Eh, Jun. Kapan Mila lahiran, gue nggak sabar pengen lihat dede bayi. Si Jujun udah tue. Broooo!" kata Nakula terkekeh.
"Iya, juga ya, Nak. Si Mila kan cantik plus Arjuna ganteng, anaknya gimana ya? bibit-bibit calon bintang cilik tu," Sadewa menyahut.
"Kalo menurut lo, Jun. Anak lo nanti kaya gimana?" tanya Yudistira.
"Gue nggak terlalu mikirin itu. Yang gue harapkan semoga dia sehat, mau mirip Mila atau gue. Buat gue bukan masalah, asal dia hidup dengan baik maka gue akan ikut bahagia," ucap Arjuna tersenyum tulus.
"Lo hebat, Jun. Lo mau bertanggung jawab meski kita semua tahu. Lo nggak pernah ada niatan buat ngelakuin itu," Sadewa berucap parau. Mungkin selama ini ia sudah menutup mata atas kesalahannya. Andai saja waktu itu dia tidak pergi ke kelab dan mabuk-mabukan. Arjuna sekarang tidak akan menanggung beban untuk bersama Mila.
"Gue yang Salah. Seandainya, gue nggak terhasut ucapan cowok brengsek itu... Mungkin lo nggak akan perlu untuk berada di sisi Mila. Dan terpaksa bersikap dewasa demi keadaan."
Arjuna menyeruput cappucino di gelasnya. Lalu berkata "lo salah. Sad. Gue bahagia, gue nggak ungkiri. Awalnya gue merasa semuanya nggak adil, gue kesel lihat Mila, bahkan gue benci sama dia. Tapi waktu, waktu yang mengubah cara pandang gue. Gue justru merasa beruntung."
"Dan soal malam itu. Lebih baik kita lupain semuanya, kita bentar lagi lulus. Jalan hidup kita masih panjang. Flashback ke masa kelam nggak akan bikin kita bisa melangkah maju."
"Satu pesan gue. Sad. Jangan lagi lo pergi ke tempat terkutuk itu, bukan lo aja, ini nasehat buat gue, Nakula dan Yudistira juga."
"Benar. Kalo ada masalah apa-apa jangan sungkan untuk cerita. Kita bukan orang asing, kita ini saudara," ujar Yudistira.
"Hooh. Bener tu, Sad. Apalagi gue, lo bukan cuman bisa cerita. Gue kasih lu satu ekor sapi buat acara tolak bala. Supaya iduplu damai dan tenteram di alam sana."
"Sialan lo, Nak!" Sadewa tertawa lalu memukul kepala bagian belakang Nakula.
Arjuna dan Yudistira pun di buat tertawa oleh guyonan Nakula.
Pupil mata Nakula melebar kala melihat Aina di depan meja pelanggan. Melihat Aina yang tersenyum ramah ke pada pelanggan nomor dua belas itu entah kenapa menular kepadanya. Rasanya Nakula ingin mendekati, namun takut bila harus tersakiti, jika sang pujaan hati telah ada yang memiliki.
"Woi. Ngeliatin apaan sih?!" Sadewa mengikuti arah mata Nakula, melihat Nakula yang tidak berkedip seketika membuat Sadewa merinding. Takut Nakula kesurupan.
"Aina? Lo suka sama Aina. Nak?!" teriakan Sadewa membuat Aina menoleh ke arah meja mereka.
"Ai--" baru saja Sadewa akan bicara. Dengan cepat Nakula membekap mulut sahabatnya itu.
"Gila... tangan lo bau ikan asin. Nak!" protes Sadewa sambil mengusap hidung dan mulutnya yang bau ikan asin.
"Ya, sorry. Gue lupa cuci tangan pake sabun. Babe rojak minta emak masakin ikan asin. Karena enak, gue serbu aja."
Sadewa bergidik ngeri." Ih... pantesan lo jomblo angkut, cewek tu suka aroma manis bukan aroma amis kaya tangan lo!"
"Tu... tu... Aina ngeliatin lo balik!” tunjuk Sadewa dengan lirikan mata.
"Ah... babang Sad-sad. Jangan kayak gitu aku maluuu," kata Nakula sembari menutup wajahnya dengan tangan. Tapi jari-jari tangannya bercelah besar, hingga Nakula bisa melihat senyum manis Aina untuknya.
"Astaga jantung gue!" teriak Nakula dalam hati.
"Ih. Najiis. Jijik! Geli banget dengar omongan lo barusan!"
"Ha ha ha." Tawa Yudistira dan Arjuna. Perut dua lelaki tampan itu serasa di remas saking tidak kuatnya menahan tawa.
"Parah lo. Nak. Kalo suka sama orang tingkat ke gooblokan lo meningkat drastis!"
"Kenapa nggak coba ngedeketin aja. Nak? Mungkin dia belum punya pacar?" saran Yudistira.
Nakula mengembuskan napas gusar. " Dia kan baik, cantik, pekerja keras. Mana mau sama cowok aneh kayak gue. Bukan nggak mungkin dia uda punya gebetan sekarang."
"Ck. Muka sedih itu terlihat tidak pantas untukmu wahai anak muda!"
"Nanti gue tanyain ke Mila. Lo ngga harus merubah apa pun. Nak. Kalo Aina tulus suka sama lo, dia akan jadikan kekurangan lo sebagai sesuatu yang berharga buat dia."
" Makasih banyak Jujun..." ujar Nakula menirukan suara wanita.
"Tapi please, kata-kata lo itu di kondisikan, agak aneh di telinga," ujar Arjuna lagi.
"Aha ha ha. Rasain di katain sama Arjuna!" tawa Sadewa. Suara tawanya yang keras mengundang lirikan para mata-mata jahat dari para gadis. Ada yang terang- terangan memuji juga ada yang mencemooh dengan berbisik.
Sadewa tidak peduli. Selagi dia tidak minta makan pada mereka, Sadewa akan terus bersikap seperti dirinya sendiri. Tertawa itu bukan larangan, tapi wajib. Asal tau tempat aja. Biar nggak di cap gila.
Tanpa terasa mentari mulai menyongsong ke ufuk barat, langit yang tadinya cerah, kini berubah jingga. Sadewa dan kawan-kawan berpamitan. Sementara Arjuna masih ada yang harus ia bereskan di kafe miliknya itu. Benar kata Yudistira, mereka bukan sekedar teman main atau teman nongkrong. Tapi lebih dari itu, mereka. Saudara.
Hari ini Mila dan Arjuna akan kembali ke apartemen. Ini permintaan Mila sendiri, katanya ia ingin lama di rumah Bunda. Tapi rasa-rasanya sama saja seperti di apartemen. Jika orang tuanya pergi bekerja dan pulang untuk istirahat saja. Akan lebih baik, Mila tinggal di tempat yang ia jadi kan sebagai rumah ternyaman untuknya. Arjuna menurut saja tanpa banyak bertanya.
Mila memang terlihat murung dua hari ini. Entah apa sebabnya, jika di tanya kenapa. Maka dengan cepat wanita itu akan berkata. ' Aku tidak apa-apa' padahal tentu saja tidak akan ada sebab jika tidak ada akibat.
Arjuna berusaha mengerjakan pekerjaan dengan cepat. Pulang nanti, ia harus membantu Mila beberes untuk kepulangan mereka. Sebenarnya tidak banyak yang ia lakukan. Arjuna hanya harus mengecek perlengkapan bahan masakan, pemasukan, pengeluaran juga gaji karyawan kafenya. Sudah dua tahun kafe itu menghasilkan pudi-pundi rupiah untuknya.
Arjuna akan sangat senang saat melihat hilir mudik, keluar masuk orang dari kafenya dengan wajah terpuaskan. Banyak komplain yang ia terima selama beberapa bulan, dan Arjuna terus berusaha memperbaiki apa yang menjadi sesuatu yang salah dalam kafenya. Hingga wajah-wajah tidak puas itu kini terlihat puas dengan pelayanan kafe ini.
Tentu Arjuna akui. Semua yang ia miliki tidak akan pernah ada jika kedua orang tuanya tidak merestui. Seperti kata pepatah bilang. 'Kunci rezeki itu ada di tangan orang tua'. Meski orang tua Arjuna berkecukupan, Arjuna sebagai anak berusaha terus berbakti. Ia terkadang membelikan barang-barang dan baju untuk Mama. Hanya itu yang bisa ia berikan sekarang. Juga selalu rutin memberikan bantuan kepada panti asuhan setiap bulannya. Meski tidak banyak, Arjuna terus mencoba untuk membantu.
"Pemasukan bulan ini meningkat. Rezeki si dedek ini," ujar Arjuna. Ia melirik foto Mila dan dirinya di dalam bingkai foto. Arjuna mengambil lalu mengusapnya dengan pelan.
" I really love you. Mila Hauri Aditama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi Beda
Ficção AdolescenteJudul Sebelumnya [BECAUSE ACCIDENT] [TAHAP REVISI] Cerita ini tak terduga loh☡ alurnya bisa membuat kalian terkejut☺ cerita klasik yang bikin kamu penasaran tentunya😉 kalo tidak percaya sini buktikan sendiri❗ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA😉 Part awa...