"Lo minta maaf karena ada maunya ternyata, iya juga sih, cewek kayak elo mana tahu cara minta maaf, taunya kan cuman ngejek dan manfaatin orang aja," desis Bima sarkas, sembari meneguk segelas air mineral.
"Iya, Bima, gue tau gue emang seperti yang lo bilang. Tapi sekarang gue mau berubah. Jadi please, gue mohon banget lo bantuin gue kali ini." Mona menangis dengan tertunduk dalam, ia sudah berusaha mati-matian mencari Mila, dan sekarang hanya Bima jalan satu-satunya agar ia bisa bertemu wanita itu lagi. Mona sudah tidak peduli lagi mau Bima mengatakan ia cengeng atau apa pun, yang terpenting pemuda ini mau menolongnya.
Bima tertegun saat ia melihat wajah Mona, wajah basah karena air mata, juga mata sayu yang terlihat sungguh-sungguh meratap, bagai mana pun juga, Bima paling anti melihat wanita menangis, ia tidak suka, dengan perasaan kasihan Bima melangkah mendekati Mona, sampai di depan gadis itu ia mendekapnya, sembari mengelus puncak kepala Mona.
"Uda, cengeng banget sih lo, Maklampir, gitu aja nangis gak cocok sama perangai lo," kata Bima menenangkan, tepatnya sedikit menyindir.
Mona hanya diam, tidak menyangka Bima akan memeluknya, tapi tidak bisa ia ungkiri, ia senang di perlakukan seperti itu. Apalagi jika mengingat permusuhan mereka selama ini, bukan sesuatu yang aneh jika Bima teramat membencinya.
Bima menekan bahu Mona, menatap iba sepupunya itu. Lama Mona terdiam hingga akhirnya ia menunjuk bingkai foto yang ada di atas meja belajar Bima. Foto itu adalah foto Nakula, Sadewa, Yudistira, Arjuna, Mila dan Bima di apartemen Arjuna saat merayakan ulang tahun pernikahan Arjuna dan Mila waktu itu.
"Lo kenal cewek itu?" tanya Mona menunjuk foto Mila yang sedang tersenyum lebar.
"Kenal," balas Bima bingung, jadi sebenarnya Mona kenal Mila?
"Dia sahabat gue, gue pengen ketemu sama dia."
"Sahabat? Tapi Mila nggak pernah cerita apa-apa soal lo, juga kenapa lo datang kesini dan gak ketemu langsung sama dia?"
"Gue gak tau dia di mana, makanya gue ke sini. Gu-gue pengen minta maaf sama dia."
"Minta maaf ?"
"I-iya, gue... gue yang udah bikin dia kehilangan keluarganya...," ujar Mona lirih, sekarang ia benar-benar tidak berani menatap mata Bima, sejujurnya ia pun takut menceritakan ini kepada Bima tapi Mona tidak punya pilihan lain, cepat atau lambat semuanya akan terbongkar.
"Maksud lo?" Bima masih tidak dapat mencerna perkataan Mona, kehilangan keluarga? Kehilangan karena apa, selama ini Mila terlihat baik-baik saja, yang ia tahu Mila hanya terluka karena Arjuna.
"Se-sebenarnya, gue yang udah bikin Mila diusir sama keluarganya, gue kira malam itu Mila gak bakal hamil. Gue bawa dia ke kelab malam, gue waktu itu di butakan rasa cemburu, dan sekarang gue sadar, gue benar-benar menyesal uda lakuin itu ke teman baik gue."
Entah seperti apa rasanya Bima sekarang, yang jelas ia sangat marah mengetahui fakta bahwa Mila di perlakukan sejahat itu oleh Mona, mata Bima melirik Mona tajam, rahangnya mengerat dengan tangan terkepal. Kalau saja Mona itu pria maka kepalan tangan itu akan benar-benar mendarat di wajah cantik Mona. Bima yang terbawa emosi memukul dinding di belakang Mona, tidak habis pikir. Sepupu cantiknya itu bisa berbuat senekat itu.
"BEGO, SINTING!" umpat Bima geram.
"LO EMANG CEWEK GAK ADA OTAK! GUE GAK NYANGKA, TERNYATA LO EMANG JAUH LEBIH JAHAT DARI APA YANG GUE BAYANGIN!"
"Iya gue bego, gue sinting! gue jahat, gue kaya setaan, tapi please gue beneran ngerasa bersalah. Tolong pertemukan gue sama Mila, hiks..."
Bima menarik napas dalam, mencoba menetralkan amarahnya. Biar bagai mana pun, mungkin karena kejadian itu pula ia di beri kesempatan oleh Tuhan bertemu dengan Mila. Ini sudah takdir, dan Bima bingung antara bersyukur atau marah dengan ini semua. Bima marah karena membayangkan betapa sakitnya Mila di posisi itu, Bima marah karena orang yang terlibat adalah sepupunya sendiri.
"Oke, gue akan bawa lo ke sana, tapi... gue gak akan peduli sama apa yang akan Mila atau Arjuna lakuin ke lo. Dan asal lo tau, Mila cukup menderita karena bertemu dengan cewek jahat kaya lo!"
"Besok, gue akan bawa lo ke tempat Mila, sekarang gue minta lo pergi dari rumah gue sebelum gue berubah pikiran."
***
Siang ini udara kota Jakarta seperti biasanya selalu hangat, Bima baru saja akan keluar kelas kalau saja Pak Didi--guru Kimia tidak memanggilnya, meminta bantuan Bima membawa buku paket ke perpustakaan. Dengan cekatan Bima mengambil alih buku paket dari tangan pak Didi, ada sekitar dua puluh lima buku, lumayan berat karena masing-masing ukuran mereka agak tebal.
"Tolong simpan di tempatnya ya, Bima?"
"Siap, Pak."
Bima berjalan dengan santai di koridor menuju arah perpustakaan, sekolah sudah tampak lenggang, sekarang hanya tersisa dirinya dan beberapa anak OSIS. Dulunya Bima memang terbesit ingin masuk organisasi OSIS. Tapi setelah melihat betapa sibuknya mereka, Bima lebih memilih mengurungkan niatnya.
Perpustakaan SMA Pelita selalu terlihat raih dan bersih, tapi jangan salah kaprah, jika kalian mengira perpustakaan di sekolah Bima itu tidak berisik, maka yang terjadi justru sebaliknya. Setiap kali istirahat, para siswa laki-laki dan perempuan akan berbondong-bondong ke perpustakaan hanya untuk bercerita, kebanyakan pun jumlah laki-laki lebih banyak dan tentunya suara mereka yang paling keras. Bima juga menjadi salah satu dari mereka saat istirahat tadi, dia justru membawa gitar. Terkadang Bima merasa aneh, katanya perpustakaan itu selalu tenang, nyatanya yang ia dapati justru kebisingan pembawa bahagia.
Bima berjalan menuju rak paling kiri, tepatnya di rak berbagai buku Kimia, ia menyimpannya dengan tatanan rapi, lalu berjalan menuju meja pustakawan. Ia mencatat nama dan jumlah buku yang di kembalikan. Senyum ramah dari ibu pustakawan dibalas Bima dengan senyum lebarnya.
"Permisi, Bu."
Lapar, rasanya cacing di perut Bima semakin berontak, sekarang sudah pukul dua siang dan belum ada apa pun yang masuk ke perutnya. Bima segera berlari ke parkiran, menyalakan motor CB100 kesayangannya. Di sepanjang perjalanan Bima bersiul-siul ria, guna sedikit menghalau rasa lapar yang kian memburu, kadang-kadang ia akan merutuki para pasukan cacingnya yang tidak bisa bersabar.
Groongg, bunyi perut Bima.
"Wei, Cacing. Tunggu napa, bentar lagi kita nyampe rumah. Ini pasti si Ilham yang nyuruh pasukannya nistain gue!"
Ilham-- nama kesayangan Bima terhadap cacing di perutnya, jika perut Bima sakit atau ia merasakan lapar maka Ilham si cacinglah yang akan ia persalahkan.
Tiba di depan rumahnya, Bima di dikagetkan dengan keberadaan Mona di teras rumah dengan seragam SMA yang masih melekat di badannya. Bima seketika tersadar, ternyata ia punya janji dengan si gadis Mak Lampir itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi Beda
Teen FictionJudul Sebelumnya [BECAUSE ACCIDENT] [TAHAP REVISI] Cerita ini tak terduga loh☡ alurnya bisa membuat kalian terkejut☺ cerita klasik yang bikin kamu penasaran tentunya😉 kalo tidak percaya sini buktikan sendiri❗ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA😉 Part awa...