Mati lampu

5.2K 212 10
                                    

Sepulang sekolah Bima dan keempat seniornya sudah menyelesaikan diskusi, membagi tugas ini dan itu. Tiba waktunya untuk Bima menjemput Mila. Membawa wanita itu ke mana pun pemuda itu mau. Bima menatap pantulan dirinya di cermin, menata rambutnya sekali lagi. Masih dengan wajah datar dari sepuluh jam yang lalu. Bima merebahkan diri di kasur. Rasanya seperti dejavu, sekarang ia sudah mengeluarkan gawai dari balik saku jas biru tuanya. Lalu mengetikkan pesan untuk orang yang seharusnya memang ia relakan dari dulu.

Me
[Kus, lagi ngapain? ]
Tikus
[Rebahan, kenapa? ]

Me
[Jalan-jalan yuk]

Tikus
[Tapi kak Juna belom pulang. Gue harus ijin ke dia dulu]

Me
[Lo tenang aja. Tadi gue uda ketemu sama bang Juna. Sekalian gue minta ijin ngajak lo jalan.]
[Sekarang mau kan? ]

Tikus
[Seriusan? ]

Me
[Sejak kapan sih gue boong sama elo? Emang muka gue ini muka-muka penipu? ]

Tikus
[Bukan penipu lagi. Tapi kayak Napi wkwk. Canda Bima]

Me
[[Anjir! mengtega sekaleh anda mengata- ngatain orang terganteng se-Indonesia]

Tikus
[Wkwkw yaelah Bima. Kadar ke PDannya bisa dikurangin dikit nggak? Eneg gue bacanya. Canda Bima.]

Me
[Ngga Bisa. Gue emg terlalu tampan, lo tahu David Beckham?]

Tikus
[Tahu, kenapa emangnya? ]

Me
[Dia itu abang gue. Makanya kadar ke gantengan dia menular ke gue]

Tikus
[Yaudah gue iya ini aja biar lo seneng. Ini kita jadi jalan? Benaran udah bilang kak Juna kan? ]

Me
[Cius Mil. Uda sekarang dandan yang cantik. Gue OTW]

Rasanya chatingan kali ini begitu menyesakkan untuk Bima. Dulu saat mereka berbalas pesan, Bima akan tersenyum lebar sembari memeluk gawainya.

Tapi sekarang, Bima rasanya ingin menangis. Sungguh hatinya tidak sanggup untuk melepas Mila. Ingin sekali rasanya waktu berhenti agar hari di mana Arjuna menyatakan cinta tidak akan pernah terjadi. Andai orang yang berada dalam posisi Arjuna adalah dirinya. Kenapa Tuhan selalu saja memberi luka untuknya. Bima mengusap kasar wajahnya. Mencoba menguatkan diri. Entah mengapa mata itu seolah enggan melihat kenyataan. Kenyataan bahwa dewi hatinya memang sudah di takdirkan bersama sang Arjuna.


Tiba di apartemen Arjuna. Bima tidak masuk. Ia menunggu Mila di depan pintu. Beberapa menit kemudian Mila keluar dengan dress navy, kepalanya ia hias dengan jepit rambut yang Bima belikan dulu.

Mila masih seperti biasanya selalu membuat debaran di jantung Bima kembali berdetak maraton. Wanita itu menatap Bima dengan senyum lebar. Ia juga membawa masker berwarna senada dengan gaunnya.

“Kenapa bawa masker?” tanya Bima binggung.

“Biar ngga ada teman seangkatan yang liat. Kak Juna kan belom selesai sekolahnya, gue takut juga nanti ada yang curiga.”
“Huftt... Padahal ini hari romantis kita loh, Mil,” ujar Bima berpura-pura sedih.

“Heleh, romantis mbahmu? Kita ini istilahnya reunian tau.”

“Iya, iya terserah Mahmud aja deh.”

“Mahmud? Apa tu?” tanya Mila penasaran. Ia kemarin pernah membacanya tapi tidak tahu apa arti sebenarnya dari kata itu.

“Mahmud. Mamah Muda. Hu... Kudet banget jadi cewek! ”

“Biarin!”

Mila buru-buru memakai masker lalu mengikuti langkah pendek Bima di sampingnya. Sejujurnya Mila sangat sedih. Arjuna sampai sekarang belum juga pulang, bahkan SMS yang ia kirim tidak kunjung lelaki itu balas. Apakah Arjuna benar-benar kembali menjauh? Setidaknya bila benar ia marah, Arjuna harusnya mengirimi ia balasan.

Mila berusaha tersenyum di depan Bima. Ia tidak mau Bima berpikir macam-macam tentang hubungan dirinya dan Arjuna. Mila tahu pemuda itu sangat menyayanginya. Di perjalanan Bima terus berceloteh, bercerita banyak hal. Mulai dari Pak Bondan, Dion yang pindah keluar kota, hingga Aina yang kabarnya dekat dengan anak sekolah Baratayuda. Bibir tipis Bima tidak hentinya terbuka, terkatup, lalu tertawa terbahak-bahak. Begitu pula dengan Mila. Ia sangat menyukai suasana ini, sudah begitu lama rasanya tidak bercanda tawa dengan sahabat bobroknya ini.

Suasana dan alunan lagu di restoran keluarga milik keluarga Bima. Masih sama seperti dulu, hidangannya pun masih sama. Bebek paking, Ayam kung pao, nasi goreng, ikan salmon, jus apel, dan masih banyak lagi beberapa dessert yang tentunya selalu menggugah selera ibu hamil itu.

Mila memakan makanan itu dengan lahap, tidak ada rasa malu. Tentu saja karena Bima sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Sesekali Mila mengajak Bima mengobrol saat menyadari raut sendu dari pemuda di depannya itu. Setelah selesai dengan acara makan. Bima mengajak Mila bermain ke Mol yang pernah mereka kunjungi. Bermain time zone, karoke, dan terakhir mereka makan eskrim vanila kesukaan Bima.

Sekarang sudah pukul 20: 30 Mila sudah merengek minta pulang. Katanya ia suda sangat lelah. Sebelum keduanya benar-benar keluar dari Mol. Bima menuntun langkah Mila menuju stand aksesoris.

Bima meminta Mila mencari gelang couple untuk mereka berdua. Sementara Bima berjalan sedikit menjauh guna mengirim pesan kepada Yudistira bahwa mereka sebentar lagi akan pulang. Bima mendapat kabar semua dekorasi dan makanan sudah seratus persen jadi. Sekarang ke empat pemuda itu tengah menunggu mereka.

Bima berjalan menghampiri Mila. Menepuk bahu wanita itu pelan. “Yuk pulang. Uda nemu gelang yang cocok?”

Mila menganggukkan kepala. Lalu menunjukkan gelang kayu bertuliskan ‘Bestfriend forever’ dengan wajah gembira. Ia memasangkan gelang itu ke tangannya juga pergelangan tangan Bima.

“Makasih,” ujar Bima tulus.

“Terimakasih kembali. Yuk pulang, aku capekkk banget.”

“Mil?”

“Ya?”

“Boleh aku elus perut kamu sekali aja?”

Mila berpikir sejenak lalu berkata. “ Boleh, asal jangan lo jampi-jampi anak gue.”
“Lo sukanya suudzon aja sama gue.”

“He he bercanda. Yaampunn, sini elus aja. Tapi Pelan-pelan.”

Bima mengelus perut buncit Mila dengan perlahan dan hati-hati. Astaga apakah seperti ini rasanya menjadi seorang ayah? Rasa sedih Bima langsung sirna saat ia mengelus perut itu.

“Hai kamu, baik-baik di sana ya? Ini paman Bima. Nanti kalo kamu uda lahir kita main basket di lapangan rumah paman ya? Paman uda nggak sabar pengen lihat anak bunda Tikus. Pasti nanti kamu unyu kaya Paman,” kata Bima tersenyum lebar sampai gigi gingsulnya terlihat begitu jelas.

“Amit-amit. Dede jangan sampai kamu tertular sifat PDnya Paman Bima. Mama ngga bisa bayangin betapa repotnya Mama.”

“Kenapa sih? Bukanya bagus dari pada kaya Bang Juna sok ganteng, sok cuek. Pokoknya sok iya lah.”
“Paman Bima... Ngga boleh hina papa. Papa Juna emang ganteng, baik. Ngga petakilan kaya Om,” ujar Mila menirukan suara anak kecil.

Mereka berdua kini menaiki mobil sport merah –Bima. Sejurus kemudian mereka tiba di apartemen Arjuna yang masih gelap. Mila menduga bawah Arjuna belum pulang, sebelum Bima berpamitan. Ia memberikan Mila petuah, agar selalu menjaga kesehatan, dan melarang Mila memikirkan dia. Katanya nanti Bima tidak bisa tidur. Mila berjalan menuju sakelar lampu dengan berjalan pelan, ia takut sekali akan tersandung. Satu.... Dua... Ti—tiga, lampu tidak kunjung hidup padahal Mila sudah menekannya beberapa kali. Ada apa sebenarnya?


Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang