"Kak, aku pergi dulu ya!"
Mila menyembulkan kepalanya di balik pintu, ia sudah bersiap dengan baju olahraga khusus ibu hamil miliknya, tidak lupa bando polkadot menahan rambutnya agar tidak terjatuh.
Arjuna segera menuju pintu apartemen, ia berjalan sembari mengancingkan baju seragam sekolahnya, tidak lupa membawa masker sang istri yang tertinggal di atas meja.
"Jangan lupa maskernya, Mbul." Arjuna memasangkan masker hitam ke wajah sang istri.
"He he he, maaf, Kak. Aku terlalu bersemangat, soalnya mau joging bareng mbak rina. Kamu tahu kan, bumil yang baru pindah di lantai bawah?"
"Mbak rina? Kok aku ngga tau ada tetangga baru?" Arjuna kini sibuk mengikat tali sepatu Mila yang tadinya terikat dengan asal.
Diposisi ini, Mila merasa ia seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali akan pergi sekolah. Arjuna dengan telaten mengikat tali sepatunya dengan kuat. Mila sungguh tersentuh dengan apa yang Arjuna lakukan. Romantis.
"Iya, dia baru pindah kemarin. Aku juga ngga sengaja ketemu dia pas turun ke bawah."
"Kamu serius ngga mau aku temani? Akuu ikut ya, Mbul? Aku takut kamu kenapa-napa." Arjuna berdiri dari posisi duduknya.
"Ihhh nggak! Kak Juna kan harus sekolah, apalagi ini udah jadwal simulasi. Aku baik-baik aja, tenang ya. Percaya deh, aku pasti bisa jaga diri," Mila meyakinkan. Raut cemas di wajah Arjuna belum juga menghilang. Mila mendekatkan diri di hadapan Arjuna, lalu memberikan suami protektifnya itu sebuah pelukan penenang.
Beberapa menit berlalu, Mila baru saja akan melepaskan pelukannya. Namun Arjuna justru menahan tubuhnya dengan menautkan tangannya dibalik pinggang sang istri. Hal itu mendapat seruan protes dari Mila.
"Duh, Kak, aku udah ditunggu sama mbak rina nih, lepas ya?"
"Ngga, gimana bisa aku percaya sama orang baru." Arjuna menekan dagunya di kepala Mila, wajahnya cemberut. Kalau saja hari ini bukan jadwal simulasi bahasa inggris, sudah pasti ia akan rela absen demi menemani kegiatan olahraga sang istri.
"Mbak rina baik kok, jangan overthinking gitu dong... Aku juga ngga pergi sama dia aja, ada tiga orang lagi kok. Biarin aku pergi yah, Kak? Duh kak Juna makin ganteng deh kalo ngizinin aku pergi, kan aku bakalan tambah cinta," Mila merayu, masih berusaha mendapat kepercayaan. Memang selama kehamilannya Mila belum pernah berolahraga sendirian, Arjuna pasti akan selalu meluangkan waktu untuknya. Tapi Mila benar-benar ingin pergi kali ini, jarang-jarang ia bisa berkenalan dengan orang baru.
Arjuna melepaskan dekapannya dari tubuh Mila. Ia menatap mata wanita itu dalam. "Apa ngga bisa dipending dulu jalan paginya? Besok aja ya? Biar sama aku."
Mila menggeleng. "Big no! Aku udah janji sama mbak rina dan yang lainnya, aku ngga enak buat batalin."
"Hm yaudah, kamu hati-hati. Kalo ada apa-apa langsung telepon. Hpnya jangan dimatiin!"
"Iya-iya. Aku pergi ya? Kamu juga cepetan siap-siapnya, ini udah jam enam lewat sembilan belas." Mila melirik jamnya sekilas, lalu mencium tangan Arjuna.
"Bye Kak! Fighting ya!" Mila melambai, memberikan Kiss bye tanda perpisahan. Ia sangat senang menyambut hari ini tanpa sadar Mila sedikit berlari, karena waktu janjinya dengan Mbak Rina sudah lewat dua menit.
"Hati-hati, eh-eh jangan lari-lari!" pekik Arjuna khawatir.
***
Mila segera menghampiri empat orang yang tengah menunggunya di basemen. Mata Mila langsung bertemu pandang dengan seorang wanita berambut panjang yang diikat tinggi, wajahnya bulat dengan kulit bersih, dia tampak sangat cantik di usianya yang kini menginjak 29 tahun, dia melambai ke arah Mila. Wanita itu Mbak Rina-- tetangga baru yang juga tengah mengandung, usia kandungannya masuk tujuh bulan sekarang.
"Maaf ya, Mbak. Aku telat, tadi ada urusan sebentar," ujar Mila menatap keempat ibu hamil dengan seragam yang sama itu.
"Iya, ngga apa-apa," balas mereka serempak.
"Kalo gitu kita mulai jalan aja? Kita jalan di sekitar area sini aja, sampai taman, itu jaraknya dari sini ke sana nggak terlalu jauh. Kita bisa rehat sambil jajan di taman," kata Mbak Rina memberi instruksi.
Mila dan ibu hamil lainya mengangguk setuju, dengan semangat mereka berjalan beriringan. Dari kelima wanita hamil itu, Mila adalah yang paling muda. Ia berjalan beriringan dengan Mbak Rina di belakang ketiga teman wanita itu.
Udara terasa sangat sejuk, angin berembus sepoi-sepoi, melambai membelai halus wajah berseri kelima wanita itu. Mereka saling bercanda, Mbak Rina sering kali membuat guyonan sampai-sampai mereka tidak kuasa menahan tawa.
"Mila, kamu sudah lama di apartemen itu?" tanya Mbak Rina.
"Hm sudah lumayan lama, Mbak. Sudah enam bulan."
"Mila kelihatan masih muda, ya, kalau mbak lihat... Kamu seperti masih belasan ya, umurnya?"
Mila gelagapan, ia mulai merasa canggung dengan topik obrolan Mbak Rina. "Anu, iya, Mbak. Mila baru delapan belas tahun."
Mbak Rina menutup mulutnya dengan tangan. Tidak menyangka tebakannya tidak meleset.
"Mila nikah muda banget ya? Atau kamu hamil duluan?" kembali Mbak Rina bertanya, ia merasa sangat penasaran.
"Iya, Mila nikah cepat, ya ada something, Mbak," jawab Mila lirih, matanya sudah berkaca-kaca. Ia pikir pertanyaan seperti itu tidak akan muncul, ternyata ia lupa. Serama apa pun ia, yang namanya mulut wanita dan rasa penasaran wanita tidak peduli dia sebaik apa, pertanyaan-pertanyaan menggunjing itu pasti akan tetap ada.
"Duh, makanya, kalau bergaul jangan sembarangan ya, Dek. Apalagi sama cowok, jangan ganjen. Kan gini jadinya, kamu ngga bisa lanjutin sekolah. Laki-laki itu ngga bisa dipercaya, kamu dulu sekolah di mana sih? Orang tua kamu tidak membatasi pergaulan kamu?" tanya Mbak Rina beruntun.
Mila menghela napas. Kenapa sekarang Mbak Rina seolah menyalahkan dirinya. Mila berusaha untuk bersikap tenang, sebisa mungkin ia tahan air bening yang sudah mulai terkumpul di pelupuk matanya. "Anu... ceritanya panjang, Mbak. He he kapan-kapan aku cerita, oya. Aku ijin sebentar mau beli minum dulu, ngga kuat nahan haus," pamit Mila segera. Ia tidak berbalik sedikit pun, sementara Mbak Rina menatap punggungnya yang semakin menghilang dari pandangan. Mbak Rina melirik Mila dengan tatapan penuh penyesalan.
"Duh, pie iki. Ini mulut kenapa ngga bisa ngerem sih!" Mbak Rina memukul bibirnya berkali-kali, ia merutuki dirinya sendiri.
Mila benar-benar merasa tersinggung, sebenarnya pikiran Mila menyetujui apa yang Mbak Rina katakan tapi apa yang wanita itu ucapkan tidak sepenuhnya benar. Bahkan Mila belum pernah bertemu Arjuna sebelumnya, lalu bagaimana ia bisa genit?
Mila duduk di kursi taman, air mata yang ia terus bendung kini jatuh ke pipinya. Ucapan Mbak Rina terus terngiang di benak Mila. Apa benar semua ini salahnya? Alasan dari dirinya yang tidak bisa lagi mengenyam bangku pendidikan adalah salahnya? Mila pikir hari ini akan menjadi hari yang begitu menyenangkan, andai saja waktu bisa diputar kembali. Mila akan memilih menolak ajakan Mbak Rina dan mengikuti perkataan Arjuna.
"Hiks... Kenapa lo nangis sih?! Apa yang mbak rina bilang... itu semuanya benar... hiks.. Bukanya gue udah pernah dengar perkataan semacam itu? Tapi kenapa hati gue belum juga bisa kebal?!" Mila menangis tersedu, ia mengusap air matanya, namun bukanya mengering, bulir-bulir bening itu terus saja berjatuhan.
"Nih, minum dulu, Mbak!" uluran tangan panjang nan kurus itu membuat Mila terdiam. Mila menatap pada botol air mineral yang pemuda itu sodorkan.
Mila mengambilnya sembari menyeka air mata di pipi. Mila merasa malu saat dirinya terciduk tengah menangis di hadapan orang lain. Pemuda itu duduk di sebelah Mila.
"Diminum Mbak airnya, kata pacar saya, kalau lagi nangis harus banyak minum, nanti dehidrasi bakalan minggat, katanya minum bikin tenang," ujar pemuda itu.
Mila menurut, ia meneguk air itu perlahan. Namun kata-kata itu serasa tidak asing di telinganya, seolah dahulu dirinya pernah berkata demikian.
"Tapi... kenapa ya, Mbak. Saya ngga tenang sama sekali, ketika saya minum, mengikuti apa yang dia katakan. Air mata saya justru semakin berjatuhan. Saya justru semakin sesak karena mengingatnya," ujar pemuda itu lirih.
Mila sungguh dibuat penasaran, ia melirik pemuda di sebelahnya dengan waspada. Suara itu benar-benar mengingatkan Mila dengan seseorang. Mendapati Mila yang meliriknya, pemuda itu tersenyum tipis. Ia membuka topi hitam yang ia pakai.
"Hai, kenalin aku... Kevin. Kevin Dirgantara!"
Deg
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi Beda
Teen FictionJudul Sebelumnya [BECAUSE ACCIDENT] [TAHAP REVISI] Cerita ini tak terduga loh☡ alurnya bisa membuat kalian terkejut☺ cerita klasik yang bikin kamu penasaran tentunya😉 kalo tidak percaya sini buktikan sendiri❗ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA😉 Part awa...