Jangan lupa komen dan vote ya gess yaa. Thanks youu!
Aina mendekap erat tubuh Mila yang bergetar. Sekarang mereka berada di rumah sederhana, yang hanya memiliki dua kamar kecil. Ya, itulah rumah Aina. Sangat jauh berbeda dengan rumah Mila, bahkan kamar pembantunya lebih besar dari rumah ini, tapi Mila sangat bersyukur, setidaknya masih ada yang bisa ia tempati. Mila mengembangkan senyum manisnya, melihat Aina yang tertunduk lesu karena tidak enak kepada Mila.
"Na, kamu kok gitu?"
"Maaf, ya, Mil. Rumahku kecil banget, beda jauh sama rumah kamu."
"Ya ampun, Na, seharusnya aku yang gak enak sama kamu, karena aku udah nyusahin kamu.”
“Nggak kok, Mil, justru aku seneng banget dan sekarang aku gak kesepian lagi.""Na, makasih banyak, ya, aku gak tau lagi gimana caranya ngebalas kebaikan kamu."
"Mil, ini gak sebanding dengan apa yang kamu dan keluarga kamu kasih ke aku, Kalo bukan karena kalian, aku gak akan mungkin bisa sekolah sampai detik ini."
"Mulai sekarang, kita jalani hidup kita dan lupakan masa lalu. Setuju?" ucap Aina menyemangati.
"Setuju!" Mila menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Aina. Mereka tertawa bersama. Mila bersyukur, bisa mengenal sosok teman yang setia seperti Aina.
Dulu Aina satu sekolah dengan Mila, tapi Aina memilih pindah, karena mendapatkan beasiswa yang dicarikan orang tua Mila. Tentu saja atas dasar bujukan dari Mila. Mila prihatin karena Aina, dulu sering menjadi korban bullying, jadi Mila menyuruh Aina untuk pindah. Kebetulan, pamannya Mila adalah pemilik sekolah Aina yang dulu. Tentunya bukan hal yang sulit bagi Mila melakukan hal itu.
"Mil, ayo bangun, aku udah masak, nih." Mila mengucek-ngucek matanya, kemudian berjalan menuju dapur mengikuti Aina.
Tumis kangkung dan tempe goreng terhidang, di atas meja kayu berukuran 4×4 Meter di tengah ruang dapur. Mila duduk di atas kursi plastik.Mila mengamati makanan itu saksama. Sedari dulu, Mila tak pernah memakan makanan sesederhana itu, tapi cepat-cepat Mila mencicipi hidangan tersebut. Mila merasa tidak enak hati kepada Aina, mungkin saja rasanya tak seburuk yang Mia pikirkan.
Mila memakan-makanannya dengan rakus. Ternyata benar! Tidak seburuk yang Mila pikirkan, justru masakan itu sangat enak menurutnya. Apalagi sambal terasi yang Aina buat sungguh lezat, Aina tertawa melihat Mila yang makan dengan tergesa-gesa, seperti sedang dikejar hutang.
"Mil, makannya pelan-pelan aja. Makanannya gak akan lari ke mana-mana, kok.” Aina menertawakan kelakuan Mila. Menurutnya itu sangat lucu. Sementara Mila, tersenyum kikuk menahan malu.
"Oh iya, Mil, kamu gak sekolah?"
Mila berpikir sesaat. “Aku gak tahu gimana caranya."
"Aku dengar, kemarin sekolahku ngadain bantuan gitu. Semacam ujian untuk orang-orang tidak mampu, yang akan mendapat beasiswa. Kamu mau coba?" Aina cepat-cepat menutup mulutnya. Lalu merutuki mulutnya yang asal bicara. Mila jadi kebingungan melihat tingkah Aina yang tiba-tiba seperti itu.
"Maaf ya, Mil, bukan maksud aku buat ngatain kamu."
Namun, Mila membalasnya dengan tertawa ringan. “Nggak pa-pa, tenang aja. Ngomong-ngomong, masakan kamu enak banget!"
"Syukur, deh, kalo kamu suka. Aku kira kamu gak suka."
"Kamu gak liat aku habis sepiring penuh, nih?”
"Ya udah. Aku cuci piring dulu ya, Mil, kamu bisa nonton TV di depan."
"Gak, kita cuci bareng biar cepat. Kalo urusan cuci piring, aku juga bisa.” Mila mengedipkan sebelah mata, membuat Aina terkekeh geli.
Acara cuci piring itu, mereka kerjakan sembari bercanda dan tertawa bersama. Beberapa saat Mila melupakan semua masalah yang terjadi padanya. Mila bahagia dipertemukan dengan orang baik seperti Aina, sejujurnya dari dulu Mila mengagumi Aina, gadis itu selalu mendapat peringkat satu padahal dia hidup sendiri. Hal itulah yang membuat Mila menemui Aina kala itu, agar gadis cerdas itu---Aina keluar dari international school. Mila tidak mau Aina terus-terusan menjadi bahan bullying.
Malam mulai larut. Setelah puas menonton TV, Aina dan Mila tidur di kamar masing-masing, sungguh berbanding terbalik dengan kehidupan Mila dulu. Mila memandang langit-langit kamar, sambil mengusap perutnya yang rata. Mila rindu orang tuanya, setetes air bening menetes dari pelupuk mata, yang ia tutup paksa.
"Ma, apa kesalahan Mila begitu tak termaafkan? Sampai-sampai kalian mengusir Mila seperti ini." Mila kembali membuka mata, ia sangat sedih. Mila benci kepada Mona dan laki-laki bejat itu.
Mila menyalahkan dirinya sendiri, ia bodoh telah mempercayai seorang penjilat seperti Mona. Mila sungguh menyesal. Kini, penyesalannya sudah tidak berarti lagi. Mila gagal menjaga amanah dari kedua orang tuanya.
Aina muncul di lawang pintu yang tertutup tirai itu, ia memanggil-manggil Mila dengan nada pelan.
"Mil, kamu belum tidur, 'kan?" tanya Aina yang hanya menyembulkan kepalanya saja di balik tirai.
Mila berbalik badan menghadap temanya itu, apa yang Aina lakukan mengundang tawa Mila.
"Kamu! Ngapain di sana? Aku sempat terkejut. Sini masuk.” Tangan Mila melambai-lambai, memanggil Aina.
Aina duduk di samping Mila yang masih berbaring.
"Mil, aku tidur di sini ya, plis! Tadi aku mimpi buruk," ujar Aina merapatkan kedua telapak tangannya, seolah memohon dengan sangat pada Mila.
"Iya, gak usah minta izin juga. Nih, tidur di sini," Mila menepuk bagian kasur di sebelah kirinya.
Aina menurut. Gadis itu merebahkan tubuhnya di samping Mila, ia menatap langit-langit kamar.
"Kamu belum ngantuk? Aku mau cerita," ujar Aina, matanya masih setia menatap langit-langit kamar dengan sendu."Belum. Cerita aja, aku dengerin, kok," jawab Mila mulai menyimak cerita Aina.
"Sejujurnya aku gak sanggup kesepian gini. Aku selalu tersenyum, padahal dalam hati menangis.” Aina mengisyaratkan luka di wajahnya yang semakin sendu. Mila diam mendengarkan, sambil menatap Aina yang sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamar.
"Sendiri itu menyakitkan, setelah di-bully di panti, aku memutuskan keluar dari sana. Rumah ini, ternyata rumah lama orang tuaku, entah di mana mereka sekarang. Kata ibu panti, mereka menitipkanku sementara di sana. Setiap hari, aku menunggu orang tuaku datang sampai larut malam, tapi tidak ada tanda-tanda kalau mereka akan datang. Aku putus harapan. Saat aku keluar, rasanya sama saja. Aku kembali merasakan kesendirian. Uang tabunganku menipis, sampai akhirnya aku melamar pekerjaan di kafe blackdemon. Kafe itu milik kakak kelasku. Dan sekarang aku bahagia punya teman yang sesungguhnya. Tempat aku berkeluh kesah. Makasih ya, Mila, karena sudah mau membantuku.” Aina terisak, membayangkan semua perlakuan buruk yang diterimanya selama ini.
Mila menggenggam tangan Aina, menyalurkan kehangatan di sana. “Yang sabar, Na. Makasih karena sudah bercerita dan mau terima aku di sini."
"Iya. Yuk, kita tidur, besok harus sekolah. Kamu juga bakalan ikut tes itu juga, 'kan?" Mila mengangguk. Aina menyampingkan tubuh, kemudian menutup mata untuk menyelami alam mimpinya.
"Iya, aku mau sekolah. Tapi mimpiku buat jadi dokter sepertinya gak bakalan kesampaian,” ujarnya, lalu tersenyum miris.
Mila membatin. Mimpinya semasa kecil harus terhenti karena kehadiran sebuah nyawa di perutnya.
"Tenang, Mila, kamu harus kuat! Kamu gak sendiri. Ada Aina dan Dia di sisi kamu," lanjut Mila menyemangati dirinya sendiri. Setelah itu Mila langsung memejam, menyusul Aina ke alam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Nikah SMA ( Tamat) Ada Di Dreame Dlm Versi Beda
Teen FictionJudul Sebelumnya [BECAUSE ACCIDENT] [TAHAP REVISI] Cerita ini tak terduga loh☡ alurnya bisa membuat kalian terkejut☺ cerita klasik yang bikin kamu penasaran tentunya😉 kalo tidak percaya sini buktikan sendiri❗ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA😉 Part awa...