18 || Thanks, Yesterday

162 34 0
                                    

Selamat membaca 💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Klareta : Thanks for yesterday. Enjoy it.

Fix : Lo gak ada rencana jadi intel?

Klareta : Intel? Untuk apa?

Fix : Lo tahu rumah gue dari mana woy? Tiba-tiba aja udah sampai nih paket. Mana gede banget.

Klareta : Tukaran nomor sama nyokap lo tuh udah setara sama intel, ya? Haha.

Fix : Pakai acara sekongkol lagi kalian:')

Fix menghela napas berat seberat paket yang Reva kirimkan. Tatapannya beralih atensi pada paket di hadapannya. Fix penasaran dengan isinya, tapi juga ragu untuk menerima. Namun, yang Fix yakini adalah Reva tidak akan menerima kembali paket ini. Mau tidak mau Fix harus menerimanya dengan lapang dada.

Fix tersenyum penuh arti. Rezeki anak soleh.

“Parah gebetan lo.” Feldy berdiri di ambang pintu kamar Fix seraya mengaduk kopi susunya. Dia geleng-geleng kepala, merasa orang yang mengirimi adiknya paket sebesar ini berlebihan. Padahal dia hanya iri saja gak pernah dapat.

“Kalau yang lo maksud Niana, bukan.”

“Lah, masih ngebet Niana? Jelas-jelas ada berlian di depan mata.” Feldy menyeruput sedikit isi cangkirnya. “Kalau lo gak mau, gue rela gantiin lo buat dapetin Reva.”

“Ya elah. Amnesia nih orang kagak ingat umur. Lu udah umur nikah lah si Reva masih sekolah.”

“Idih nyolot.”

“Enggak! Siapa juga yang nyolot?!”

“Udahlah. Reva juga pasti tahu lo naksir dia. Cara lo nutupin juga kampungan pakai alasan masih stuck di Niana. Jelas-jelas Reva bisa naikin standar lo yang ada di dasar jurang.”

Feldy membuka langkah, meninggalkan kamar adiknya untuk melanjutkan maraton filmnya. Ya, begitulah Fix kalau sedang jatuh cinta. Begonya kelewatan. Gak bisa realistis dengan kejamnya dunia mengenai cinta.

Nyenyenye. Mana hiperbola segala. Moga bibir lo gak jontor aja kena air panas.” Fix mencibir, merutuki segala kelakuan kakaknya. Capek dah jadi adik serba salah. Kayak gak pantas aja hidup di dunia karena belum profesional.

Fix kembali meraih ponselnya, memeriksa room chat yang terakhir dia buka. Pesannya sudah tidak dibalas. Semoga gadis itu hanya sibuk, bukan terjadi hal yang buruk.

“Mari jadi vlogger unboxing. Siapa tahu bisa komplain kalau ada cacat.”

Fix mengambil gunting dari laci meja belajarnya lantas mulai membuka isolasi yang merekat di kotak. Satu persatu dengan perlahan agar bukan dia yang membuat barang ini cacat.

“Eh? Beneran?! Buset nih anak.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Fix berdiam diri di dalam kelas untuk waktu yang cukup lama. Kedua matanya menatap keluar lewat jendela, menunggu sepi di luar. Hari ini dia tidak bersemangat untuk pulang. Masih belum siap bertemu Reva mengingat apa yang gadis itu berikan.

“Fix! Gue udah nungguin dari tadi di motor!” Niana muncul dengan segala rutukan. Gadis itu berdiri di depan Fix, menatap orang yang ‘naksir’ padanya kesal. Ya, tidak berguna saja jika Fix naksir padanya tapi tidak bisa dimanfaatkan untuk hal kecil.

“Iya ... bentar napa. Gue lagi capek.” Fix menggeliat di atas meja. Menenggak tubuh lantas merenggangkan otot-otot. Ya beginilah dia, masih belum bisa menjauhi Niana.

“Capek ngapain? Perasaan lo juga lagi sepi job.”

Haha.” Fix tertawa sarkastik. “Kata-kata lo gak ada yang lebih jelek?”

Niana mengernyit. “Ya udah buruan antar gue pulang!”

“Biasanya sama Gama,” sindir Fix sambil mulai berdiri. Memutar bola mata malas. Cowok itu meraih tasnya, menyampirkan benda itu di bahunya.

“Gama gak mau dekat-dekat sama gue. Dia selalu kabur. Pengecut. Padahal gue mau lho maafin dia.” Niana menghela napas berat.

Walaupun banyak hal buruk yang terjadi, Niana tidak bisa memungkiri keinginannya dengan mudah. Gama belum ada di genggaman seutuhnya, maka misinya belum boleh dikatakan tuntas. Niana harus memastikan tujuan yang dibuat tercapai dengan sempurna.

“Hem.” Fix teringat lagi perkataan mamanya. Dia memang korban, tapi rasanya tidak seperti korban pelecehan yang menangis tanpa henti tempo hari.

Fix melebarkan langkah keluar dari kelas, membiarkan Niana yang menyusul langkahnya. Apa yang mama dan kakaknya katakan padanya beberapa hari berturut-turut masih melekat sempurna di dalam kepala. Kalimat yang membuat Fix kesal beserta menjaga perasaannya. Dipikir-pikir lagi, Fix sudah kelewatan batas normal.

“Fix, temani gue ke mal bentar, dong.”

“Ngapain?”

Niana tersenyum masam. “Jual diri,” celetuknya kesal.

“Ya udah, ayo.”

Motor Fix melaju dengan kecepatan normal. Fix bukan tipe orang yang memutar gas dengan maksimal. Ngegas ya seperlunya saja. Asalkan selamat hingga tujuan. Kalau pun kecelakaan, setidaknya bukan Fix yang melanggar.

Ke mal bawa motor dengan seragam lengkap? Ya, yang penting Niana tidak merengek padanya.

“Gama ulang tahun. Temenin gue beli hadiah.” Niana melepas helmnya, meletakkannya di kaca spion motor Fix yang tak merespons apa-apa. Dia hanya melepas helmnya lantas mengikuti Niana yang menyeberang jalan. Entah apa yang sedang cowok itu pikirkan.

“Kira-kira Gama lagi butuh apa, ya?”

“Dia sudah punya sepatu apa aja?”

“Ah, atau gue beliin jaket gitu?”

“Atau parfum? Keknya dia pakai parfum itu-itu mulu.”

Fix menghela napas jengah. Dia jadi malu sendiri dengan kelakuan Niana. Jika memang benar dilecehkan, dia seperti pengidap gangguan mental di mana malah jatuh cinta pada penjahatnya.

Fix ingin mencari waktu, kapan dan bagaimana caranya dia merealisasikan pikiran yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya.

“Fix, lo, ‘kan, cowok. Bantuin gue dong milih kado yang selera cowok!”

“Beda orang beda selera, Na. Bisa aja Gama suka koleksi barang serba pink.” Fix merespons sembarangan. Kakinya sedari tadi ingin melangkah keluar dari mall.

“Emang kenapa? Pink lucu tahu!”

“Bukan warnanya, tapi barangnya.”

“Emang barang apa? Kenapa?”

“Gak tahu gue. Tanya Gama aja.”

Niana berdecak malas, Fix sama sekali tidak membantu. Sebagai balasan, Niana mengajak Fix berputar mal sampai matahari sendiri lelah melihatnya.

“Lo cemburu, ya? Lemes banget. Gue tetap ingat, kok, tanggal dua belas.”

“Siapa cemburu? Gue? Dih.” Fix berdecih ngeri. Jangan harap Niana, Fix bahkan nyaris kebal cemburu sebab terus diduakan.

Niana mendengkus geli. Lihatlah orang yang sedang melawan gengsinya ini. Berpura-pura tidak merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada salahnya dirasakan. Niana yang sering kali cemburu dengan orang-orang di sekitar Gama tidak akan meledek orang dengan perasaan yang sama.

“Lo mau apa, Fix? Kado untuk ulang tahun ke tujuh belas lo?”

Fix menghela napas. Sebenarnya Niana baik. Ya, baik yang seperti ini. Hanya saja memang lebih sering ditutupi oleh rasa manja dan semena-menanya. Andai Niana tahu caranya bersikap sesuai kondisi. Mungkin dia akan terlihat lebih baik.

“Terserah lo aja. Gue maunya surprise. Untuk apa lo tanya segala?”

Ponsel Fix berdering, sontak Fix mengangkat ponselnya dan mencari tahu siapa penyebabnya. Ada sebuah pesan masuk dari seseorang. Kakinya berhenti melangkah, memilih untuk membaca pesan itu terlebih dahulu.

“Na, sudah belum? Gue ada urusan.”

“Hah? Urusan apa? Nanti dulu ah, gue lebih penting.”

Fix menghela napas cukup panjang, jengkel mendengar jawaban super percaya diri itu. Dia harus mengambil keputusan sendiri dari sudut pandangnya. Seperti kata mamanya, dia harus bersikap dewasa.

“Gue kasih pilihan. Gue antar lo pulang sekarang, atau lo tunggu gue balik lagi setelah satu atau dua jam.”

Niana mengernyit, menatap Fix sedikit tak percaya. Fux memberinya pilihan seperti itu? Sejak kapan cowok itu punya hal yang lebih penting dari pada dirinya?

“Apa yang lebih penting dari gue?”

“Nyawa orang lain.”

Niana tertegun, mengerjap ikut panik. “Tapi gue belum selesai cari hadiah buat Gama, Fix? Gimana dong?”

“Ya kalau lo emang mau cari. Lo tunggu aja di sini sambil keliling.”

“Gue gak mau sendirian. Ngeri tahu, Fix.”

“Terus gue harus gimana? Ngelerain nyawa orang jadi korban, lo mau disalahkan karena halangin gue?”

“Ya udah gue ikut.”

“Gak. Gue antar lo pulang.” Fix mengambil sikap tegas.

“Gue ikut!” rengek Niana. Dia sama sekali tak Meu menerima penolakan. “Lo udah gak sayang sama gue, Fix?” Ultimatum yang biasanya selalu berhasil akhirnya meluncur.

“Kalo iya? Lo mau gue tinggal di sini?”

“Kok, lo jahat sama gue!” Niana hampir kehilangan setengah akalnya. Fix mengatakannya sendiri dengan mulutnya, di depan Niana. Dia tak lagi menyayangi Niana?

“Na, gue gak mau berantem di depan umum begini. Malu. Hitungan tiga lo harus ambil keputusan.”

Fix mulai menghitung. Tidak peduli pandangan orang-orang semakin banyak tertuju pada mereka. Karena sejak awal, Fix tak lagi memiliki wajah. Tembok malunya sudah runtuh sejak dia bersikeras memperjuangkan Niana.

“Tiga.”

Fix menghela napas, mengangguk mantap. “Gue tinggal lo di sini. Setelah dua jam kalau lo pengen dijemput, hubungi gue.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

“Ta! Lo gila, ya!” Teriakan Fix menggelegar. Menerbangkan burung-burung yang tadinya bertengger tenang di sekitar jembatan. Warna oranye langit membuat suasana semakin tidak nyaman, dibalut dengan apa yang terjadi di bawahnya.

Fix menghampiri Titra di sisi jembatan hati-hati. Takut gadis itu melakukan hal aneh. Fix percaya setan berkeliaran di waktu magrib, dia harus berhati-hati.

“Siapa yang gila! Lo kali yang gila. Gue lagi duduk anteng dikata gila!” Titra menggerutu malas. Menoleh menatap kesal orang yang berjalan mengendap mendekatinya.

“Maksud lo kirimin gue foto jembatan apa?! Jangan bikin orang nethink!”

“Gue gak ada maksud. Lo aja yang over thinking.” Titra menjawab dengan santainya. Tanpa rasa bersalah seperti yang Fix harapkan.

“Gue bakal tepati janji gue! Tapi gak sekarang.”

Titra diam sejenak, mendengkus geli lantas berubah jadi tawa yang membingungkan. “Memangnya kenapa? Ada yang lebih penting dari janji lo?”

“Gue bareng Niana tadi. Gue terpaksa ninggalin dia.”

“Gue lagi ada waktu, makanya gue mau lo nyusul ke sini. Lagian, janji lo ke gue pasti lebih penting dari pada Niana. Orang lo duluan yang bikin janji sama gue.”

Fix menghela napas mengerti. Dia lelah dengan semua yang terjadi hari ini. “Iya, gue tahu. Tapi lo ngerti timing gak, sih? Gue gak mau lo jadi korban Niana juga.”

Tawa sinis Titra terdengar. Semakin lama dia semakin kesal dengan Fix dan pikiran pendeknya.

“Gue jadi korban Niana karena lo juga yang gak bisa ngapa-ngapain, Fix. Emang pada dasarnya lo yang pengecut. Memangnya Niana pernah ngorbanin nyawanya untuk lo sampai lo senurut ini sama dia? Apa Niana punya sakit mental yang harus lo jaga supaya gak makin parah? Apa Niana punya pelet yang kuat sampai lo gini?” Titra memutar bola mata, jengah dengan kelakuan Niana.

“Modal muka melas, suara dilembut-lembutin, manja, menjijikkan tahu, gak? Gue lebih milih saingan gue Reva dibanding Niana.” Titra berdiri, menepuk-nepuk bagian belakang celananya.

Don’t judge by the cover. Lo tahu itu.” Tangan Fix terkepal. Mau bagaimana pun, Niana adalah orang yang pernah dia sukai. Orang yang pernah baik padanya, dia hanya sedang tersesat.

“Iya gue tahu. Lo bener banget.” Kepala Titra mengangguk-angguk saja. “Tapi, Fix. Sayang .... itu bukan cover-nya Niana. Memang hatinya sudah busuk sejak awal. Jangan kebiasaan belain dia.”

“Gue gak belain dia, Ta. Lo sendiri yang gak kenal dalamnya Niana gimana.”

Titra berjalan mendekat, menghadiahi Fix dengan senyuman sinisnya. Apa Fix sendiri yakin dengan seberapa kenalnya dia dengan Niana? Titra rasa tidak.

Sudah ada begitu banyak keraguan yang melanda cowok itu. Perasaannya sedang terombang-ambing. Banyak angin yang siap merobohkan tiang kokoh yang dia bangun untuk Niana. Kepalanya sedang tidak baik dalam memproses informasi. Masih tidak memilih jawaban yang sebenarnya dia tahu apa.

“Baju sudah sampai ke Reva tanpa ketahuan kalau itu dari lo. Reva juga gak curiga apa-apa ke lo. So, gue udah ngelakuin kemauan lo dengan sempurna. Mau sampai kapan lo ulur janji lo?”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Terima kasih sudah membaca💙

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang