52 || Candu

91 21 3
                                        

Selamat membaca🙆🏻‍♀️

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

“Anak Mama cantik banget!” Klara kesenangan sendiri. Bangganya bukan main melihat anak yang hari itu ada di dalam perutnya tumbuh jadi secantik ini. Namun, rasa senangnya tak bertahan lama. Angin kencang yang seolah siap merobohkan kehidupan putrinya lewat di benaknya. Klara menyesal. “Harusnya ... ulang tahun kamu kemarin bisa kamu rayain. Maafin Mama ya, Sayang.”

Klara benar-benar menyesal sampai malu untuk meminta maaf.

Membelai rambut dan pipi putrinya sebagai sedikit gantinya.

“Mama tahu Reva gak tertarik buat ngerayain.” Reva tersenyum. “Sekarang Reva tahu alasannya, karena doa-doa itu lebih baik dikirimkan untuk Ayah.”

Satu detakan keras muncul. Klara membeku untuk beberapa saat, lantas menjauhkan kedua tangannya dari Reva menyembunyikan getar. Mengambil satu napas yang begitu berat, mencoba terbiasa ketika mendengar Reva membahas Etam.

“Semoga acaranya seru, ya.”

“Makasih, Ma.”

“Nanti, kalau Fix gak bisa antar pulang. Telepon Mama, jangan Papa. Kasihan dia sudah Mama kurung di rumah.”

Klara terkekeh geli sendiri. Pasalnya, jika Klara tak melakukannya, Etan sudah mati-matian melarang Reva datang ke acara ulang tahun Elya. Apalagi dengan dandanan secantik ini, Etan masih tidak rela putrinya jadi konsumsi publik.

“Bilang sama Papa. Reva bisa jaga diri.”

“Iya, Sayang. Fix mana, ya?” Klara melirik jam tangannya, seharusnya cowok itu sudah tiba untuk menjemput Reva seperti yang dijanjikan.

Assalamualaikum.”

Wa’alaikumussalam.”

“Halo, Tan.”

Fix mencium punggung tangan Klara, sedetik pun tidak menoleh ke arah Reva karena bisa berbahaya untuk jantung dan tingkah lakunya. Sebenarnya Fix sendiri agak bingung ketika harus menjemput Reva di sini, tapi ya sudahlah. Dia tak perlu jauh-jauh menjemput ke rumah Reva.

Sesi berpamitan sudah selesai. Fix mulai melajukan mobilnya. Susah payah dia menyogok Feldy agar kakaknya itu mau meminjamkan mobil padanya. Padahal hanya untuk malam ini, tapi dia tidak relanya bukan main.

Mereka tiba di tempat acara dengan selamat. Fix menyugar rambutnya, memperhatikan tatanan rambut kerennya dari kaca spion. Berdampingan dengan Reva, jangan sampai membuatnya merasa seperti kentang gosong.

“Udah ganteng, kok.”

Fix terkesiap, sontak dia menoleh dan semakin salah tingkah melihat gadis itu tersenyum padanya. Sejak kapan Reva memperhatikannya? Sial, warna pipinya masih normal, ‘kan?

“Ma-makasih.”

Reva mengangguk kecil sambil beranjak keluar dari mobil. Kesempatan itu Fix gunakan untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya. Sadis. Jantungnya lemah.

Acara Elya dibuat dengan meriah bak acara lamaran. Ada sesi sang pemilik acara masuk ke altar acara diantar kedua orang tuanya. Benar-benar acara yang sangat menarik bagi semua tamu, kecuali Reva. Gadis itu hanya diam, menampilkan senyuman tipis di wajah berusaha agar terlihat ikut berbahagia.

Melihat semua kebahagiaan membaur menjadi satu, ditujukan pada sang pemilik acara yang tersenyum lebar. Tepukan tangan terdengar merdu memeriahkan. Semua kebahagiaan ini, entah kenapa tidak sanggup Reva tampung.

“Klar, lo cantik. Yang punya acara kalah cantik.”

Telinga Reva terasa geli karena bisikan barusan. Dia mendongak, menatap Fix yang tersenyum padanya lantas kembali turut andil dalam memeriahkan acara. Reva cantik? Pujian yang selalu dia terima sejak dahulu. Bukannya tidak bersyukur, satu dua kali masih dia terima. Namun, untuk apa kalau berkali-kali?

Menurut Reva, orang cantik adalah seseorang yang wajahnya bercahaya, tatapan matanya berbinar, dan senyumannya yang merekah, persis seperti Elya. Bukan kosong sepertinya, yang tersenyum pun entah untuk apa.

Jika hal-hal cantik tadi ada pada seseorang, artinya dia telah berhasil berdamai dengan dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa menyangkalnya.

“Klar, sini.”

Tangan Reva ditarik. Buru-buru Reva memperhatikan langkahnya, takut tiba-tiba terjatuh dan merusak suasana bahagia di sini.

Happy birthday, El.”

Thank you, Fix.”

Reva tersenyum, menatap Elya.

Happy birthday.”

Elya terharu, dia memeluk Reva sambil mengucapkan banyak terima kasih atas ucapan, kehadiran, dan hadiahnya. Pelukan yang membuat Reva tertegun. Namun, dia berusaha menyesuaikan diri. Diakhiri dengan senyuman manis, pamit dari hadapan Elya yang harus menyambut tamu yang lain.

Fix tersenyum kecil, kembali menarik tangan Reva untuk mendatangi Titra. Gadis itu sudah menyediakan tempat duduk untuk mereka. Kemudian dia bertanya apa yang ingin gadis itu makan agar Fix bisa mengambilkannya.

“Serius, apa aja?”

“Iya.”

“Ya udah. Tunggu sebentar, ya.”

Titra berdehem setelah kepergian Fix. Ekor matanya menatap Reva diam-diam, tak lama kemudian menatap terang-terangan wajah Reva di setiap sudutnya. Visualnya memang bukan main-main semakin diperhatikan.

“Gue boleh pegang wajah lo?”

Reva terkesiap, menaikkan kedua alisnya bingung.

“Gue mau mastiin lo pake mekap apa enggak.”

Lantas Reva tertawa kecil, geli sendiri. “Gue pakai mekap. Tadi Mama yang dandanin. Liptint, bedak, sama eyeshadow.”

“Alis lo?”

“Baru kali ini lo lihat alis gue?”

Titra menggeleng. “Enggak, sih. Alis lo asli. Bulu mata lo juga asli.”

Pantas saja Fix jatuh hati. Kalau Titra mau jahat, Niana memang kalah jauh, baik cantik di luar maupun di dalam. Titra tersenyum, bangga jadi teman Reva.

“Oke, deh. Seenggaknya lo bukan pickme girl yang nyebelin itu.”

Reva tersenyum kecil. “Lo cantik banget, Ta.”

Tawa Titra pecah. Mencibir pujian Reva untuknya. “Gue tahu lo bohong. Bawa tongkat gini masa cantik?! Ngadi-ngadi.”

“Lo memang cantik.”

Titra mendengkus, mengiyakan saja supaya cepat. Matanya kembali sibuk meneliti penjuru ruangan, terakhir kali dia melihat Fix tenggelam di antara orang-orang. Sampai dia menemukan sebuah kepala di antaranya, sedang mengantre makanan penutup.

“Gimana Fix?”

Sebelah alis Reva terangkat sedikit. “Gimana apanya?”

“Udah berhasil bikin lo suka belum? Udah nambah berapa?” Titra memainkan alisnya menggoda.

“Kalian emang sekongkol, ya?”

Ups. Ketahuan. Haha!” Titra tertawa licik, semakin menggoda Reva. Manik matanya kembali menangkap punggung Fix sambil geleng-geleng kecil. “Walaupun rada bego, tapi usahanya bisa banget lo apresiasi.”

Apresiasi?

“Dalam bentuk?”

Sontak, Titra kembali menatap temannya. Memukul lengannya pelan, dia suka pura-pura tidak mengerti. “Balas perasaannya, lah! Emang apalagi yang Fix mau selain itu?”

“Gue yang gak mau.”

Titra terkesiap, turut prihatin untuk Fix. Dia sudah sering mendengarnya dari Reva, tapi karena dia ikut berusaha menyatukan dua orang ini, dia juga merasakan sakitnya tertolak. “Gak usah sebatu itu, deh, Re. Kasihan Fix.”

“Iya karena kasihan, gue gak mau.”

Titra memutar kedua bola matanya malas. Entah sudah usaha ke berapa yang dia kerahkan untuk membantu Fix meraih cintanya. Hingga detik ini, tetap saja, Reva sedalam lautan dan sekeras batu karang. Atau setinggi langit dan serapuh awan. Susah-susah terbang, tapi tak bisa digenggam.

“Lagi ngomongin apa?” tanya Fix sambil meletakkan nampan kecil berisi makanan dan minuman yang dia pilih tadi. Menjelajahi meja demi meja untuk mencari makanan yang sekiranya paling enak.

“Ngomongin lo. Apalagi?” jawab Titra sewot.

Kedua alis Fix terangkat, menunjuk dirinya sendiri. “Gue kenapa?”

“Reva bilang lo ketinggian, lehernya sakit dongak terus.”

Dengan polosnya Fix menatap Reva, merasa bersalah. Meski begitu masih ada harapan bahwa Titra salah. Fix meminta klarifikasi dari Reva. Benarkah? Sayang sekali Fix tidak bisa menghentikan pertumbuhannya.

Reva mengulas senyum. Titra sangat jahil. “Enggak.... Titra bercanda.”

“Tapi benaran enggak, ‘kan?” Fix ingin memastikan.

Reva mengangguk, meyakinkan Fix yang terlanjur percaya pada Titra. Setelah itu malah Fix yang protes dan mencibir Titra dengan mengeluarkan semua unek-uneknya. Perkelahian kecil tak bisa dihindari begitu saja. Mereka berdua sudah seperti anak kecil di mata Reva. Selalu bertengkar dan selalu menggemaskan.

“Eh, Re. Pinjam hp lo, dong.”

Reva memberikannya dengan sukarela. Lantas Titra membuka kamera, membidik ke arah mereka berdua.

“Pose, dong!”

Cekrek.

Cekrek.

Cekrek.

Titra tersenyum puas. Fix harus banyak-banyak mentraktirnya makan setelah ini. Dia memandangi hasil jepretannya dengan bangga, lalu mengembalikan benda pipih itu pada Reva. Tak lama kemudian tawa Titra terdengar pecah.

“Visual lo jongkok banget di samping Reva!”

Fix melotot, Titra niat membantunya tidak, sih? “Karpet lo, Ta!”

“Kampret, bego!”

“Iya, tahu. Gak usah dibenerin!”

Reva menatap layar ponselnya, memperhatikan dengan seksama mahakarya Titra. Visual jongkok yang Titra maksud itu bagaimana? Reva rasa wajah Fix sama saja seperti yang aslinya. Oh, dia menemukannya.

“Hai, Re.”

Ketiganya mendongak serempak, satu yang dipanggil, dua lagi mengamati. Seseorang yang Reva temukan di salah satu foto barusan. Dia Gemin, datang meminta waktu Reva sebentar.

“Ganteng banget, anjir!” Mata Titra membulat, menatap lekat-lekat tanpa kedip punggung Gemin.

“Gemin Gemin yang lo maksud?” tanya Fix sedikit jengah dengan kelakuan Titra. Bisa tidak mata keranjangnya di simpan dulu, jangan sampai diketahui publik.

“Iya! Ganteng banget, ‘kan?!

“Masih gantengan gue.”

Titra melirik Fix kesal, jijik sendiri dengan kepedean cowok itu “Fix, sih. Ini lebih meresahkan dari Bion.”

Gemin tersenyum, menatap lurus ke depan di mana mobil-mobil para tamu terparkir dengan rapi. Rasa penyesalannya datang kemari sedikit berkurang ketika melihat ada yang menarik. Kalau bukan karena acara adik sahabatnya, dia juga tak mau datang.

“Lo pasti sudah bosan dipuji cantik.”

“Anggap aja begitu.” Reva menimpali dengan santai. Dia tidak mau mencampuri isi kepala orang lain untuk hal yang tidak penting.

“Oh, ya. Gimana? Gak ada yang kurang, ‘kan? Soalnya gue belum dapat kabar apa-apa tentang pelaku.”

“Kalau ditanya kurang atau enggak. Yang pasti kurang. Tapi itu cukup.”

Gemin mengangguk, setiap kali bicara dengan Reva entah kenapa dia merasa bodoh. “Bener juga. Bukti yang gue kasih cuman sepotong-sepotong.”

“Ada hubungan apa sampai masalahnya cuman berputar-putar di kalian?”

“Gak ada.” Gemin membuang napas, malu mengakuinya. “Anggota gue aja yang dibegoin sama uang. Juga dibegoin sama Gama sejak dia sering bawa Niana nongkrong. Jadi korban, lah, tuh anak.”

“Semoga ke depannya lo bisa benar-benar jadi bos untuk mereka.”

Gemin terdiam. Dia mengerti. Dia memegang jabatan itu, tapi anggotanya banyak yang tidak sejalan dengannya. Mereka takut padanya, tapi tidak sepenuhnya percaya. Gemin sudah lalai, tidak memantau dengan baik anggotanya.

“Gue gak mau ikut campur. Tapi gue harap lo bisa kasih hukuman yang sepadan untuk orang itu. Apa yang mereka lakuin ke sepupu gue ... keterlaluan.” Reva menatap Gemin, menunggu pria itu balik menatapnya dengan yakin.

Gemin menghela napas cukup panjang, menoleh menatap Reva. Memberikan tatapan yang gadis itu inginkan. “Ya ... kalau hukuman sepadan dia gak bakal dapat. Tapi, gue bisa bikin dia jerah.”

I hope.”

“Gue juga punya adik perempuan.”

Reva mengangguk mengerti, dengan begitu Gemin bisa menempatkan diri dengan baik. Dia berterima kasih pada Gemin, lantas pamit, kembali duduk di sebelah Fix dengan tenang.

Mau bagaimana pun, di saat seperti ini hanya Reva yang bisa membela kesalahan Niana. Bergerak di balik layar itu memang melelahkan, tapi hanya itu yang bisa Reva lakukan sebelum Niana memaafkan dan menerimanya. Jika dua hal itu memungkinkan.

“Makan, Klar.” Fix menawarkan sepotong kue pada Reva. Diterima tanpa penolakan, Fix bersyukur setiap kali Reva sama sekali tidak memberikan penolakan. Cowok itu memperhatikan Reva dengan seksama.

“Jangan lihatin gue terus, Fix.”

“Kenapa?” Sebelah alis Fix terangkat. Reva menyadari kelakuannya.

“Banyak hal yang lebih menarik.”

“Tapi, gue cuman tertarik sama lo.”

“Didorong aja biar gak tertarik.”

Alis Fix langsung terangkat tinggi, tertawa. “Lah, malah ngelawak. Gue serius tahu!”

“Gue kelihatan bercanda?”

Fix terdiam. Benar, Reva sama sekali tidak menunjukkan jika dia sedang bercanda.

Titra yang berada di antara keduanya mulai lelah. Suasana yang mereka ciptakan sering kali seperti ini. Setiap detik berubah, dari yang akur, bercanda, melempar gombal, sampai serius yang Titra sendiri tidak mengerti dari Reva.

Titra coba mengerti bagaimana pola pikir Reva, tapi masih belum mengerti sepenuhnya. Sejak awal dia menolak Fix, tapi membiarkan Fix berjuang untuknya. Mungkin yang ada di pikirannya, Reva sudah menolak dan bukan kewajibannya untuk pergi hanya karena itu.

Tidak salah. Mau sampai kapan penolak yang harus selalu menghindar agar tidak dituduh sebagai pemberi harapan? Sudah jelas ditolak, maka penawar lah yang seharusnya berhenti berharap. Perasaannya tidak salah, tapi tutuplah harapan itu perlahan tanpa harus membuat orang itu pergi menjauh.

Seharusnya seperti itu, kepala Titra sampai ruwet sendiri memikirkannya.

“Fix, mending lo antar Reva pulang sebelum dicariin bokapnya.”

Dua orang itu kompak menatap ponsel masing-masing. Melihat jam yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Kemudian keduanya saling melirik, lantas pamit. Titra mencibir, ikatan batinnya kuat juga.

“Gue yakin Reva naksir Fix. Kalau enggak, ya harus.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

“Makasih sudah antar pulang.”

“Iya, sama-sama. Oh, ya.” Fix meminta Reva menunggunya sebentar. Dia kembali ke mobilnya, mengambil sebuah buket bunga dan sebuah paper bag berwarna biru kesukaan Reva.

Dengan senyuman yang begitu lebar, memberikannya pada Reva,

“Gue harap bukan cuman sekali. Gue juga berharap gak telat lagi, mungkin nantinya bakal jadi orang pertama yang ngucapin. Happy birthday, Klar.”

Reva hanya terdiam, tidak memberikan ekspresi apa-apa. Hingga Fix merasa dia sudah melakukan kesalahan, barulah sudut bibirnya terangkat. Tangannya terulur, menerima keduanya.

Sudah lewat lima bulan yang lalu, bahkan saat itu dia belum pernah bertemu langsung dengan Fix. Merasa ini berlebihan, tapi tidak tega melihat Fix memasang tampang kecewa.

Thanks.” Dia menatap Fix, menunggu cowok itu pulang. “Ada lagi?”

Fix menggeleng seperti anak kecil, detik berikutnya dia malah mengangguk. Dia ragu mengatakannya, tapi harus dia katakan.

“Coba buka kadonya.”

“Oke.”

Fix menatap cemas. Semoga Reva menyukainya. Tentu saja, Reva pasti menyukainya. Tidak mungkin juga dia bilang dia tidak suka. Sefrontal apa pun Reva, Fix yakin dia selalu menghargai orang lain.

“Mau lo pakein?” tanya Reva sambil mengeluarkan sebuah kalung pemberian Fix dari tempatnya. Gadis itu tersenyum kecil, lantas mendekat dan membiarkan Fix memakaikannya.

Fix tidak mungkin masih ada di sini kalau tidak ingin melakukannya.

“Sudah.”

Reva menatap bandul kalung itu, lantas berbalik dan berterima kasih pada Fix. Senyumannya menular, membuat perasaan manis membuncah di dalam dada Fix. Rasa hangat menjulur ke seluruh tubuh yang tadinya nyaris menggigil karena dinginnya malam berangin. Wajahnya mulai memerah.

Soon, lo bakal jadi putri yang gue selamatin dari menara. Diam aja di sana, gue yang bakal manjat naik.”

Reva tersenyum, keinginannya persis seperti keinginan Jio.

“Cinta itu manis, Klar. Semanis senyum kosong lo. Gak tahu lagi kalau senyuman lo penuh rasa. Semua orang juga bakal ketagihan.”

Fix tertawa.

“Gak papa. Gini aja sudah cukup, biar saingan gue gak nambah. Dan lo harus yakin, cinta yang datang buat lo itu tulus. Jangan takut.

“Gue suka lo, Klar. Lebih candu dari apa pun.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Terima kasih sudah membaca💙

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang