Kalau sebelumnya end sampai di angka ini, maka kali ini masih ada kurang lebih 10 bab menanti.
Selamat membaca💙
⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Reva menatap ke luar jendela mobilnya. Memperhatikan Etan beberapa saat, lalu menyusul papanya yang menunggu di luar.
Ternyata di sini ayahnya berada, di tempat pemakaman umum yang sama dengan Jio dan Rian. Reva sudah sering datang kemari, tapi tidak tahu sedikit pun jika ayahnya ada di sini.
Miris sekali.
Jika memang kehidupan Reva sempurna, sejak awal dia tidak akan mengabaikan keberadaan ayahnya. Tidak akan terlambat mengetahui hal yang seharusnya dia ketahui.
Etan menghela napas, menggandeng tangan putrinya menuju makam kakaknya.
Dari kejauhan, tampak seseorang sedang mengunjungi kuburan Etam. Sepertinya dia tahu siapa sosok di balik pasminah itu. Sosok yang pastinya jauh merasa kehilangan dibanding Etan sendiri.
“Mama?” Reva memanggil.
Sontak, Klara menoleh terkejut melihat Reva bersama Etan ada di sini. Pupil matanya membesar, kemudian redup menyorot khawatir pada putrinya.
Padahal ... dia sudah merencanakan ini. Padahal Klara sudah menyiapkan diri untuk memberi cerita. Namun, melihat wajah putrinya meruntuhkan semua keberanian Klara.
Dia berusaha memberikan senyuman untuk Reva, lantas memeluk putrinya.
Perasaan dua orang itu—Etan dan Klara—tidak ada yang baik-baik saja. Diliputi berbagai rasa bersalah pada Reva. Entahlah, mereka bingung dengan diri mereka sendiri yang tak bisa tegas mengambil keputusan. Membiarkan Reva tersiksa tiga tahun ini tanpa pembelaan.
Sibuk menyiksa satu sama lain hingga terkadang lupa Reva yang paling tersakiti.
Semalam, Etan dan Klara tak sengaja bertemu di salah satu mal. Klara tidak lagi kabur mengingat semua yang sudah Etan lewati. Mereka berbincang dengan kepala dingin. Mendiskusikan keputusan yang akan mereka ambil ke depannya. Terkait kepindahan mereka kembali ke Amerika, juga kembalinya Klara ke rumah.
“Maafin Mama, Sayang.”
Klara ingin menangis, rasanya sakit sekali.
“Mama gak salah apa-apa, kok. Reva gak papa.”
“Hari ini Mama pulang ya, Sayang.”
Reva tersenyum, mengusap sudut mata Klara yang basah. Dia senang mendengarnya. “Welcome home, Ma.”
“Makasih, Sayang.”
Klara menghela napas, beralih menatap kuburan mendiang suaminya. Dia mengajak Reva berjongkok di samping nisan, memperkenalkan dua orang yang tidak pernah bertemu ini.
“Mas ... lihat anak kita sudah gadis. Sudah besar.” Klara menjatuhkan air mata. Terbayang bagaimana wajah Etam yang begitu bahagia melihat putri yang dia dambakan lahir. Saat itu. Untuk yang pertama dan terakhir kali. “Cantik, pintar, baik seperti yang kamu inginkan. Persis seperti apa yang kamu impikan sebelum Reva lahir.”
Klara menahan air mata dengan senyuman. Membicarakan kembali kenangan lama meruntuhkan semua keyakinan bahwa Klara baik-baik saja tanpa Etam.
“Dia sayang banget sama Etan. Kalau kamu masih hidup, Reva pasti sesayang itu sama kamu.”
Reva menatap Klara yang tak bisa menahan air matanya. Kata Etan, ayahnya adalah kakak kembar Etan yang telah tiada tepat di hari kelahiran Reva. Untuk alasan yang lebih jelas, belum ada yang berani menceritakannya pada Reva.
Hari kelahirannya adalah hari kematian ayah kandungnya.
Sekarang Reva mengerti kenapa nenek mengatakannya pembunuh dan pembawa sial.
Ternyata ....
“Maaf aku baru bawa Reva ketemu kamu di sini. Karena aku yakin, dari sana kamu juga selalu perhatikan Reva, ‘kan? Pasti kamu bangga sama anak kamu, Mas.”
Waktu terus bergulir meski Reva tak berbuat apa-apa. Dia hanya diam, larut dengan kekosongannya sendiri di dalam kepala, menatap batu nisan ayahnya dan Klara bergantian. Setelah itu Klara memintanya untuk mengirimkan doa, meminta Reva berbicara pada Etam sendirian, hanya berdua.
Reva menghela napas. Tidak tahu harus merasa sedih atau senang. Perlukah menangisi duka yang sudah tujuh belas tahun dia lewatkan? Perlukah dia menciptakan perasaan kehilangan seseorang yang bahkan tak pernah dia temui seumur hidupnya? Reva sama sekali tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang.
Ini hanya batu nisan seseorang yang Reva tak kenal, walaupun darahnya mengalir di tubuh Reva. Perasaannya sebuta ini. Jika dia bukan Reva. Bukankah dia sudah menangis karena tak bisa sekalipun menemui ayah kandungnya sendiri?
Rasanya kosong, tapi dia tidak mau mengecewakan ayahnya.
Ujung bibir Reva terangkat, dia mengusap batu nisan Etam. Anggap saja seperti dia yang suka mengusap kepala Etan saat masih kecil.
Jika dia kembaran Etan, Reva rasa dia bisa menganggap Etan adalah Etam demi mendapatkan perasaan itu. Namun, tidak bisa. Etan tetaplah Etan. Etam tetaplah seseorang yang tidak pernah dia kenal.
“A-yah? Ayah seberapa mirip sama Papa? Kalau sangat mirip, terima kasih. Ayah sudah berhasil membuat Reva gak merasakan beratnya merindukan Ayah seperti Mama. Maaf ... karena sekalipun Reva gak pernah merindukan Ayah.”
Reva terdiam sebentar. Dia kesulitan merangkai kata di dalam kepala. Dia tidak tahu apa yang dia bicarakan.
“Ayah ketemu Kak Jio? Dia baik, ‘kan? Ayah pasti makasih banget sama Kak Jio karena sudah jagain Reva. Sama Om Rian juga.”
Embusan angin datang, membawa rambut Reva menari dengan lembut. Entah kenapa dadanya mulai dihinggapi desiran hangat. Seakan Etam mengiriminya perasaan yang seharusnya ada di sana. Tak bisa dia pungkiri senyumannya kian melebar.
“Rasanya dingin, tapi di dada Reva hangat. Jangan-jangan ulah Ayah, ya?” Reva terkekeh geli. “Setiap hujan, Reva gak ngerasa sendirian. Berarti beneran ada Ayah waktu hujan turun.”
Reva mengulum senyum. Malu sendiri. “Bercanda. Tapi kalau bener ... makasih sudah temani Reva. Senang ketemu Ayah. Tinggal nunggu, kapan Ayah bisa peluk Reva. Ketemu di sana ya, Yah. See you.”
Klara dan Etan menatap sendu. Percakapan kecil mereka yang terdengar mengharukan semakin menyadarkan kesalahan yang mereka buat. Klara belum bisa jadi ibu kandung yang baik untuk Reva. Demikian Etan belum bisa jadi ayah sambung yang baik untuk Reva.
Etan menghela napas, memeluk tubuh Klara yang mulai gemetar, mencoba menenangkan istrinya dengan dekapan.
Tujuh belas tahun berlalu, tapi perasaan Klara masih tertinggal pada Etam. Sejak awal Etan mengerti jika ini adalah salah satu konsekuensi ketika dia memenuhi keinginan terakhir Etam. Mengambil alih keluarga kecilnya, menggantikan sosok Etam untuk mencintai dua orang ini.
Sebelum pulang, mereka menyempatkan diri berkunjung ke makam Jio dan yang lain. Memanjatkan doa untuk mereka yang sampai detik ini belum dituntaskan dengan benar alasan perginya.
“Kak Jio ketemu Ayah? Semoga gak gibahin Reva doang kerjaannya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks to Fix | Revisi
Fiksi Remaja| Fiki UN1TY | Dalam proses revisi 5 Desember "Aku adalah ceritamu yang telah lama usai." Reva meletakkan penanya di dalam saku, menutup buku diary miliknya dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa jelaskan bagaimana. Lembar terakhir yang dia gunak...