47 || Gak Mungkin

112 27 0
                                    

Happy reading 💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Fix tidak tahu apa yang Reva lakukan di rumah sakit. Dia hanya diminta menunggu di kantin, Fix pun hanya menuruti. Dia membuka galeri, tersenyum kecil melihat foto Reva yang dia ambil tempo hari. Cantik sekali.

“Fix!”

Sontak, Fix menoleh. Sedikit terkejut ketika yang datang adalah Titra. Dia berbicara dengan seseorang sebelum menghampiri Fix. Sepertinya orang itu adalah kakaknya.

“Lo ngapain di sini? Ada yang sakit?”

Fix menggeleng. “Temani Reva.”

“Reva sakit?!” Titra heboh sendiri. “Kok, lo gak kasih tahu gue?!”

Fix mendesis, menatap malas plus malu dengan tingkah Titra. “Gak ada yang sakit, woy! Cuma nemenin Reva, dia ada urusan.”

“Kalau bukan sakit urusan apa di Rumah Sakit?”

“Ya mana gue tahu. Gue cuma nemenin doang.”

Titra berdecih. Masa begitu saja tidak tahu? “Tanya, kek. Kan, punya mulut!”

“Gak semuanya perlu lo ketahui.”

“Dih, jiplak Reva.” Titra memutar bola mata malas. Sudah penasaran begini dia harus tahu apa tujuan Reva datang kemari.

“Gimana kaki lo?”

“Aman.”

“Baguslah.”

Mereka kembali diam. Titra memesan dua porsi jus alpukat. Dia tahu Reva suka sekali jus alpukat, begitu pula dengan dirinya sendiri. Tidak ada minuman yang lebih enak dan mantap dari pada jus alpukat di dunia ini. Sayangnya mahal. Nanti dia tinggal minta Reva membayarkannya saja.

Titra berhenti di belakang Fix, mengintip apa yang membuat cowok itu terlalu fokus pada ponselnya.

“Ih! Mesum, anjir!”

“Siapa yang mesum gila!” Fix melotot. Lama-lama mereka bisa diusir satpam kalau ribut terus.

“Itu, ngapain lo nyimpan foto Reva?” Titra melotot, menatap horor Fix. Tidak boleh. Reva harus selalu aman dari jangkauan orang haram begini.

“Ini gue yang fotoin, makanya ada di sini.”

Titra masih melotot, tak mau kalah. “Ya hapus! Udah lo kirim ke Reva, ‘kan?”

“Emangnya lo gak nyimpan foto cowok?!” Emosi Fix memuncak. Kali itu barulah Titra diam dan kembali duduk di kursinya dengan tenang.

“Enggak,” jawabnya tanpa berdosa.

“Gue tahu ya lo nyimpan foto Un1ty ribuan di galeri!”

Sssttt!” Titra kembali melotot, meminta Fix diam.

“Satu lo ributin, apa kabar delapan?” Fix masih nyolot. Dia belum puas.

“Udah, udah, iya! Ah! Tapi, ‘kan, mereka idola gue.”

“Ya sama Reva idola gue.”

“Beda.”

“Sama.”

“Beda.”

“Sama.”

“Apa yang beda, apa yang sama?”

Keduanya terlonjak melihat Reva tiba-tiba berdiri di samping Fix. Tidak begitu peduli dengan keterkejutan teman-temannya, Reva menarik kursi tepat di samping Fix. Duduk di sana.

“Itu! Si Titra protes gue simpan foto lo! Padahal dia sendiri simpan foto Un1ty!” Fix memulai pengaduan. Melirik sengit Titra yang sepertinya siap melempar granat.

“Un1ty?” ulang Reva.

“Iya! Un1ty ada delapan orang, sedang gue cuma simpan foto lo seorang yang bahkan gak sampai sepersembilan dari koleksi foto si Titra.”

“Fenly update gak?”

Fix menjatuhkan rahang. Sakit hati karena Reva mengabaikannya dan malah membahas Un1ty dengan Titra. Sampai-sampai Reva berpindah duduk di sebelah Titra. Kurang menyedihkan apa lagi dia?

Au ah ngambek!”

Reva dan Titra meliriknya sebentar, kemudian kembali mengabaikan Fix dan sibuk dengan ponsel Titra.

Sialan. Sialan. Kalau semalam dia ingin jadi Pawpaw, sekarang dia ingin jadi Fenly yang Reva sebutkan tadi.

“Klar ....” Fix menurunkan ego, mulai merengek agar gadis itu kembali memperhatikannya.

“Fix lo mirip banget sama Fiki.” Reva memperlihatkan layar ponsel Titra. Membiarkan Fix menilai sendiri.

“Masih gantengan gue.”

Reva mengerjap, menarik kembali ponsel Titra. “Dia juga jago main piano, ‘kan, Ta?”

Ada yang salah? Dia diabaikan lagi.

“Klar ... lo jahat banget, sih, sama gue.”

“Mereka buka audisi lho, Fix. Ikutan, gih. Biar lucu gitu dalam satu agensi ada anak kembar beda rahim.” Titra memainkan kedua alisnya. “Kalau lo bisa ketemu Un1ty dan bawain gue album penuh tanda tangan member, gue sumpahin lo nikah sama Reva dah.”

“Titra ....”

Titra meringis, tertawa pada Reva, mengeles dengan dalih hanya bercanda.

“BTW, lo ngapain ke RS, Re?”

Titra baru sadar dia ingin menanyakan itu sejak tadi.

“Ada hal yang perlu gue urus.”

“Apa? Ada hubungannya sama Niana?”

Reva mengangguk.

Fix yang memperhatikan mengernyit, apa hanya dia yang tidak mengerti di sini?

“Klar, Niana sepupu lo?” tanya Fix penasaran. Dia perlu validasi dari terkaannya.

Reva mengangguk dengan santai. “Iya. Anak dari adik laki-laki Papa.”

Fix mengangguk mengerti. “Gue bisa mikir gitu karena waktu itu gue denger ini.”

Fix menggulir layar ponsel, mencari satu video yang dia ambil hari itu. Lantas memberikannya pada Reva. Membiarkan dua gadis itu melihatnya.

Titra mengernyit. “Apaan? Cuma kucing, jangan ngadi-ngadi deh lu.”

Kepala Fix rasanya panas sekali, jengkel dengan Titra. “Cepetin dikit makanya.”

Sabar, Fix, sabar. Titra memang kurang ajar.

“Halo, Nek! Beasiswa aku dicabut sama Pak Rido! Nenek marahin, dong! Nanti aku dimarahi Ayah. Aku gak terima, pokoknya Nenek harus balas mereka. Terutama Reva. Niana belum puas! Titik!”

Titra berdecak, memaki Niana setelah itu juga. Baru kali ini dia benar-benar bertemu tokoh dalam sinetron alay. Ada di depan mata, bermasalah dengan temannya sendiri.

“Berasa apaan, sih, dia? Gitu banget, njir.”

“Iya, ‘kan? Gue juga gak habis pikir.”

Reva mengabaikan perbincangan Fix dan Titra. Dia fokus dengan kalimat ‘nanti aku dimarahi Ayah’. Reva sendiri tidak dekat dan tidak mengenal baik siapa Akshal. Dia hanya melihat orang itu seperti orang biasa yang berjuang hidup demi Niana.

Etan sudah berulang kali ingin membantu, tapi Akshal menolak. Dia meyakinkan Etan bahwa dia masih mampu menghidupi Niana.

Ketakutan Niana waktu itu ... apa disebabkan oleh kalimat yang dia katakan? Akshal melakukan kekerasan pada Niana? Akshal memarahi Niana yang bahkan belum menyelesaikan masa lalunya.

Reva tidak tahu, tidak pernah tahu.

“Eh, lo juga tahu, ‘kan, video yang Niana disuruh ciuman sama anak tongkrongan Gama?”

Reva menoleh. Mengernyit.

“Ciuman?”

Titra menjatuhkan rahang. “Lo gak tahu serius?!” Titra tercengang. Gadis itu memiliki ponsel, tapi seperti tidak memiliki ponsel.

“Lo gak sadar Niana ditatap remeh karena video itu?  Please, Re ... jangan bilang lo gak perhatiin?”

Reva terdiam. Dia benar-benar tidak memperhatikan, dia terlalu fokus dengan apa yang ada di depannya.

“Gimana ceritanya?” tanya Reva prihatin.

Titra menghela napas. Bukannya senang gadis ini malah terlihat begitu khawatir. Ya, tidak salah, sih. Itu, ‘kan, termasuk pelecehan.

“Lo tahu, Fix?”

Fix mengangguk. Dia tahu karena Niana sudah menceritakannya padanya. Dia juga cukup terkejut ketika melihat video itu disebarkan di grup angkatan.

“Jadi ... malam waktu lo ketemu Fix di Supermarket itu. Niana ikut nongkrong di Kafe sama temen-temen Gama. Mereka main TOD, salah satu tantangannya ya itu.” Titra berusaha menceritakannya dengan sehalus mungkin. Ekspresi wajah Reva membuatnya khawatir.

“Ya-ya, gak parah, sih. Cuma—cuma dicium sama digrepe sedikit.”

Reva tak habis pikir. “Walaupun gue besar di Amerika, gue gak bisa anggap itu gak parah, Ta. Mungkin bakal beda pandangan kalau yang lakuin itu Gama. Lo bisa ambil kesimpulan kalau itu karena mau sama mau. Tapi, ini beda. Karena tantangan pula. Niana bukan mainan.”

“Lo sekhawatir itu sama Niana?”

Reva menoleh menatap Fix, tentu saja. “Gue sudah bilang sama lo, Fix, Niana itu baik. Dia sepupu gue, segila apa pun Niana di mata kalian, gue tetap peduli sama dia.”

Fix dan Titra terdiam. Saling pandang sesaat dan sedikit merasa bersalah. Titra yang menyebarkan video itu dan Fix tidak menganggap serius aduan Niana hari itu.

“Antar gue balik ke rumah tadi, Fix.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Gama terdiam, menundukkan kepalanya dalam. Tak berani menatap Reva maupun Gemin yang duduk di depannya.

“Gam, gimana perasaan lo kalau gue bilang gue sangat bersyukur nolak lo.”

Gama menelan ludah. Dia tak berani menjawab, sekadar mendongak membalas tatapan Reva pun dia tidak berani.

“Sebenci apa pun lo sama Niana, dia bukan barang murahan, Gam. Kalau lo mau memberi pembelaan karena Niana yang memancing dan menyerahkan diri, lo tetap salah. Kalian berdua salah. Dan kalian berdua gak seharusnya saling melemparkan masalah.

“Mungkin Niana gak begitu peduli karena beranggapan dengan itu lo bakal kembali sama dia. Tapi, lo tetap ninggalin Niana, ‘kan?

“Apa lo bakal ngelakuin hal yang sama ke gue kalau suatu hari gue bikin lo sakit hati?”

Gama menggeleng lemah. Tidak mungkin.

“Lalu ... kenapa lo lakuin?”

Gemin menghela napas. Dia juga baru mengetahui masalah ini ketika Reva ceritakan. Dia yang ceroboh karena tidak memperhatikan anggotanya yang mulai berbelok.

“Gue minta maaf, Re. Jadi sekarang lo mau apa?”

Reva menatap Gemin. “Buat Niana membalas apa yang orang itu lakuin ke dia.”

“Oke, kalau itu yang lo mau.”

Reva menghela napas. Dia masih belum selesai bicara dengan Gama. “Kak, gue mau bicara berdua sama Gama.”

“Oh, oke.” Gemin beranjak. Meninggalkan dua orang itu di sana.

Reva tak bisa berhenti merasakan gemuruh tak nyaman di dadanya. Dia menyesali apa yang terjadi untuk Niana. Dia menyesal karena tidak tahu jika Niana memiliki luka seperti ini. Dia menyesali semua hal yang sangat terlambat dia ketahui seperti ini.

“Gam, lihat gue.”

Gama menelan ludah, mengangkat pandangan.

“Gue tahu lo orang baik. Gue percaya. Jadi gue mohon, tepati ucapan lo seperti saat diawal kita kenalan.”

Sorry, Re.”

“Minta maaf ke Niana.”

“Iya. Gue juga nyesal, makanya hari itu gue balik dan antar dia pulang. Padahal sebelumnya gue tinggal dia sendirian di sana. Sorry.”

“Lo tahu apa yang bisa bikin Niana sedikit baikan?”

“Enggak.”

“Lo balik sama dia.”

“Gak mungkin.”

“Baik sama dia.”

“Lo mau gue buat Niana berharap?”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Emm

Terima kasih sudah membaca💙

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang