34 || Menyesal Lagi

116 29 2
                                    

Selamat membaca!

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


“Kita mau ke mana lagi?” tanya Bion sambil menatap penuh tanya ke gadis yang duduk di sebelahnya. Apa yang sedang mereka lakukan sekarang adalah keinginan Etan. Tentu saja, sebagai saksi mata bagaimana Reva kehilangan setengah dari dirinya tadi malam. Bion rela meluangkan waktunya, absen dari sekolah.

Reva membalas tatapan Bion dengan gedikan tak tahu. Dia juga tidak tahu dan tidak punya tujuan. Sejak tadi dia hanya menuruti ke mana pun Bion membawanya.

“Main piano?”

“Di mana?”

“Lo maunya di mana? Bareng murid lo atau special performance dari gue?”

Reva diam sebentar, selanjutnya dia malah tertawa. Ya, lucu saja melihat Bion jadi sedikit lebih cerewet dibanding biasanya. Kalimat yang terlontar dari bibirnya pun mulai lebih lengkap dan jelas.

“Pulang aja, Bi. Lo juga harus ke masjid.”

Bion mengambil ponselnya, melihat sudah berapa lama mereka menghabiskan waktu bersama. Dia lupa hari ini hari Jumat.

“Ya udah.”

Bion kembali melajukan mobilnya. Mengantar Reva pulang lantas pergi untuk memenuhi kewajibannya.

Menatap mobil Bion pergi terasa seperti keberuntungannya ikut pergi.

“Eh, Non!” Bi Mimi mendelik. “Non mau makan apa? Tadi Bibi tanya Tuan, Tuan malah suruh nanya ke Non.”

Reva baru sadar Bi Mimi tak kalah ekspresif dari Fix. “Apa aja, Bi. Reva sama Papa gak pernah cerewet soal makanan. Apa pun yang Bi Mimi masak, pasti kita makan.”

“Aduh, Non sweet banget. Jadi terharu.” Bi Mimi tertawa. “Kalau gitu Bibi masakin sop ayam, terong balado, sama ... sama apa ya, Non?”

“Nasi?”

“Iya, itu sih pasti, Non. Lauknya ini .... Ah, udang—eh maksud Bibi ayam krispi. Gimana, Non?”

Reva terdiam. Berpikir sejenak seolah mendapat kembali ingatan. Dia mengiyakan Bi Mimi lantas bergegas pamit. Segera melebarkan langkah menuju kamarnya. Reva membuka lemari, mengambil ponsel Jio yang dia sembunyikan di sana.

Dia menghela napas panjang, memasukkan tanggal lahir mereka dengan beberapa kombinasi.

Terbuka.

Reva mulai menelusuri satu persatu isi ponsel Jio. Menemukan beberapa hal yang Reva sendiri tidak menyangka berhasil Jio temukan. Dia menghela napas berat, menyimpan kembali ponsel itu dengan pikiran yang melayang ke mana-mana.

“Reva ngerti sekarang.”

Kini dia beralih pada ponselnya sendiri. Dia membuka ruang obrolannya dengan Fix. Mengirimi cowok itu pesan.

Klareta: Fix, tolong lebih hati-hati lagi. Jaga diri kamu.

Fix baru saja selesai mandi ketika ponselnya berdering. Matanya menatap layar ponselnya dengan teliti. Pesan dari Reva yang benar-benar tidak dia pahami maksudnya.

Apa gadis itu memiliki firasat buruk terhadapnya? Memangnya ikatan batin mereka sekuat itu? Atau ini pertanda perasaan Fix terbalas? Ah, mikir apaan!

Fix: Kamu yang jaga diri. Always be happy.

Klareta: Selalu aktif, ya. Jangan sampai gak bisa dihubungi.

Fix: Memangnya kenapa? Jangan bikin takut woy. Aelah.

Klareta: Tolong jaga diri.

Fix berhenti mengusap rambutnya dengan handuk. Dia menatap layar ponselnya lebih teliti kali ini. Berulang kali dia memperhatikan nomor dan nama yang tertera di sana. Benar, kok, ini Reva.

Hape mu gak lagi dibajak kan?

Klareta: Untuk aku, Fix.

Fix menghapus kembali pesan yang ingin dia kirimkan tadi. Dia menghela napas. Sampai segininya, memangnya apa yang akan terjadi?

Fix: Oke. Makasih ya, Klar. Kamu juga jaga diri.

Fix meletakkan kembali ponselnya di atas meja, dia diam untuk berpikir sejenak. Perasaannya ikut tak karuan. Atau yang sebenarnya terjadi malah gadis itu yang sedang berada dalam bahaya?

“Fix! Buruan! Udah jam berapa ini!”

“Iya, Kak! Bawel banget.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


Pak Yoga menghela napas berat. Dia melirik majikannya yang keluar dari mobil sampai tubuhnya lenyap terhalang dinding. Dia ke sini lagi dengan berat hati, mengantar majikannya yang mungkin tak lagi punya hati. Dia hanya bisa berdoa agar Reva baik-baik saja, tidak sampai mampu membuatnya menyakiti diri sendiri.

“Reva! Mana sih anak pembunuhan ini?!”

Teriakannya menggema, berulang kali dia menyebut nama Reva. Mencari dengan tidak sabaran sampai akhirnya Reva turun dari lantai atas. Sudah dia duga, Nenek akan mencari waktu di mana Bion tak bisa menjaga Reva.

“Ada apa, Nek—“

Plak!

Reva tertegun, terpaku di tempatnya berdiri setelah satu tamparan keras dihadiahkan untuk pipinya.

“Lihat saya!”

Reva menelan ludah, ketakutannya berkumpul di dalam kepala. Sedikit tidak yakin kembali mengangkat kepalanya, membalas tatapan nyalang dari Nenek.

Plak!

Plak!

Plak!

Lagi, hal itu terjadi berulang kali sampai kedua tangan Nenek terasa panas dan nyeri. Bukan serangan verbal lagi, serangan fisik yang Reva sendiri bingung bagaimana cara menutupi.

Tentu saja meninggalkan bekas, ditambah cincin di tangan Nenek yang menggores pipinya berulang kali pun terasa begitu menyayat tanpa ragu. Reva sudah tidak tahu ada berapa banyak luka di sana, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.

“Kamu ....” Nenek menggeram. “Saya sudah berulang kali bilang jangan cari perhatian! Kamu itu dosa! Bencana untuk semua orang! Jangan buat orang lain sayang sama kamu! Apalagi jatuh cinta! Papa kamu, menantu saya, cucu saya, Rian, sekarang Jio!

“SUDAH BERAPA ORANG YANG KAMU BUNUH?!”

Reva bukan pembunuh.

“Saya gak habis pikir kenapa Etan sangat sayang sama kamu. Atau sebentar lagi nyawa Etan yang mau kamu ambil?!”

Reva bukan malaikat maut.

“KENAPA BUKAN KAMU AJA YANG MATI?!”

Deg.

Reva hanya manusia yang masih memiliki hati dan batasan yang tak lagi bisa dilampaui.

Bi Mimi tersentak, menelan ludah. Jemarinya saling meremas, di satu sisi dia sangat tidak tega Reva dimarahi habis-habisan seperti itu. Namun, di sisi lain yang akan dia hadapi adalah Nenek bukan sembarang nenek. Melainkan nenek lampir.

“Nyo—nyonya, maaf ... Saya baru selesai masak, nyo—“

“DIAM KAMU! SANA KE BELAKANG!”

Reva menghela napas, menatap Bi Mimi sambil tersenyum agar beliau mau mendengarkan perintah Nenek. Tak apa. Reva juga tidak tahu kenapa dia masih hidup sampai detik ini. Reva juga tidak mengerti kenapa Tuhan membuatnya bertahan sampai sejauh ini.

Jadi, dia hanya perlu bertahan, menjalaninya tanpa keluhan. Sebisa mungkin Reva tak akan menjadi orang jahat.

“Senang kamu dibela banyak orang? Senang kamu berlindung di belakang Bion?!”

Matanya melotot, bola matanya nyaris keluar. Seluruh urat terlihat menegang di balik kulitnya. Nenek sangat marah.

“Lihat, Mama kamu gak pernah pulang. Dia sudah muak sama kamu! Pembunuh! Dia malu punya anak seorang pembunuh! Tinggal kita lihat bagaimana Etan ninggalin kamu. Akan saya buat Etan buang kamu!”

Nenek mulai melebarkan langkahnya, satu persatu barang yang dia lihat dia lempar. Tak sedikit beberapa barang itu dia lempar tepat ke arah Reva, melukai tangannya yang bahkan belum pernah baik-baik saja. Melukai bagian tubuh mana saja yang bisa dia jangkau dengan muda.

Reva membisu, hanya bisa meringis dalam hati. Entahlah, dia bingung. Jika dia meringis kesakitan apa akan membuat Nenek kasihan padanya? Jika dia diam begini apa akan ada rasa puas di sana? Atau malah sebaliknya?

“Etan harus benci sama kamu! Agar Etan gak mati di tangan kamu!”

Nenek menatap Reva sekali lagi lantas duduk di sofa menenangkan diri, menunggu Etan pulang. Dia akan membuat sebuah drama di sini. Membuat Reva menjadi tokoh paling bersalah di seluruh cerita yang pernah ada di lapisan bumi mana pun.

Air mata Reva sudah terkuras habis tadi malam. Ditemani Bion menyiksa diri dengan menangis sejadi-jadinya. Wajahnya terasa seperti terbakar, dadanya begitu sesak, dan kerongkongannya terasa kering kerontang.

Kata orang, menangis bisa membuat seseorang merasa lega. Tapi bagi Reva, itu adalah siksaan paling jelas yang pernah dia rasakan.

Tidak ada rasa lega, hanya ada rasa sesak yang semakin tidak jelas.

Reva mengusap peluh keringat yang jatuh ke lehernya. Perasaannya semakin tidak enak, perlahan dia mulai mengangkat tangannya, melihat air dan darah yang berbaur di sana. Ada berapa banyak luka di wajahnya?

Dia tersenyum miris. Kasihan karena darah yang terpaksa keluar dari pembuluh darahnya karena disakiti.

“Mau ke mana kamu! Diam berdiri di situ!”

Reva menutup langkah yang tak sengaja tercipta, terhuyung seperti itu juga bukan keinginannya. Dari pagi sampai beberapa saat yang lalu dia sudah kelelahan sehabis jalan-jalan bersama Bion. Lalu ditambah lagi dengan ini, bisa-bisa dia akan jatuh pingsan lagi seperti waktu itu.

Padahal, sebelum ini Reva tak pernah mengenal yang namanya pingsan. Dia tergolong anak dengan kondisi fisik yang kuat. Namun, akhir-akhir ini berbeda. Jauh menurun dari yang seharusnya.

Satu jam berlalu. Etan baru saja tiba, dia membawakan oleh-oleh yang dia dapatkan dari rekan kerjanya. Dia tersenyum kecil menatap bingkisan yang akhirnya bisa dia bawa pulang untuk Reva.

Assalamu’alaikum. Reva, Sayang?

“Re—“ Etan membulatkan mata, tertegun melihat isi rumahnya yang berantakan. Dia menatap Reva dan ibunya bergantian, sama sekali tak mengerti kenapa hal seperti ini bisa terjadi.

Wa’alaikumussalam.”

Wa’alaikumussalam, Pa.”

Bruk.

“Reva!” Kedua mata Etan membulat sempurna, dia meletakkan semua barang bawaannya, buru-buru menggotong tubuh Reva ke sofa. Dia memperhatikan setiap tubuh putrinya, tidak sanggup membayangkan apa yang sudah terjadi sebenarnya.

“Sayang, sadar. Reva, Sayang.”

“Etan!”

Etan menoleh dengan mata berkaca-kaca, dia menatap ibunya tak habis pikir. Tidak ada alur masuk akal yang dari tadi terlintas di kepala Etan. Dia tahu Reva tidak mungkin melakukan hal seperti ini. Dan dia juga yakin ibunya tidak melakukan ini, dia tidak bisa menuduh ibunya.

“Kamu tahu? Ibu datang, rumah sudah berantakan kayak gini! Dia mulai gila kayaknya. Cepat kamu bawa ke rumah sakit jiwa sana! Dia bahaya untuk keselamatan kamu! Dia pasti sudah gila setelah membunuh Jio.”

Perasaan Etan diremas begitu kuat. “Bu ... Reva gak mungkin kayak gini.”

“Jadi kamu gak percaya ibu kamu sendiri?!”

“Bukan gitu, Bu ....” Etan memelas. Dia memohon lewat tatapan, ini bukan saatnya untuk berdebat.

“Ya begitu kalau kamu gak percaya bukan Reva.”

“Ya—ya bisa aja ada maling atau rampok yang—”

“BUKAN, ETAN! Ibu lihat dia sendiri yang hambur semua barang-barang yang ada di sini. Saya gak mau tahu, bawa dia ke rumah sakit jiwa. Jangan pernah bicara sama saya lagi sebelum saya tahu dia ada di sana!”

Air mata Etan luruh detik itu juga. Kedua tangannya terkepal erat, dia diam menjauh dari Reva. Bahkan, untuk menyentuh putrinya sendiri pun dia sampai setakut ini.

Ayah macam apa Etan? Ayah macam apa?

“Maafin Papa, Reva ... Maafin, Papa.”

Bion baru saja tiba, melihat kepergian mobil yang tak asing di matanya. Tanpa perlu repot-repot berpikir tentang itu, dia berjalan masuk. Kakinya membeku sesaat, lantas langkahnya langsung melebar menghampiri Reva. Dia semakin terkejut ketika melihat keadaan gadis itu. Dengan cepat matanya beralih pada Etan yang tak kalah berantakan. Ada apa?

“Reva kenapa, Om?” tanya Bion panik.

“Bawa Reva ke kamarnya, Bi. Om minta tolong. BI MIMI! TOLONG AMBILKAN KOTAK P3K DI LEMARI!”

“Iya, Tuan. Segera!”

Etan mendongak, menatap Bion. “Kamu tunggu apa lagi? Cepat bawa Reva ke atas, obati dia, sebelum saya minta kamu bertanggung jawab atas kematian kakak saya!”

Deg.

Bion menelan kembali salivanya. Dengan perasaan campur aduk Bion mulai mengangkat tubuh Reva. Dia membawa gadis itu ke lantai dua, ke kamarnya. Meletakkan tubuh Reva dengan perlahan di atas tempat tidur. Sudah berapa lama Reva pingsan? Bukan hal yang serius, ‘kan?

“Ini, Den, obatnya.” Bi Mimi tak kalah cemas. Dengan kedua mata kepalanya dia menyaksikan penganiayaan yang dilakukan nyonya besar.

“Ma-makasih, Bi.”

Bion menghela napas panjang. Bayangan wajah Etan berteriak marah padanya tadi masih jelas terbayang di kepala.

Bion diminta bertanggungjawab?

Ini yang dia takutkan.

“Astaga, Bion.” Rutukan untuk dirinya sendiri.

Sekali lagi Bion menghela napas. Lantas dia membuka kotak P3K itu, menyiapkan peralatan untuk membersihkan darah di wajah Reva. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dua jam setelah dia meninggalkan Reva di rumah. Ada rasa penyesalan, harusnya Bion tak meninggalkan Reva sendirian di neraka dunia ini.

“Maafin gue, Kak. Gue gak becus jagain Reva.”

Tangan Bion bergetar. Seluruh rasa bersalah yang sempat dia kesampingkan menerobos masuk ke dalam.

“Maaf, Re ....”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Terima kasih sudah membaca 💙

See ya!

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang