62 || Sudah Jelas

21 6 0
                                    

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Reva menatap barang bukti yang dia kumpulkan. Anggap saja dia pengecut karena tidak memiliki keberanian untuk melaporkan neneknya sendiri ke pihak berwajib. Karena Reva sendiri paham bagaimana perasaan Etan yang pastinya akan hancur mengetahui kebenaran itu. Lagi pula, Reva lebih tertarik melaporkan orang lain dari pada Nenek yang bermain fisik. Sayangnya dia belum menemukan banyak bukti.

Reva beranjak, bergegas pergi untuk mengunjungi ayahnya. Dia membawa payung karena melihat langit yang mulai gelap. Setiap kali Reva ingin bertemu dengan Etam, entah kenapa bertepatan ketika hujan turun. Tapi tak apa, Reva malah merasa ditemai oleh Etam.

Kaki Reva berhenti tepat di samping makam ayahnya, saat itu juga hujan mulai turun dengan perlahan. Reva berjongkok, melihat makam ayahnya yang selalu terawat. Melihat bagaimana perasaan Klara tak berubah pada Etam meski dia memiliki Etan sedikit menjawab kebencian Reva.

Karena dari awal, Klara memang mencintai Etam, bukan Etan. Sedangkan Etan hanya memiliki cinta sepihak tak berbalas yang akhirnya hilang. Dua hal yang membuat dua orang itu bertahan, janjinya pada Etam, dan rasa sayang yang mereka dapat dari Reva.

“Ayah apa kabar?

“Reva mau cerita. Ayah dengerin, ‘kan?”

Embusan angin datang, seolah-olah menjawab pertanyaan Reva. Gadis itu terkekeh geli, rasanya seperti Reva sudah lama hidup dengan sosok Etam. Awalnya Reva tak mengerti, tapi waktu terus berjalan dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya perlahan.

“Besok, Reva balik ke Amerika. Kata Papa Mama, udah persiapan pindahan ke sana. Mereka lagi ngurus perusahaan agar bisa ditinggal kembali ke Amerika. Mungkin Reva bakal jarang banget ketemu Ayah di sini. Tapi, Ayah selalu ada sama Reva, ‘kan?

“Pertengahan tahun depan baru Reva benar-benar pindah ke Amerika sekalian kuliah di sana.”

Reva menghela napas. Dia menatap bekas luka di tangan kirinya, tersenyum kecil. Mungkin, satu-satunya kenangan yang tak dia inginkan, tapi akan tetap terbawa adalah yang satu ini.

“Reva percaya Nenek bukan orang jahat. Dia cuman terobsesi dengan rasa cinta sebagai ibu ke Ayah, dan sebagai nenek ke Niana. Jadi, memaafkan Nenek sudah jadi keputusan yang tepat, ‘kan, Yah? Ayah pasti setuju sebagai anak yang berbakti.”

Reva menghela napas lagi. Setiap dia ingin mengganti topik, dia butuh napas yang lebih banyak. Sebagian besar yang dia ceritakan pada Etam adalah hal-hal yang dia pertimbangan seribu kali untuk ceritakan pada orang lain.

“Dari kecelakaan yang Ayah alami waktu Reva lahir, Reva jadi belajar kalau Reva gak perlu berlebihan. Apalagi dalam berbahagia. Kata Mama, malam itu hujan deras. Ayah yang lagi kerja keras demi perusahaan, yang saat itu harus rapat penting sampai malam, terpaksa gak bisa nemani Mama di rumah sakit.

“Tapi, setelah dapat kabar Reva sudah lahir. Tanpa ba-bi-bu setelah rapat Ayah bergegas, gak peduli hujan deras dan jalanan yang gelap dan licin menuju rumah sakit. Rasa bahagia Ayah yang berlebihan yang mungkin aja menutupi semua rasa khawatir tentang keselamatan diri Ayah sendiri.

“Namun, memang takdir Ayah berpulang dengan perasaan bahagia. Walau kronologinya ... gak baik. Alasan yang wajar aja buat Nenek benci sama Reva. Kelahiran Reva yang membuat Ayah teledor. Maaf, Yah. Harusnya Reva bisa nunggu besoknya buat lahir.”

Reva terkekeh geli. Dia mengusap batu nisan Etam yang basah, lantas dibalas dengan embusan angin yang lembut membelai kulit wajahnya.

“Reva mau tanya. Apa arti cinta bagi Ayah? Jangan bilang jawabannya ya Mama.” Reva mendengkus geli.

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang