Selamat membaca 💙
⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Niana membuka pintu rumah setelah mendengar ketukan beberapa saat yang lalu. Namun, Niana tak menemukan apa pun selain sebuah kotak berwarna biru tepat di depan kakinya. Emosinya sedikit tersulut, padahal teror seperti ini sudah berhenti semenjak dia memperingati Reva. Tapi, lagi-lagi kotak sialan ini datang.
Kotak itu Niana tendang, terus dia tendang hingga isi di dalamnya keluar. Matanya menyipit, mengambil salah satu fotonya. Foto yang sama seperti video yang Titra sebarkan waktu itu. Lantas dia kembali mengambil foto yang lain, foto-foto sejenis. Seakan dia ingin menegaskan bahwa Niana adalah gadis murahan yang mudah terbuai sentuhan.
“Sial. Dia dapat dari mana foto gue bareng anak Gloxial?”
“Dari gue.”
Niana tersentak, melotot kaget melihat kemunculan Gama dari balik pohon yang tiba-tiba. Tampang tanpa rasa bersalah itu tidak lagi terlihat baik di mata Niana. Tidak lagi dibutakan oleh perasaannya yang sudah sangat lelah.
“For your information. Kotak-kotak itu gue yang kirim, bukan Reva. Padahal gue sudah kasih banyak clue, tapi gak tahu kenapa kayaknya fungsi otak lo beneran menurun.”
“Bangsat,” gumam Niana kesal.
Kedua matanya menyorot Gama nyalang, napasnya mulai memberat. Foto-foto di genggaman dia lempar kasar kembali pada Gama. Niana pikir Gama akan benar-benar selesai berurusan dengannya. Namun, apa yang dia lakukan benar-benar menjijikkan.
“PERGI LO!”
Sudah biasa dengan teriakan Niana. Gama tak memberi respons seperti yang Niana inginkan. “Ikut gue.”
“OGAH!”
“Lo mau balas dendam, ‘kan? Gemin udah nyiapin mereka, terserah mau lo apain.”
Niana menggertak. “Gue. Gak. Mau. Ketemu. Mereka! Gue juga gak percaya sama lo!”
Gama membuang napas, memperhatikan foto-foto yang Niana buang tadi lantas mengambil salah satunya. Foto yang berisi dua anggota Gloxial yang mencari gara-gara dengan Niana. Memperlihatkannya pada Niana, sayangnya ekspresi yang dia perlihatkan menunjukkan bahwa dia semakin tak percaya.
“Masih gak percaya? Liat, nih.”
“Sini, Na. Gue punya samsak buat lo.”
Niana kembali menggertak kesal. Untuk saat ini, dia akan percaya pada Gama dan Gemin. Dia masuk ke dalam untuk mengambil barang-barangnya lantas duduk di boncengan Gama menuju markas Gloxial.
Amarah Niana sampai di puncaknya ketika dia melihat wajah dua orang itu ada di depan mata. Sudah lama sekali Niana meredam rasa takutnya, menerima semua cacian yang sempat dikirimkan untuknya karena perbuatan bodoh Titra. Dengan gampangnya gadis itu menyebarkan video tak jelas begitu. Dengan bodohnya juga orang-orang percaya dengan delapan detik itu.
“Liat badan lo yang kecil begini. Kayaknya lebih afdol kalau gue yang wakili.”
Gemin tersenyum. Pasalnya, selain tatapan benci, tidak ada lagi yang Niana perlihatkan padanya.
“Boleh. Gue gak mau ngotorin tangan gue.”
“Oke. Bawa mereka ke belakang.”
Mata Niana memelotot tak terima. Sontak, dia melayangkan protes karena Gemin yang tak langsung mengeksekusi dua orang tadi di depan matanya. Malah dengan kurang ajarnya duduk di atas meja dengan senyuman yang dia pikir Niana akan luluh? Mustahil.
“Gue cuman gak mau ngotori mata lo, biar gak cuma mata tangan lo yang bersih. Gue baik, ‘kan?”
“Bangsat! Gue gak percaya kalau lo lebih bela gue dibanding anggota lo sendiri!”
Gemin tertawa kecil. Dia salah besar sempat membandingkan Reva dengan Niana. Dia menyesal memikirkannya. Tak heran Niana mendambakan kehidupan selayaknya Reva yang bahagia. Dia menginginkan sosok yang sangat mencintainya hingga rela berkorban. Ketika menerima konsekuensi, berlagak sebagai korban.
“Mereka bilang lo juga suka. Kenapa merasa dilecehkan?”
“LO GILA, YA?!”
Gemin tertawa lagi. “Kalau gak suka gak bakal lo balas, Na. Sebenarnya lo juga penasaran rasanya gimana, ‘kan?”
“Tutup mulut lo, brengsek!”
“Cuma demi cowok yang berdiri di belakang lo, lo nurut? Dengan lo nurut aja lo udah gak bener.”
“DIAM!”
Baiklah. Gemin diam, hening sampai dia bisa mendengar napas berat Niana sehabis berteriak. PKepalan tangannya, gertakan giginya, juga tatapannya yang menakutkan. Sudah cukup Gemin membuatnya semakin marah. Dia hanya berharap Niana sadar kalau dia juga salah.
“Cuman mau bilang. Reva yang minta gue ngelakuin ini. Tapi lo malah manfaatin look lo untuk nyakitin orang yang sayang sama lo—“
“GUE GAK PERCAYA!” Niana menyela dengan suara paling nyaring sejauh ini. Dia muak semua hal berkaitan dengan Reva. Dia muak semua hal baik selalu berhubungan dengan Reva.
“Wow wow wow. Santai aja.” Gemin ingin tertawa, tapi tidak tega. “Percaya gak percaya itu urusan lo. Lagian, hal begini gak lo percaya karena gak ada bukti. Tapi giliran hal yang menyangkut Reva, lo percaya mentah-mentah. Pantas beasiswa dicabut.”
“DIAM! GAM! ANTAR GUE PULANG!”
“Tugas gue cuman jemput lo, bukan antar balik.”
Gemin mengulum senyum. Bahkan di saat seperti ini dia masih meminta tolong pada seseorang yang membantu pelaku. Lucu sekali.
“Antar aja. Takut diapa-apain lagi di jalan,” ujar Gemin yang disambut decakan kesal oleh Gama. Padahal dia sudah senang ketika tahu ini adalah yang terakhir untuk berhadapan dengan Niana.
Cowok itu mengambil helmnya kesal, berjalan keluar markas disusul oleh Niana.
“Gam ....”
“Apa?!” jawab Gama ketus.
“Lo gak kasihan sama gue?”
“Ngapain?” Gama tidak peduli.
“Gue masih suka lo, Gam.”
Mulut, hati, dan pikiran Niana tidak pernah sinkron. Dia terlalu terbiasa melakukan hal-hal seperti ini untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Sebelah alis Gama terangkat. “Trus? Gue harus bilang wow gitu?”
Niana mendengkus kesal. Bergeming di tempatnya berdiri, tak peduli panggilan Gama untuk segera naik ke boncengannya. Tentu membuat cowok itu berdecak malas, Niana pikir trik seperti ini bisa berhasil?
“Lo gak suka gue. Lo cuman obsesi perlindungan, Na. Lo haus perhatian.”
Tangan Niana mengepal kuat menahan emosinya. Dia menatap Gama, tersenyum dengan air matanya yang luruh.
Memang begitu, ‘kan? Sudah tahu begitu bukannya Gama harus memperlakukannya dengan baik?
“Ajak gue jalan. Janji, yang terakhir.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks to Fix | Revisi
Teen Fiction| Fiki UN1TY | Dalam proses revisi 5 Desember "Aku adalah ceritamu yang telah lama usai." Reva meletakkan penanya di dalam saku, menutup buku diary miliknya dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa jelaskan bagaimana. Lembar terakhir yang dia gunak...