Selamat membaca 💙
⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Reva menutup buku paket Fisika yang tadinya dia baca. Kelas sedang sepi-sepinya karena jam istirahat. Perlahan netranya bergerak seiring dia mengangkat tangan kirinya, menatap kasa yang melapisi lukanya. Beberapa hari ini Reva berusaha menggunakan jari-jarinya. Rasanya sudah terlalu kaku, sudah dua minggu semenjak kejadian, tangannya tidak digunakan dengan benar.
Pagi tadi, ada sedikit drama. Papanya yang melarang Reva ke sekolah karena tahu semua ceritanya dari Bion. Bagaimana Reva diperlakukan oleh Nenek, bagaimana Reva bisa sampai di Puskesmas, dan bagaimana lepuhan kecil di tangannya pecah. Berawal karena dokter Reva memberi laporan kesehatan pada Etan. Berakhir dengan Etan yang menginterogasi Bion habis-habisan.
Ya, walaupun begitu Etan tetap tak bisa berbuat apa-apa selain menyesali yang sudah-sudah.
“Nih, gue bawain menu baru di kantin. Namanya ayam di-bully.”
“Ayam di-bully?” ulang Reva. Menatap Fix tak mengerti, meminta penjelasan kenapa bisa demikian.
“Iya, ayamnya di-bully.” Fix mengangguk dengan yakin. Memperlihatkan ayam gepreknya pada Reva, meminta gadis itu memperhatikan. “Udah dipukul pakai ulekan, dilumuri sambel pula. Kasihan, ‘kan, ayamnya di-bully?”
Reva mendengkus geli, ada-ada saja memang. Fix ikut terkekeh. Lucu, ya? Padahal awalnya dia sama sekali tak berniat melawak, dia hanya prihatin pada ayamnya.Hanya saja kali ini berbeda, sudah sering melihat Reva tersenyum, tapi rasanya seperti baru pertama kali melihat senyumannya. Karena lekukan itu terlihat begitu ringan, seperti tulus tanpa memikirkan perlu atau tidaknya.
“Silakan makan, Kak Reva,” ujarnya sedikit mengejek kejadian kemarin. Lucu saja mendengar panggilan itu, tapi lebih lucu lagi panggilan dari Fix yang tiba-tiba dia deklarasikan saat itu. Klar, gak ada tandingannya. Hanya Fix yang boleh memanggilnya demikian.
“Makasih ya, Fix.”
Fix mengangguk. Tidak masalah, ini memang hari yang tepat untuk mentraktir Reva makan. “Sama-sama. Walaupun lo belum ngucapin.”
Reva mengangkat pandangan, kemudian tersenyum. Wajah ngambek Fix seketika lenyap, berganti dengan gerakan salah tingkah. Sekarang Reva mengerti kenapa Niana tidak ingin kehilangan Fix walau harus menyakiti cowok itu.
“Gue boleh minta tolong diantar pulang?”
Ohok-ohok.
Buru-buru Fix mengambil minum, menegak setengah isinya kembali melancarkan kerja tenggorokan. Ayolah, tubuh Fix tidak bisa ajak kerja sama. Kan, Fix jadi terlihat memalukan.
“Coba, ulang sekali lagi,” pinta Fix. Dia mulai memasang telinga, tidak ingin salah tingkah.
Reva tidak lagi terkejut, dia bisa menerima sikap menggemaskan dari Fix yang natural. “Tolong anterin gue pulang. Bisa?”
Fix menarik napas cukup panjang, menahannya di dada sambil berpikir. Setelah kepalanya selesai memproses, dia membuang napas pelan. Menetralkan degup jantung sehabis tersedak.
“Ya, ya udah. Bisa, kok.” Fix mengangguk. Menggaruk kepalanya yang gatal, sepertinya karena kepedasan.
Reva tersenyum. “Makasih.”
“Sama-sama.”
“Dan ... karena hari ini hari lo. Lo mau hadiah apa dari gue?” Reva kembali menatap Fix dengan intens, memperhatikan setiap gerakan yang Fix buat.
“Hadiah kemarin udah mahal banget. Udahlah gak usah hadiah-hadiahan.”
Bagaimana Fix bisa berpikir kalau diperhatikan segitunya?
“Hadiah kemarin bukan hadiah ulang tahun.”
“Ya udah kalau maksa. Bentar gue mikir.”
Fix memutar tubuh, benar-benar berusaha menghindari pandangan Reva. Dua menit pun berlalu. Fix hampir putus asa, memangnya apa yang sedang dia butuhkan? Tidak ada.
Hanya gadis di depannya.
Atau ...
Fix mulai melirik Reva.
“Agak random, sih. Lo-gue jadi aku-kamu.”
“Oke. Anymore?”
“Oke?!” Fix terperanjat kaget. Matanya membulat, bertanya sekali lagi.
Gadis di depannya mengangguk dengan polosnya. Reva yang menawarkan, jadi dia rasa dia tak berhak menolak. “Hadiah gak harus benda, ‘kan?”
“Coba ngomong.”
“Ngomong apa?”
“Aku-kamu.”
Reva mengernyit, cukup bingung. Lagi pula apa yang harus dia katakan?
“Kamu lucu.”
“Ulang.”
Reva tertawa kecil kali ini. Ekspresi Fix tidak pernah ketinggalan.
“Kamu lucu, Fix. Apalagi pas salting begini.”
Fix membereskan makanannya sambil menahan napas. Dia nyaris kehilangan harga diri kalau terus berada di sini. Dia yakin dia tidak pernah segila ini sewaktu dengan Niana.
“Gue baru ingat ada ulangan dan gue belum belajar. Gue balik ke kelas.”
“Hati-hati, Fix.”
Reva mengulum senyum. Permintaannya sederhana, tapi efeknya begitu spesial. Memangnya apa yang salah dengan panggilan aku-kamu? Apakah begitu spesial? Jika Fix bertemu dengannya sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di Indonesia, apa dia akan menganggap mereka spesial?
Reva hanya beradaptasi dengan lingkungan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks to Fix | Revisi
Genç Kurgu| Fiki UN1TY | Dalam proses revisi 5 Desember "Aku adalah ceritamu yang telah lama usai." Reva meletakkan penanya di dalam saku, menutup buku diary miliknya dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa jelaskan bagaimana. Lembar terakhir yang dia gunak...