29 || Kuyup

139 33 0
                                    

Selamat membaca💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Kala itu terik matahari berhasil dihalau nyaris sempurna oleh rindangnya pepohonan. Udara terasa begitu sejuk berembus pelan terlihat dari daun-daun yang bergoyang. Tak ada satu pun orang yang terlihat bersisian dengan mereka.

Suara rem terdengar, mobil berhenti di sana. Reva benar-benar tidak tahu dia dibawa ke mana. Di depan tinggal jalan setapak yang entah menuju ke mana. Angin pun berembus semakin kencang, dingin yang berbeda langsung menyerang ketika pintu mobil dibuka.

“Keluar kamu!”

Tubuh Reva didorong sebelum kakinya sempat menapak tanah dengan benar. Tubuhnya tersungkur dengan naas, sukses membuat Reva meringis nyeri di tangan. Kepalanya terasa pening, beberapa bagian tubuhnya tergores kerikil.

“Berdiri!”

Reva menghela napas dalam, berharap tenaganya ikut terkumpul kembali seutuhnya. Lantas menyanggupi permintaan Nenek untuk berdiri dan berdiam di tempat yang diminta. Dua manik matanya melirik wanita tua itu mengambil sebuah botol air mineral besar. Botol yang Reva lihat ada di dalam mobil tadi.

“Suka mandi hujan, ‘kan?” tanya Nenek sambil mengguyur tubuh Reva, menghabiskan semua air yang dia punya.

Reva terdiam, merasakan setiap aliran air yang menyentuh kulitnya. Bahkan, jika Reva menangis sekarang, air matanya bisa bersembunyi dengan sempurna.

Tubuhnya tak memberi respons apa-apa. Membeku di sana tanpa berusaha melawan. Jika ini bisa membuat amarah Nenek mereda, silakan. Jika ini bisa membuat Nenek sedikit memaafkannya, silakan. Reva tidak akan marah, asal bisa membuat perasaan neneknya sedikit saja lega.

“Seperti biasa. Tutup mulut kamu, jangan buat yang aneh-aneh!”

Reva mengangguk patuh. Melirik botol kosong yang tadinya dilempar ke wajahnya sudah tergeletak di tanah. Lantas manik matanya melirik kepergian mobil itu, meninggalkannya sendirian di sini. Benar-benar sendiri.

Tentu saja. Mustahil Nenek mengajaknya pulang. Mustahil Nenek membiarkan Reva membasahi sedikit pun mobilnya.

Reva menghela napas panjang, mengusap wajahnya. Matanya melirik perban lukanya, ada bercak kemerahan di sana. Tersenyum miris selain karena ini menimpanya, juga karena tubuhnya terbiasa untuk tidak melawan. Perlahan perban tadi dia buka agar tidak membuat lukanya semakin lembap.

Reva mengeluarkan ponselnya, berharap bisa mencari tahu ada di mana dia sekarang. Namun, kali ini alam memilih sedikit berpihak pada Nenek. Reva lupa jika ponselnya mati. Reva lupa jika dia hampir tak memperhatikan ponselnya lagi dengan benar sejak Jio sakit.

Hampir tiga tahun tinggal di sini, tidak membuat Reva hafal seluruhnya. Hidupnya yang terjadwal, membawanya terus mengunjungi tempat yang sama secara berulang.

Lengkap sudah. Yang bisa Reva lakukan hanya menggunakan kedua kakinya, sambil berharap ada seseorang yang bisa membantunya. Dia tidak berharap orang itu Fix, Bion, maupun Etan sekali pun. Dia tidak berharap siapa pun yang dia sayangi melihatnya dalam keadaan seburuk ini.

Reva menengadah, cahaya semakin redup. Sepertinya langit mulai abu, seakan mengisyaratkan padanya beberapa saat ke depan pun takdirnya akan abu. Melihat itu, hujan pun akan lebih baik membersihkan jejak nenek. Dengan begitu Reva tak perlu kesulitan mencari alibi, dia hanya perlu menjawab setengah kebenarannya. Tubuhnya basah karena hujan.

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang