30 || Melekat Hingga Terbiasa

135 33 2
                                    

Happy reading 💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

“Iya, iya. Mari, Mas. Wa’alaikumussalam.”

Reva menatap Pak Agung sambil tersenyum kecil. Walaupun tadinya Reva tertidur, samar-samar otaknya memproses apa yang dia dengar. Mengingat bagaimana Pak Agung dengan canggung meminta izin untuk mengangkat panggilan masuk yang sudah berulang kali dibiarkan. Untungnya perawat di sini berbaik hati meminjamkannya cas.

Pria paruh baya itu berjalan ke arahnya, kelihatan terkejut. Takut dihakimi dan takut dituduh yang tidak-tidak.

“Aduh, maaf, Dek. Bapak angkat teleponnya, takut ganggu,” panik Pak Agung sambil meletakkan kembali ponsel Reva di tempatnya. Dia benar-benar takut Reva salah paham padanya.

Reva tersenyum hangat. Ketakutan itu terlihat menyesakkan. “Gak papa, Pak. Terima kasih banyak.”

“Ya udah. Kalau gitu Bapak balik tinggal kerja. Sehat-sehat ya, Dek.”

“Tunggu, Pak.”

“Iya?”

“Bapak tinggal di mana?”

Ah, di situ. Gak jauh dari sini.”

“Tinggal sama siapa, Pak?”

“Sama istri. Anak-anak saya sudah pergi jauh, merantau semua.”

Apakah anak-anaknya tidak tahu bapaknya berjuang seperti ini?

“Bapak mau kerja sama saya?”

Pak Agung menatap Reva teliti. Dia pikir yang dia tolong hanyalah gadis muda biasa. “Emang Adek ada kerjaan apa untuk saya? Adek mau terima saya? Saya sudah tua ... gak bisa kerja berat, apalagi di kantor.”

Reva menghela napas pelan, tersenyum manis. “Saya punya rumah yang saya alih fungsikan untuk beberapa kegiatan di kota. Jika Bapak berkenan, saya butuh tenaga Bapak. Untuk gaji akan saya sesuaikan dengan pekerjaan apa yang sanggup Bapak kerjakan.”

Reva tak perlu berpikir dua kali untuk membalas kebaikan orang lain.

Senyum Pak Agung melebar, walau sempat sedikit ragu, dia menatap Reva penuh harap. “Yang bener, Dek? Bapak sudah lama cari kerja sana sini tapi gak ada yang mau terima .... Katanya saya takdirnya udah jadi pemulung aja.”

Reva turut prihatin. Pak Agung pasti sudah melewati banyak hal buruk selama ini.

“Bapak punya nomor yang bisa saya hubungi? Secepatnya saya akan menjemput Bapak untuk lihat-lihat kantor, dan diskusi soal pekerjaan.”

Reva meminta tolong agar Pak Agung mengambilkan ponselnya. Gadis itu tersenyum manis, meminta Pak Agung mengetikkan nomor ponselnya di sana. Secepat mungkin, Reva akan meluangkan waktu untuk memberikan Pak Agung pekerjaan. Menunggu saat yang tepat tanpa terjangkau oleh neneknya.

Wajah semringah Pak Agung sudah sangat cukup membuat Reva tenang saat ini. Meski Reva tak bisa memberi sangu apa-apa, Pak Agung sudah sangat gembira mendengar ada pekerjaan tetap untuknya.

Reva hanya bisa berharap semoga Pak Agung akan selalu jadi orang baik seperti yang Reva lihat sekarang.

Reva menghela napas cukup panjang, dia menatap layar ponselnya. Puluhan panggilan masuk dari papanya, Bion, juga dari Fix. Sekilas dia mencari nama Jio di antara mereka, lantas menertawakan diri sendiri dalam hati.

Dia pasti merepotkan sekali bagi orang-orang itu.

Tinggal menunggu hasil pemeriksaan medisnya sebelum Reva bisa pulang dari sini. Ah, dia lupa dengan biayanya.

“Re?”

Reva menoleh, senyumannya pun melebar menyambut siapa yang datang untuknya. Orang itu mendekat, langsung bergerak mendekapnya. Dia sangat khawatir, lucunya.

“Makasih sudah datang, Bi.”

“Gue khawatir, Re. Gue pikir yang angkat telepon tadi orang jahat.”

Reva terkekeh geli, menggeleng. “Gak, Bi. Pak Agung orang baik.”

Bion melepas pelukannya, menarik kursi untuk duduk di samping rajang Reva. Dia menatap gadis itu lekat-lekat, masih berusaha sekuat mungkin menetralkan serangan di dadanya. Sungguh, dia pikir Reva sedang diculik atau sebagainya yang bahkan lebih mengerikan.

I’m ok, Bi ....” Reva mengusap pipi Bion. Entah bagaimana caranya agar Bion bisa kembali tenang. Panik seperti ini sama sekali bukan Bion yang dia kenal.

Bion menghela napas, mengangguk kecil walau berat. Dia meraih tangan Reva yang mengusap pipinya, digenggamnya. Lantas Bion meletakkan wajahnya di atas genggaman itu.

Dia takut. Benar-benar takut. Akan lebih baik dia kehilangan Reva tanpa kabar dibanding dia tahu seperti ini.

Reva menghela napas. Sepertinya dia harus cerita agar Bion bisa merasa sedikit lebih lega. Mungkin dia hanya perlu validasi agar perasaannya bisa dipuaskan.

“Tadinya gue lagi nemenin Kak Jio. Lalu, Nenek datang ngajak gue keluar. Baterai handphone gue habis, barusan dicas.”

Sudah. Reva hanya bisa menceritakannya dengan singkat.

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang