Selamat membaca 💙
⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
“IH! KAK REVA SUDAH PITA BILANGIN JANGAN KERJA APA-APA! SANA DUDUK ISTIRAHAT!”
Reva hanya bisa terdiam saja, dia mendongak dengan wajah sangat polos menatap wajah kesal Pita. Gadis itu jadi emosi sendiri setelah melihatnya kembali nimbrung menyortir bunga impor yang akan digunakan.
Jika Reva tidak gatal melihat hal yang sangat berantakan juga tidak berurutan, dia tidak akan nimbrung di sana. Kerja dengan satu tangan itu merepotkan.
Pita tidak semudah itu sampai tergoyahkan oleh tatapan super duper menggemaskan Reva. Dia memegangi lengan Reva, menuntunnya pindah. “Duduk sini owner tercinta! Tenang aja. Semuanya bakal beres tepat waktu. Oke?”
Pita menepuk-nepuk sofa di sudut ruangan. Reva tak berkutik, dia masih diam dengan tatapan polos yang berbicara. Dia ingin duduk saja di bawah, membantu sebisa mungkin.
Keras kepala Reva kadang membuat Pita terpaksa mengeluarkan tatapan horor andalan. Menatap Reva dengan mata yang terbuka begitu lebar. Tidak menerima penolakan lagi.
“Kak Bion!” Pita berbalik dan berteriak.
Andalan. Kalau sudah begitu Reva hanya bisa menghela napas, lantas melirik kedatangan Bion yang tadinya sedang menelepon di luar. Memang ya Pita kurang asem.
“Kenapa?” tanya Bion kebingungan.
“Itu lho lihat Kak Reva!” Pita mengadu. Tidak perlu dia jelaskan kembali karena Reva terus mengulang masalah yang sama.
“Masih hidup.”
Pita melotot tak percaya, sedang Reva asyik tertawa karena jawaban Bion di luar dugaan. Reva geleng-geleng lantas beranjak untuk memenuhi permintaan Pita. Dia akan mengalah.
“Dari tadi, kek.” Gadis itu menggerutu, lantas kembali pada pekerjaannya.
Bion menyimpan ponselnya, lantas duduk di sebelah Reva. Dia menatap Reva dari samping, sekali lagi melihat tatapan kosong dari mata gadis itu. Hanya ada senyuman tipis di wajahnya, tapi tidak ada tatapan yang berarti dari sana.
Setelah berhasil membuat Bion tenang, Gadis itu kembali seperti biasa. Memiliki suasana hati yang tak menentu. Ada kalanya Bion bisa membaca ekspresinya, ada kalanya gadis itu benar-benar bersembunyi dengan sempurna.
Bion mengulurkan tangannya, menyentuh dahi Reva. “Mikir, Re. Jangan kosong.”
Reva terkekeh geli, mengangguk menurut.
“Sheca jadwal ceck up ya?”
“Iya.”
“Harusnya lo temani, ‘kan?”
Bion menggeleng, sekali pun dia tak pernah mencampuri urusan Sheca yang berbau rumah sakit. Mereka hanya bertemu di sekolah atau saat mereka sedang menuntaskan janji untuk nonton atau makan bersama. Tidak ada lagi.
Lagi pula mereka sudah putus.
“Kenapa gak lo temani?”
“Lo tahu jawaban gue.”
Bion menyentuh hidung Reva gemas, dia tersenyum manis. Tatapannya dia alihkan, menyandarkan tubuhnya di sofa. Satu tangannya meraih tangan Reva, meletakkan tangan gadis itu di kepalanya. Dia memejamkan mata, siap bersikap selayaknya kucing manja.
Reva tersenyum kecil. Tangannya mulai bergerak mengelus kepala Bion. Dia tahu cowok itu kewalahan membagi waktu antara belajar, les, latihan, dan menjaganya. Ternyata dia begitu menyulitkan banyak orang.
“Makasih ya, Bi.”
“Hem.”
Ponsel Reva berdering, dia meminta izin pada Bion untuk mengangkatnya sebentar. Cowok itu mengerti, membuka pejaman matanya lantas memperhatikan Reva dengan seksama.
“Halo? Iya, di toko. Gak papa. Iya .... I’m fine. Iya, makasih. See you.”
“Lagi.” Bion berusaha tidak peduli siapa yang baru menghubungi.
Reva terkekeh geli, dia kembali ke aktivitasnya mengusap kepala Bion. Namun, matanya kembali memperhatikan teman-temannya yang sedang merangkai bunga, sesekali Reva memberi arahan dan menjawab pertanyaan mereka. Karena sebenarnya mereka jauh lebih mengerti dibanding Reva.
“Kak Reva ... ada cowok yang kemarin.”
“Bi, gue ke depan dulu.”
Bion menahan tangan Reva. Dia ikut beranjak, mengikuti langkah kaki gadis itu. Jika Bion boleh menebak, itu pasti Fix. Entahlah, nama orang itu muncul begitu saja di dalam kepala.
Fix melebarkan senyumnya sebelum dia melihat tangan Bion menggenggam tangan Reva. Fix menghela napas, mengerjap untuk mencari kesabaran yang tersembunyi di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Cowok itu menyodorkan sebuah tote bag, memberikannya pada Reva.
“Ini apa?” tanya Reva setelah Bion menerima apa yang Fix berikan. Jelas, karena satu-satunya tangan yang bisa Reva gunakan sudah dikuasai oleh Bion.
“Dari Mama.”
“Oh, makasih, ya.”
“Iya. Sama-sama.”
Reva menyadari sesuatu dari lirikan mata Fix. Sekarang Reva tak perlu menebak dan merasa terganggu dengan pikirannya sendiri. Fix sudah mengungkapkan perasaannya hari itu, meski Reva sadar dia merespons dengan cara yang salah. Namun, tatapan Fix membuatnya mengerti apa yang sedang dia pikirkan.
Reva meminta Bion untuk meletakkan bingkisan itu di dalam, di samping tasnya di meja. Lantas perhatiannya kembali pada tamunya, mengajak Fix untuk duduk di teras, mendengarkan apa yang ingin laki-laki itu sampaikan.
“Luka-lukamu sudah diobati?”
“Sudah.”
“Lagi banyak pesanan, ya? Sekolah juga mesen di sini, ‘kan? Buat HUT.”
Reva mengangguk, tersenyum senang. “Alhamdulillah. Mereka senang kalau banyak pesanan.”
“Alhamdulillah.” Fix kembali diam.
Meladeni pikirannya sejenak. Perbincangannya dengan Titra kemarin membuatnya terus kepikiran tentang Klareta Desiree. Bagaimana tidak? Gadis itu adalah salah satu impian yang ingin Fix sampai. Bukan orangnya, melainkan kesuksesannya. Fix berharap dia bisa sukses di usia muda meski tak semuda Klareta Desiree.
Fix membuka ingatan lain di kepala, ingin membahas hal lain dengan Reva.
“Titra kecelakaan, gara-gara suruhan Niana.”
“Kamu punya bukti?”
Pertanyaan itu meluncur dengan spontan. Reva tidak mau ada orang lain yang menjadi korban sepertinya.
Fix menoleh, dia memang tak memiliki bukti. Kepalanya bergerak, menggeleng sebagai jawaban.
“Kalau begitu jangan memfitnah.”
“Ya, bukan fitnah juga, sih. Titra sendiri yang bilang, dan Niana juga yang ngasih tahu aku kalau Titra kecelakaan dengan embel-embel berita baik. Sudah kayak psikopat tahu, gak?”
“Mungkin maksud Niana berita baik kalau Titra sudah dapat penanganan.”
“Haha. Kamu terlalu baik.” Fix menghela napas panjang. Tertawa mengejek pemikiran naif Reva. Ada benarnya, tapi keterlaluan positifnya. Tampang psikopat Niana sudah tidak bisa disembunyikan. Fix pun jadi tak bisa meragukan kesimpulan yang dia buat.
“Ada lagi yang mau dibicarain?” tanya Reva.
“Em ... Kamu sama—gak deh, lain kali aja aku tanya. Oh iya, aku ingat kamu suka bunga lily, ‘kan?”
Oke ... baiklah.
“Iya.”
“Kenapa? Kenapa cewek tuh bisa suka sama sesuatu yang kayak mirip aja gitu sama yang lain. Apa yang buat hal itu spesial?”
Reva tersenyum kecil. Fix tidak melihat perbedaannya karena dia belum pernah memperhatikannya.
“Aku tertarik hidup kayak bunga lily.”
“Hah? Gimana maksudnya?” Kedua alis Fix terangkat tinggi. Semakin penasaran menunggu jawabannya.
Reva terkekeh kecil. Dia mengedarkan pandangannya, mencari bunga lily yang seingatnya tadi pagi ada di sekitar sini. Ah, itu dia.
“Lihat itu,” pinta Reva sambil menunjuk salah satu pot berisi bunga lily yang tumbuh subur. “Kalau kamu lihat, ada berapa pohon?”
“Sa ... tu?” jawab Fix tak yakin. Karena jujur dia hanya melihat gumpalan bunga di sana. Karena matanya tidak ditemani rekan hidupnya.
Lagian tidak ada objek yang lebih dekat?
Reva menggeleng. “Ada lebih dari tiga pohon. Makanya bisa serimbun dan sesehat itu.’
“Jadi?”
“Bunga lily gak akan tumbuh subur kalau dia ditanam sendirian. Dia butuh teman untuk penyemangat hidup.” Reva melebarkan senyumnya, mengalihkan tatapannya dari bunga lily itu.
“Aku tertarik hidup kayak gitu. Tapi gak bisa. Sendirian ataupun ditemani orang lain.”
Fix mengalihkan pandangannya pada Reva. Menatap gadis itu yang tak kehilangan senyumannya, meski kata-katanya terdengar putus asa. Tak lama Reva membalas tatapannya dengan senyuman yang seketika kembali terasa berbeda lagi.
“Filosofi bunga itu banyak. Tapi aku tertarik dengan cerita bunga lily. Yang wanginya harum dan manis cuma lily putih dan tiger lily. Kalau dalam budaya Cina, lily digunakan sebagai simbol dukacita, kesembuhan. Mereka yakin bunga lily banyak menolong dalam pemulihan depresi. Itu yang aku baca di artikel. Artikelnya benar atau salah gue juga gak tahu.”
“Kamu banget.”
“Hem?” Reva terkekeh geli. “Begitu, ya?”
“Re, ke sini sebentar.”
Suara Bion menginterupsi. Dia dan Fix sempat beradu pandang yang tidak enak beberapa saat. Bion tidak suka Fix mengambil waktunya dengan Reva, begitu pula sebaliknya. Apa Fix merasa tidak cukup bertemu Reva hampir setiap hari di sekolah? Sedang Bion harus berusaha keras menyisihkan waktu khusus untuk Reva.
“Bentar ya, Fix.”
Fix mengangguk. Arah pandangnya mengikuti kepergian Reva. Sebenarnya Bion mengganggu, tapi ya sudahlah. Ada baiknya gadis itu pergi karena Fix sudah kehabisan topik, lebih baik dia berpikir dulu sekarang.
“Kenapa, Bi?”
Tatapan Bion melunak, helaan napas terdengar. Lelaki itu menyandarkan dahinya di bahu Reva. “Sheca pergi.”
Deg.
Reva terdiam sejenak, merasakan satu tamparan keras di jantungnya. Kenapa rasanya dia terus mendengarkan kabar duka?
“Pergi ke mana?”
“Nyusul Kak Jio.”
Reva membawa tangannya memeluk Bion. Tubuh Bion tidak bereaksi apa-apa terkait kabar duka itu. Dia hanya diam, gerak tubuhnya hanya sedikit mengisyaratkan kesedihan.
Reva tidak pernah tahu jika Sheca sudah dalam keadaan ingin menyerah. Terkadang dia menyesali sikap tidak pedulinya. Sheca tidak pernah bercerita dan Reva pun tidak pernah bertanya. Reva selalu menempatkan diri sebagai pendengar, bukan mencari hal untuk didengarkan.
Terakhir kali Sheca hanya bercerita tentang hubungannya dengan Bion. Dia menyukai Bion, bersungguh-sungguh. Dia merasa senang dan cukup pernah dijadikan orang yang istimewa meski hanya sebentar.
Juga pada akhirnya toko bunga ini sepenuhnya dipercayakan pada Reva. Sebenarnya yang jauh lebih banyak mengerti tentang bunga adalah Sheca, Reva hanya membantu mengabulkan impian gadis itu.
Tidak hanya itu, orang yang ada di pelukannya ini pun turut Sheca titipkan padanya. Ada satu hal yang paling berat di antara semua permintaan terakhir Sheca.
“Balas perasaan Bion ya, Re.”
“Kabar pertama dia lagi drop. Kabar kedua dia kritis, trus ... pergi.”
“Lo bisa buatin gue toko bunga sekeren ini. Jadi ... balas perasaan Bion pun lo bisa, ‘kan? Selama lo masih sendiri. Selama lo belum jatuh cinta ke orang lain. Gue cuma minta lo jatuh cinta ke Bion.”
Reva tidak bisa berjanji. Hanya itu yang membuat Sheca sedih.
“Kenapa gak kasih tahu gue keadaan Sheca?”
“Sheca gak mau. Katanya sudah ... sudah pamit.”
“Maaf, Bi.”
“Huh?”
“Sudah ngambil waktu kalian.”
Bion menghela napas, menjauhkan tubuhnya untuk beralih menatap Reva. Bion tidak mengerti kenapa Reva terus merasa bersalah. Jika mereka memang harus menentukan siapa yang bersalah. Jelas Bion lah yang bersalah.
Bion pernah berharap jika dekat dengan Sheca akan membuatnya bisa menemui Reva diam-diam. Bion hanya ingin mencari tahu tentang Reva lewat Sheca. Bion yang brengsek karena mempermainkan perhatian Sheca untuk memuaskan perasaannya sendiri.
“Gak, Re. Lo gak pernah ngambil apa pun dari gue.” Bion bersungguh-sungguh. Ingin mati rasanya. “Kecuali rasa sayang gue.”
Fix menghela napas, dia memutar balik langkahnya. Rasanya tidak enak, dia tidak sanggup untuk melihatnya lebih lanjut. Fix menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Sejak awal dia tidak punya peruntungan dalam urusan asmara. Kenapa perasannya selalu jatuh pada orang yang sudah dimiliki?
Mengenaskan.⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Fix berdecak malas. Di sinilah dia sekarang, di kamar rawat Titra yang meliriknya kesal. Datang-datang bukannya bawa buah tangan, malah bawa muka kusut tak karuan. Mengganggu pemandangan.
“Kita udah kayak sahabatan gitu. Lo ada masalah datang ke gue.” Titra meledek orang di sudut ruangan. Dia benar-benar menyedihkan.
“Ya, ya, terserah.” Fix bersikap tak acuh. Menghela napas malas. Berdecak lagi. Begitu terus hingga beberapa kali. Sebelum akhirnya menegakkan tubuhnya.
“Ya, coba aja. Lo lagi ngobrol sama orang yang lo suka. Trus ceweknya datang, dengan santainya manggil orang yang lu suka. Trus pas lo lihat mereka malah lagi kasih support romantis satu sama lain.”
Titra melirik kesal plus jijik. “Gue bakal muntah, sih.”
“Sakit hati, woi! Sakitnya tuh di sini.” Fix menepuk-nepuk dadanya dramatis. Menghayati peran begitu maksimal.
“Lanjutin coba.”
“Sakitnya tuh di sini. Di dalam hatiku. Sakitnya tuh di sini kau—ah! Apaan, sih? Capek gue.”
Fix ingin tertawa, tapi tidak bisa. Kadang dia menyadari kebodohannya sendiri dan ingin tertawa sepuas mungkin, tapi sayangnya itu terlalu menyedihkan sampai ingin menangis.
Sekarang Titra benar-benar jadi hilang rasa dengan Fix. Selain sikapnya yang tidak sesuai ekspektasi, galaunya juga lebay. Terlalu dramatis dan itu sudah cukup bagi Titra untuk membuang jauh-jauh perasaannya.
“Kan, udah gue bilang nyerah aja. Lagian saingan lo terlalu sempurna. Dia sudah punya karir yang jelas, sedangkan lo masih audisi ke sana kemari. Memang lo gak jodoh ke mana-mana. Payah.”
Fix menghentikan dramanya, tersenyum penuh arti, menatap Titra dan kakinya bergantian. “Mau kaki lo gak sembuh?”
“Sembuh lah! Enak aja. Awas lu macem-macem.” Titra mendelik, bergedik ngeri sendiri.
“Bercanda. Sensi amat.” Fix kembali menghempaskan tubuhnya di sofa. Lagi-lagi menghela napas. “Laporin aja itu Niana.”
Titra jadi ikutan lelah mendengar Fix tak berhenti menghela napas. “Maunya gitu. Tapi gue gak punya bukti dan duit gue mana cukup buat nyewa pengacara. Dia beasiswa aja nyogok.”
“Udah dicabut kali.”
“Hah? Serius?” Atensi Titra kembali ke Fix. Sangat antusias mendengar berita bagus itu.
“Iya.”
Titra tertawa puas. “Bagus deh biar gak songong anaknya. Rasain. Beasiswa kok nyogok? Definisi otak beneran di dengkul tapi dia pintar. Gak, gak, sekarang dia goblok.”
“Puas banget menghinanya.”
“Puas!” Titra tertawa lebih puas. Tentu saja dia puas. Dia selalu merasa puas ketika mengeluarkan unek-uneknya tentang Niana. Dongkolnya bukan main.
“Tapi yang aneh, Ta. Mereka pacaran tapi masih gue-lo. Sedangkan gue, udah aku-kamu aja padahal gak ada status apa-apa.”
“Nah, di situ letak goblok lo. Lagian lo minta hadiah ulang tahun nanggung. Coba minta kalian jadian gitu kan beres.” Titra memutar bola mata malas.
Fix terlalu gengsi meminta hadiah. Tahu cowok itu memusingkan hadiah jutaan yang Reva berikan saja, membuat Titra menganggapnya manusia paling aneh.
“Emang dia mau?”
Titra diam, nampak berpikir sambil menatap Fix penuh teliti. “YA, ENGGAKLAH! NGIMPI!”
Fix mengambil bantal di sebelahnya, melemparnya kasar tepat sasaran. Bukannya kesal, Titra semakin terbahak. Senang sekali menertawakan nasib buruk orang.
“Aduh! Kampret! Sesak napas gue.”
“Karpet.”
“Kampret, bego.”
“KAR-PET.”
“Serah lu, dah.”
Titra mengulum bibir, berusaha berhenti. Lama-lama dia kasian juga dengan dua buah bakpao itu. Bisa-bisa basi kalau terkena air mata.
“Gue sakit hati ini.”
“Mending lo pulang kalau mau ngegalau.”
“Yang ada gue digangguin Pawpaw.”
Dari cara Fix menamai kucingnya saja membuat Titra langsung menyimpulkan seberapa bangganya Fix dengan pipi bakpaonya.
“Lagian coba lo pikir lagi, emang Reva orang yang bakal nolak permintaan lo ketika dia sendiri yang nawarin? Lo tahu seajaib apa Reva."⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Terima kasih sudah membaca 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks to Fix | Revisi
Dla nastolatków| Fiki UN1TY | Dalam proses revisi 5 Desember "Aku adalah ceritamu yang telah lama usai." Reva meletakkan penanya di dalam saku, menutup buku diary miliknya dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa jelaskan bagaimana. Lembar terakhir yang dia gunak...