9 || Terima Kasih

159 45 0
                                    

Selamat membaca🙆🏻‍♀️

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


Suara hantaman mengetuk telinga Reva, tapi tak sedikit pun mengetuk simpatinya. Perlawanan yang coba Gama berikan untuk membelanya, sama sekali bukan keinginan Reva. Sebelum lebam bertambah di wajahnya, satpam sekolah akhirnya berhasil melerai. Tak ada yang Reva lakukan selama itu berlangsung, dia benar-benar hanya berdiam dan ikut memperhatikan.

Seperti drama yang sedang seseorang buat demi menerima gelar pahlawan. Reva tidak tahu apa yang Gama pikirkan demi menyempurnakan kepura-puraan mereka. Seandainya Gama tahu apa yang sudah sering terjadi padanya, apa dia akan tetap menarik simpati dengan cara semacam ini?

“Lo gak papa?” tanya Gama dengan air muka khawatir. Napasnya terengah, mengabaikan lelah dan sakit yang tiba-tiba merebak ke penjuru tubuhnya.

Sebuah gelengan Reva berikan sebagai jawaban. “Gak papa. Makasih ya, Gam. Udah jagain gue.”

“Gu—ah. Oke, sama-sama.”

“Kalau lo diemin mereka juga gak bakal ngapa-ngapain, kok, Gam. Gak perlu sampai wajah lo yang jadi korban.”

“Tapi tatapan mereka ke lo—!” Gama meluapkan emosinya dengan memukul udara kosong. Cowok itu menghela napas. Bahkan gadis itu tak berkutik ketika dia terluka. Bahkan Reva tak memperlihatkan kepeduliannya pada Gama.

“Sampai rumah langsung dikompres, ya? Jangan lupa.”

Hanya segitu?

“Kenapa gak lo aja yang kompres?”

“Maaf .... Papa gak mungkin ngizinin.”

“Kenapa lo senurut itu, sih? Gak ngerasa dikekang? Gak capek?” Kumpulan emosi kembali ada di kepala Gama. Dirinya yang tak suka hidup di bawah aturan mendadak tak suka ketika gadis di depannya ini diperlakukan demikian.

Hidup tentang kebebasan. Hidup adalah pilihan yang hanya pantas diputuskan oleh diri sendiri. Hidup adalah sesuatu yang tidak boleh diatur oleh orang lain.

“Kewajiban seorang anak memang patuh sama orang tuanya, ‘kan? Lagi pula gue gak merasa dikekang. Selama ini baik-baik aja dengan aturan itu.” Reva menjawab dengan enteng.

“Re,” panggil Gama mulai kehabisan kesabaran. “Berempati,” Gama menjeda. “Sampai perasaan lo juga apa itu hasil dari aturan mereka? Bahkan sesuatu yang seharusnya gak mereka atur. Bahkan gue gak lihat sedikit pun sorot khawatir dari mata lo. Sedikit pun.”

Karena bukan Reva yang minta.

“Berlebihan. Gue harap lo gak lagi coba untuk membenarkan kepura-puraan yang lo mau.”

Manik mata Reva menemukan sebuah mobil dengan plat nomor yang dia hafal di luar kepala. Syukurlah. “Papa udah jemput. Makasih udah ditemani. Gue duluan.”

Reva tersenyum, lantas masuk ke dalam sebuah mobil yang baru saja berhenti tepat di hadapannya. Reva hanya tak ingin memperburuk hubungannya dengan Niana. Membantu kepura-puraan Gama bukan berarti cowok itu bisa mengubah seenaknya. Hanya cukup sampai Gama bisa menjelaskan pada Niana. Hanya cukup sampai Niana sadar jika Gama lebih merasa aman bersama orang lain.

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang