21 || Bunuh Diri

176 35 3
                                    

Selamat membaca💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Gerombolan yang memenuhi kantin terlihat tak biasa. Fix mengernyit, meski sudah dibantu dengan kaca mata, dia tetap tak bisa menembus tubuh manusia dengan keempat matanya. Cowok itu melebarkan langkah, bertanya pada salah satu orang yang ada di sana.

“GAK LO GAK TEMEN LO KENAPA PADA REBUT ORANG YANG SAYANG SAMA GUE, SIH!”

“Fix udah gak suka sama lo, Na.” Titra menjawab dengan begitu tenang, sedikit meledek di sudut bibirnya yang terangkat.

“Apa lo bilang?” Matanya membulat marah. “Fix gak mungkin gak suka sama gue!” Ada penekanan di setiap katanya.

“Buktinya dia lebih milih gue dari pada lo, ‘kan?” Titra semakin gencar melayangkan ultimatumnya. Titra hanya berbicara mengenai fakta, sedang Niana terus melantur dengan segala khayalannya.

Niana mencengkeram rambut Titra lebih kuat, lantas mendorong tubuh gadis itu sampai tersungkur di lantai. Napasnya memburu, menatap nyalang Titra dengan segala omongan palsunya. Segala yang benar adalah apa yang Niana katakan.

“Sampai kapan pun, Fix gak bakal berpaling dari gue! Lo jangan kepedean!”

Fix menerobos gerombolan buru-buru. Dengan sigap dia membantu Titra untuk bangkit tanpa menoleh ke arah Niana terlebih dahulu. Menanyakan keadaan gadis itu sama sekali tidak peduli Niana. Tidak peduli teriakannya yang mengusik telinga, nyaris merusaknya. Sampai dalam satu tarikan seragamnya ditarik berpaling dari Titra.

“Dia ngasih ke lo apa sih, Fix? Badan dia?”

“NA! Jaga omongan lo!” bentak Fix kehilangan kesabaran. Dia sudah coba menahan diri untuk tidak marah, jangan sampai Fix membongkar semuanya dalam sekali tarikan napas.

Niana tertegun, menatap Fix dengan air mata yang akhirnya luruh. Dia menghela napas, masih berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah.

“Lo lebih milih bela dia dari pada gue?” tanya Niana lirih sambil menunjuk wajah Titra muak.

Gadis yang ditunjuk malah menyempatkan diri memberi senyuman. Berlindung di balik tubuh Fix sembari menyulut emosinya. Tidak Reva, tidak Titra, kelakuannya hanya merampas milik orang lain.

“Lo udah kelewatan, Na.” Suara Fix kembali melembut setelah berhasil membuang sebagian amarahnya lewat embusan napas. Sudah dia duga hal seperti ini akan terjadi. Meski begitu, Fix masih belum cukup bersiap.

“Dia yang rebut lo dari gue, kok, jadi gue yang keterlaluan?” Alis Niana menukik tajam. Menggeleng tidak mengerti dengan apa yang Fix bela.

“Rebut dari lo? Sejak kapan gue milik lo?”

Deg.

“Lo sayang sama gue, Fix! Lo cinta! Lo milik gue.”

“Oh ya?” Fix mendengkus geli, sedikit merasa jijik. “Kalau gue milik lo. Kenapa lo gak pernah jadi milik gue?”

Niana terdiam. Tak habis pikir jika semua orang benar-benar mulai berbalik dan menjauh darinya. Niana tidak pernah salah. Dan tak akan pernah salah.

Sorot tajam matanya kembali pada Titra, menggertak ketika melihat wajah kegirangan itu.

“Puas lo?!”

Titra melirik kepergian Niana dalam diam. Membiarkan bakteri itu pergi menghilang dari pandangannya. Merepotkan saja.

“Lo rapihin penampilan lo, gih,” titah Fix yang diangguki oleh Titra. Gadis itu melebarkan langkahnya, berjalan menuju toilet untuk melaksanakan apa yang Fix katakan.

Di tempatnya berdiri Fix berulang kali membuang napas emosi. Mengenyahkan perlahan demi perlahan bibit-bibit logika buruk di dalam kepala. Ini barulah satu dari berbagai permasalahan yang akan Niana suguhkan. Berurusan dengan gadis itu bukanlah perkara mudah.

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪
F

rom Fix Sinan
Tolong kabari gue kalau ada hal buruk, Klar.
Gak tau. Gue khawatir sama lo.

Reva menyimpan kembali ponselnya setelah membaca sekilas pesan yang Fix kirimkan untuknya. Di jam segini, di mana jadwal mengatakan mereka sedang istirahat pertama. Kemungkinan besar ada yang terjadi di sekolah. Antara Gama dan Niana mungkin? Atau bahkan orang lain yang berhubungan dengannya?

“Sayang, Papa ke kantor dulu. Kamu hati-hati di rumah.” Etan pamit, tak lupa mencium puncak kepala putrinya. Dia mengusap pipi Reva lembut lantas bergegas berangkat ke kantor. Kali ini rapatnya tidak bisa dia tunda lebih lama lagi.

“Hati-hati di jalan, Pa.”

Bi Mimi yang baru saja selesai menyapu datang menghampiri. Menanyakan apa yang majikan mudanya itu perlukan. Sebenarnya dia hanya takut kalau Nenek tiba-tiba datang dan kembali mencelakai Reva. Tiada hari tanpa perasaan takut semacam itu.

“Nanti Reva cari Bibi kalau Reva perlu. Bibi istirahat aja.”

“Bener, lho, Non? Nanti tiba-tiba Non Reva ngerjain sendiri, saya yang dimarahi Tuan ....”

Reva tersenyum kecil. Kali ini dia tidak akan membantah lagi. “Iya, Bi ... nanti Reva panggil.”

“Bener ya, Non?”

Reva tersenyum semakin lebar, mengangguk tegas memberi jawaban. Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan Reva. Namun, Reva juga tak mau membiasakan diri untuk bersikap manja. Jika dia bisa melakukannya sendiri akan lebih baik untuk kehidupannya nanti.

Bi Mimi pergi ke belakang untuk istirahat sebentar karena pekerjaan paginya sudah selesai. Reva mendudukkan dirinya di depan televisi, memutar serial yang menarik perhatiannya.

Dalam diam tiba-tiba melirik tangan kirinya, di saat seperti ini dia baru sadar jika tangannya terasa nyeri yang menyakitkan. Katanya, tiga minggu adalah waktu tercepat untuk sembuh selama tidak ada infeksi pada luka. Reva hanya perlu menjaganya dengan baik.

Assalamualaikum.”

Waalaikumussalam.” Reva menoleh, menyambut kedatangan Jio dengan senyuman lebar.

Sejak kejadian itu, Nenek sudah tidak pernah lagi mampir, Jio pun jadi memiliki lebih banyak waktu untuk menjenguk adik kesayangannya yang satu ini.

“Numpang kerjain tugas.” Izin Jio sambil mengacak gemas puncak kepala Reva. Dia meletakkan tasnya perlahan, duduk bersila di bawah.

“Mau Reva bantu?”

“Dengan senang hati kalau lo ngerti,” jawab Jio sembari membuka laptopnya.

“Karena Reva gak ngerti jadi Reva bantuin supaya Reva juga ngerti.”

Jio tersenyum, lagi, mengusap puncak kepala Reva sayang. Syukur hari ini tidak ada kelas karena dua dosennya yang merupakan suami istri berhalangan hadir. Ada berita duka dari keluarga mereka yang tak bisa ditinggalkan begitu saja.

“Kak Jio gak bawa Ketan?”

“Ketan?” tanya Jio yang seketika hilang ingatan. “Oh, Ketan. Enggak. Gue dari kampus, dapat kabar dosen gak masuk langsung ke sini.”

“Kenapa gak milih nongkrong sama teman-teman Kak Jio?”

Jio mendengkus geli, pertanyaan yang seharusnya Reva tahu jawabannya. Setelah gadis itu terus menyinggung agar Jio tak meninggalkannya, bagaimana Jio sanggup melakukannya? “Karena lo prioritas gue, Re. Jangan tanya lagi.”

“Kalau gitu Reva mau tanya yang lain.”

“Apa? Tanya aja.”

“Kak Jio kenal Fix?”

Jio tersedak ludahnya sendiri. Menoleh mengerjap, setelah itu langsung mendengkus geli menenangkan diri. “Gue cuman tahu dia, sih. Karena sering Nenek omongin. Beberapa kali aja ketemu dia pas bareng lo.”

“Kalau Gama? Titra?”

“Gue dengar cerita lo, Re.” Jio berhasil menjawab dengan tenang.

Reva membulatkan mulutnya mengerti. Dia menatap buku-buku milik Jio lantas membukanya satu persatu. Sebelum dia mengerjakan tugasnya sendiri, akan lebih baik dia mengisi waktu dengan membantu Jio.

“Re,” panggil Jio setelah sebagian tugasnya selesai. Dia merenggangkan otot-otot tubuhnya. Paling menyebalkan memang mengerjakan satu tugas yang tidak ada habisnya.

Reva menoleh.

“Udah nentuin negara mana yang mau lo tuju?”

“Gak ada patokan.” Reva menggeleng kecil. “Reva bakal coba semua, milihnya di akhir aja.”

“Tapi, pasti ada yang buat lo tertarik ke luar, ‘kan?”

“Mungkin Reva pernah bilang Prancis?” Bahkan Reva sendiri ragu dengan jawabannya. Tidak ada keinginan spesifik. Dia hanya ingin hidup dengan normal dan baik.

Ah, tahun lalu. Waktu lo ditawari beasiswa ke sana, ‘kan?”

Reva mengangguk kecil. Sebenarnya ada banyak hal yang tak pernah Reva bagikan pada siapa pun. Tentang prestasinya di sekolah, tawaran beasiswa, hingga penghargaan internasional. Kesibukan orang tuanya adalah jawaban. Secara mata telanjang, Reva memang tak memiliki apa-apa. Apalagi yang namanya beasiswa untuk saat ini.

Alasan kedua, apa yang Reva raih hanya akan menjadi topeng kebanggaan tanpa ada timbal balik dan hal positif yang dia dapat. Hanya dijadikan ajang pamer yang menurut Reva sangat tidak perlu dilakukan. Kesombongan hanya akan menghancurkan mimpi yang pernah Reva susun dulu. Meskipun sekarang dia tak punya yang namanya mimpi.

“Rencana gue, gue bakal nyusul lo untuk S2 nanti,” ujar Jio sambil tersenyum manis. “Gue bakal cari beasiswa, gue bakal temani lo di sana. Ya, walaupun telat setahun.”

Reva tersenyum, namun sebenarnya dia berusaha untuk tidak percaya dengan itu. Entahlah, dia rasa hal itu tak akan pernah terjadi. Niat baik Jio yang seharusnya bisa membuatnya senang, malah menjadi hal yang tak ingin Reva dengar.

Ada nyeri yang menyerang dadanya tanpa alasan.

Dulu, Rian juga berkata demikian. Dia akan pindah dan mengajar di sekolah Reva agar bisa menjaga Jio dan Reva di sini. Namun, dia tak lagi bisa menepati janjinya karena terlanjur pergi.

“Kenapa, Re?” Jio menyadari Reva tengah larut dalam sesuatu. Ekspresi wajahnya yang memburuk, juga sedikit gertakan yang terdengar. Ekspresi ini adalah ekspresi yang paling Jio takutkan.

Reva mendongak, menggeleng kecil sambil tersenyum simpul.

“Ya udah. Besok gue titip Ketan, ya?”

Refleks Reva menggeleng. “Nanti Nenek buang lagi ....”

“Kalau gitu berarti dia psikopat, Re. Tangan lo sudah begini dan dia masih belum puas? Ketan udah gue training kabur dari psikopat, asal gak lagi kekenyangan aja.”

“Kak Jio gak boleh ngomong gitu.”

Jio menghela napas, meraih tangan kanan adiknya. Menggenggam tangan itu untuk menyalurkan energi positif dari dirinya. Jio tersenyum tipis, tak bisa dipungkiri dia sendiri kehabisan energi.

“Kita cuman manusia biasa, Re. Kalau mau lega ya ngomong. Kalau mau bebas ya lari. Kalau mau bahagia ya ketawa. Kita gak bisa terus nuruti stigma yang kadang gak ada kecualinya. Setiap masalah punya perspektif penyelesaian. Kalau lo minta keadilan ke manusia, lo gak bakal pernah dapat itu. Gue tahu lo paham, tapi hati lo terlalu baik, Re. Jadi orang jahat itu perlu. Jahat dalam konteks demi kebaikan bersama, ngelakuin hal di luar hal yang sebenarnya baik sampai stigma yang ada di sekitar kita.

Love your self first, ok?”

Reva diam, merasakan hangat yang Jio bagikan padanya. Semakin Jio jelaskan, semakin Reva tak mengerti tentang dirinya. Sampai detik ini, Reva tidak mengenal siapa dia yang sempat hilang. Yang dia tahu hanya dari apa yang orang katakan padanya.

Cantik, pintar, ramah, suka berbagi. Atau ... tidak tahu diri, pembawa sial, menjijikkan, dan beban keluarga.

“Jahat dalam konteks demi kebaikan bersama, ngelakuin hal di luar stigma maksud Kak Jio bunuh diri?”

Deg.

“HEI! Lo tahu bukan itu maksud gue, Re. Jangan bilang itu lagi, oke?” Tubuh Jio bergetar saking kagetnya. Dia menatap, memohon dengan sangat pada gadis itu. “Itu bahkan jauh lebih buruk dari stigma.”

Reva tertegun, melihat air mata yang tiba-tiba jatuh dari sudut mata Jio. Maksud dari air mata itu apa? Rasa sayang Jio yang tulus? Atau rasa miris Jio untuknya yang begitu tak masuk akal?

“Maaf ... Kak Jio jangan nangis.”

Jio menarik napasnya dalam-dalam, mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah. Jejak air mata di pipinya pun dia enyahkan. Sungguh, Jio tidak pernah menyangka itu yang akan keluar dari mulut Reva.

Jio mendekat, memeluk Reva untuk menenangkan gadis itu. Bukan, lebih tepatnya menenangkan dirinya sendiri.

“Jangan bikin gue jadi gak berguna, Re.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪
J

io menghela napas, sudah hampir satu jam lebih dia menunggu di Kafe Agra. Menurut informasi, rombongan Gama sering berkumpul di sini saat malam hari. Ketika tengah asyik mengulik, Jio terkejut dengan satu fakta jika mereka berani melecehkan perempuan. Dan orang itu adalah Niana.

Gadis itu ... mudah terobsesi pada sesuatu. Lantas rela menyerahkan diri untuk menggapai itu.

Anjir! Diem lo!”

“Lo yang diem, bangsat!”

Pandangan Jio bertemu dengan seseorang yang dia cari. Sorot mata yang tadinya geli mendengar perdebatan teman-temannya, kini menyorot tak nyaman pada Jio. Tak hanya sampai di situ, ada satu fakta lagi yang membuat Jio memutar strategi kampungan di dalam kepalanya.

Tiga di antaranya adalah orang yang Jio kenal. Sudut bibirnya terangkat. “Terapi dari gue manjur, ‘kan?”

Tiga orang yang dimaksud membuang muka. Satu orang melangkah maju, bukan yang dia cari, tapi sepertinya dia yang paling berpengaruh di sini.

“Oh, jadi lo korban jahil anak-anak ini?”

Jio menatapnya, memperhatikan gelagatnya yang terlihat sebagai anak baik-baik. “Anak-anak?” tanya Jio kembali menatap ketiganya.

Orang itu tersenyum. “Gue boleh duduk?”

Jio mengangguk. “Silakan.”

“Kalian berempat maju.” Dia memberi titah. Duduk dengan tenang, memperhatikan ekspresi Jio dengan baik. “Terserah mau lo apain. Karena mereka sudah ngelanggar prinsip gue.”

“Kak Gemin,” panggil Gama mendesis. Dia tidak ingin dipermalukan di sini.

“Minta maaf.” Tatapan Gemin menajam. “Gam, gue ngasih lo wewenang perintah anggota, bukan berarti lo bisa pakai seenaknya buat muasin rasa cemburu lo.”

“Cemburu?” Jio mengulang, menatap Gama dan pria yang dipanggil Gemin itu bergantian. Lantas tak selang berapa lama tawa Jio pecah.

“Lo cemburu sama gue?!” Tawa Jio semakin pecah. “Gue kakaknya Reva. Gak boleh gue melakukan hal yang sampai buat lo cemburu itu?”

Gama terdiam. Lihat, kelakuan Gama lagi-lagi hanya membuat Gemin malu. “See. Malu-maluin, ‘kan?”

“Ya ... setidaknya gue tahu alasannya. Gak masalah.” Jio menatap Gemin, memberi keringanan pada keempatnya. “Gue minta maaf untuk terapi kemarin.” Tatapannya kembali pada tiga orang tumbal gang yang Jio habisi waktu itu.

“Dan lo, Gam. Gue punya urusan pribadi sama lo.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Terima kasih sudah membaca.

See you🙆🏻‍♀️

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang