1 || Tenang

459 63 18
                                    

Selamat membaca💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


“Na.”

Senyuman lebar tercetak di wajah pucatnya. Kedua netra memandang ke bawah sebelum turun dari ranjang, memastikan kakinya berpijak dengan benar di ubin dingin unit kesehatan sekolah.

Suara pergerakan tirai terdengar, mengenyahkan penghalang hingga sosok si pemanggil terlihat.

Niana mendekat dengan sedikit melompat, memeluk lengan Fix dengan dalih tubuhnya yang masih lemas.

“Lo gak sarapan?”

Niana tampak enggan menjawab, karena sudah tahu Fix akan marah padanya. Mengatakan jika dia ceroboh dan tidak memedulikan kesehatannya sendiri.

Fix sudah lelah. Tangan kirinya menepis perlahan pelukan Niana, menangkap bagaimana gadis itu menatap kecewa padanya.

“Kalau gitu lo makin susah jalan, Maimunah!” Sebuah sentilan pelan di kening menambah gemas yang Fix bendung sedari tadi. Akan lebih baik gadis itu berpegangan pada tangannya dengan wajar ketimbang memeluk lengannya seperti ketempelan. Atau yang paling wajar, Fix memapahnya.

Niana mengangguk saja. Untuk saat ini dia tak akan banyak protes hanya karena Fix menolak lebih dekat dengannya. Menggandeng lengan Fix seperti tadi hanya ingin Niana gunakan sebagai senjata agar semua orang tersadar. Fix milik Niana. Meski Niana tak pernah menerimanya dan membiarkan perasaan laki-laki itu mengudara tanpa tujuan.

Setiap orang bisa menjadi ancaman untuk hubungan keduanya. Fix yang seperti ini, Fix yang mudah dikendalikan adalah kebahagiaan yang tak boleh diganggu oleh siapa pun.

“Fix.”

“Apa?”

“Lo kenal cewek yang tadi?”

Fix tampak berpikir. Ada beberapa hal yang terlintas begitu saja sebelum dia memikirkan jawabannya. Namun, bukanlah hal yang begitu penting.

“Enggak. Lo kenal?”

“Dia musuh gue. Orangnya palsu banget, jangan sampai lo kejebak sama dia.” Niana menggerutu. Hendak memaki gadis itu mati-matian, tapi tidak di depan Fix.

“Gue sudah kejebak di lo.”

Niana menunduk, mengulum senyum. “Gak papa. Seenggaknya gue gak bakal bikin lo tersesat. Lo bakal baik-baik aja sama gue.” Niana mengangkat kepala, tersenyum lebar seakan yang dia katakan adalah benar. Mungkin benar bagi Niana, tapi belum tentu bagi Fix.

Fix tersenyum simpul. Mau tidak percaya, hanya saja perasaannya selalu mengambil kendali. Satu hal yang paling menyebalkan ketika jatuh hati. Apalagi untuknya yang sekali jatuh cinta tidak main-main.

“Iya. Thanks, ya.” Fix mengacak gemas puncak kepala Niana.

Tangannya dilepas, gadis itu sudah sampai di kelasnya. Fix melambai kecil, memperhatikan Niana masuk dari ambang pintu hingga gadis itu benar-benar duduk di kursi. Dengan isyarat tangan Fix pamit,  segera berjalan menuju kelasnya sendiri.

Dia tidak tahu ada masalah apa antara Niana dan Reva. Ada masalah besar apa yang membuat Niana dengan mudah mengumpat untuk gadis itu saat upacara.

“—di lorong ini hingga lantai dua itu kelas dua belas MIPA. Kelas kamu sudah tahu, ‘kan?”

“XII MIPA 3.”

“Ya, benar. Sekarang saya ajak kamu ke koperasi untuk ambil seragam—tunggu saya izin angkat telepon dulu.”

“Baik, Pak.”

“Tunggu sebentar, ya?”

“Silakan.”

Fix tersentak ketika tatapan mereka bertemu. Gadis itu tersenyum padanya. Fix tahu itu hanya bagian dari sopan santun paling sederhana sebagai makhluk sosial di Indonesia. Dia tak perlu berpikir jika itu adalah senyuman puas karena telah menemukan mangsanya. Fix harus segera kembali ke kelasnya untuk berganti pakaian sebelum jam olahraga. Sebelum dia diberi hadiah lari keliling lapangan.

“—aduh. Baiklah. Ah, Reva ... maaf saya ada urusan mendesak kalau gitu .... Nah, Fix! Sini!”

Wah ... kebetulan yang sangat kebetulan.

Mata Fix membulat mendengarnya. Terpaksa badannya berbalik kaku. Tertawa canggung sambil menggaruk tengkuk. Kaki jenjangnya dia seret mendekati dua orang itu. Baru tadi Niana bilang jangan sampai terjebak, sekarang dia harus berurusan.

“Bapak tahu aja ini saya,” canda Fix menghilangkan resah. Maunya dia kabur saja tadi.

“Halah, liat badan kamu yang tinggi begini siapa yang gak kenal?”

“Apa saya operasi kaki biar jadi pendek aja, Pak?”

Ah! Banyak alasan. Nanti siapa yang saya suruh ngambil kock yang nyangkut di genteng?”

Lagi-lagi Fix hanya bisa tertawa, semakin merasa tak nyaman kala Reva memperhatikannya. Mata gadis itu tidak menyorot tajam, tapi rasanya dia menguliti habis informasi dari tubuh Fix. “Gaji saya dibayar dulu dong, Pak. Masa saya gratisan. Enak aja.”

“Udah-udah. Ini antar dulu temanmu ke koperasi.”

“Tapi, Pak. Saya olahraga habis ini.”

“Halah. Gak papa. Bilang saya yang suruh.”

“Tapi, Pak.”

“Tapa tapi tape!”

“Enak, tuh, tape.”

“Ya udah sana!”

Fix nyengir sangat lebar. Lagi-lagi tangannya menggaruk tengkuk sembari menyempatkan diri berpikir sejenak. Lebih baik gadis ini dia titipkan pada orang lain atau harus dia sendiri?

Reva mendengkus geli setelah kepergian Kepala Sekolah. Terdengar jelas di telinga Fix yang bingung sedari tadi. Kepalanya menoleh, melihat gadis itu tersenyum seolah tahu Fix tak ingin berurusan dengannya. Karena di mata Fix, senyumannya malah terlihat menyebalkan.

“Gue bisa ke Koperasi sendiri, kok.”

“Nah, bagus. Mandiri.” Fix mangut-mangut. Seketika merasa lega di sekujur tubuh. Jika begini Niana tidak akan mencari-cari alasan untuk marah padanya, ‘kan?

“Nama lo Fix, ya?” Reva mengangguk kecil mengerti. “Oke.”

“Lho, lho? Lo tahu nama gue dari mana?!” Fix sedikit panik. Suara batinnya yang mengatakan dia mengenali Reva sepertinya tidak salah, buktinya Reva pun mengenalinya.

Name tag lo.” Reva menjawab dengan entengnya, menampar jatuh tingkat kepedean Fix yang barusan.

Cowok itu tertawa canggung. Tak lama kemudian Reva berjalan pergi ke arah Koperasi tanpa pamit lagi. Fix memantau dari tempatnya berdiri, memastikan gadis itu memilih jalan yang benar ke tempat tujuan. Dia takut, tapi dia juga bukan orang jahat. Fix tak bisa membiarkan begitu saja orang lain dalam bahaya.

“Dua belas IPS ....” Fix jadi khawatir.

Dua belas IPS begitu terkenal dengan tingkah uniknya. Bisa-bisa gadis itu menjadi korban ketika berjalan seorang diri dengan penampakan yang begitu menakjubkan. Mau tidak mau kaki jenjangnya bergerak dengan cepat, menyusul Reva yang dari belakang tampak tak terganggu dengan usilnya teman-teman sejurusan Fix.

Masih menjadi misteri kenapa banyak fasilitas umum yang berada dekat dengan kelas dua belas IPS. Jelas sekali banyak adik kelas yang merasa tidak nyaman karena berasa jadi teroris dipantau dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Reeeevaaa, cantik banget uwih!”

“Reva! Yono salam!”

“Selera lo banget gak sih, cuk? Cuma lo kismin aja.”

“Cantik, weh! Langsing!”

“Gitar spanyol lewat!”

Seperti dugaan, mulut teman-temannya tidak bisa disaring. Lihat cewek cantik sedikit saja langsung digoda. Tipikal cowok murahan.

“Lo ngikutin gue?”

Fix tersentak kaget. Dia tidak sadar Reva berhenti berjalan dan memergokinya begini. Keningnya mengernyit dalam, susah payah mencari alasan. Mana mungkin secara blak-blakan dia mengatakan jika dia khawatir Reva diserang para jantan.

“Gue mau ke kelas, kok. Gue, ‘kan, anak IPS.”

Alasan. Kelasnya saja di lantai dua. Dia sudah melewati tangga sebanyak tiga kelas.

“Oh. Katanya jam olahraga. Gak mau buru-buru ganti seragam?”

“Iya ... ini.” Fix menatap Reva sekali lagi. Lantas berbalik dan berlari pergi menuju tangga di ujung gedung.

Reva tak tahu apa yang sudah Niana ceritakan pada Fix tentangnya. Dilihat dari bagaimana ekspresi dan tingkah cowok itu, kelihatannya bukan sesuatu yang baik. Ya ... tentu saja. Mana mungkin Reva baik di mata Niana.

“Permisi. Saya Reva, mau ambil seragam.”

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang