56 || Bisa Gila

26 9 0
                                        

Selamat membaca 💙

Jan lupa striming!

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Semua orang sudah tahu bagaimana kedekatan dua orang yang kini sedang duduk di pinggir lapangan. Manusia-manusia  yang awalnya tidak memungkinkan untuk saling akrab satu sama lain, ditambah satu sosok lagi yang membuat tak sedikit dari mereka terkejut. Fix, Reva, dan Titra adalah kombinasi paling aneh di sekolah ini.

Tiga kepribadian yang bertolak belakang. Tiga orang yang dipikir tidak akan pernah mengerti satu sama lain. Tiga orang yang terlibat permasalahan dengan satu biang kerok yang sama. Tiga orang yang terlibat dalam perasaan yang rumit. Sekarang mereka berteman baik.

Jika ada Gama di antara mereka, itu akan jauh lebih menakjubkan lagi. Jika ada Niana ... maka itu nyaris mustahil.

Dilihat-lihat kembali, Reva dan Fix terlihat serasi. Saling melengkapi. Perlahan orang-orang mulai mengakui dan memberi dukungan kecil jika saja mereka memutuskan untuk menyatukan hati.

“Tatapan mereka jelas banget lagi gosipin kita.” Titra berdecak, menggerutu dengan kelakuan teman-temannya yang bukan teman.

Orang-orang itu tidak mau apa yang mereka bicarakan didengar, tapi tatapan mereka sama sekali tidak bisa menyembunyikannya. Bergosip sambil melirik yang bersangkutan adalah hal paling aneh yang terjadi di sekitar Titra.

“Biarin aja. Artis emang gitu!”

“Dih, PD artis lo!” Titra mendorong kepala Fix ke samping. Agak sulit karena Reva duduk di antara mereka.

“Ya emang artis! Artis itu pelaku seni! Gue sama Reva tuh orang seni, lo aja yang bukan.”

“Dih! Gini-gini gue menggeluti seni perasaan dan seni aura makcomblang udah bertahun-tahun lamanya. Gak usah ngerasa paling superior ya Anda!”

“Apaan!?” Fix mengulum bibir, memaksa tawa mengejeknya berhenti.

Alhamdulillah, telinga gue masih sehat.”

Fix dan Titra terdiam, saling lirik. Masing-masing meringis dan meminta maaf pada Reva. Cara Reva menyindir mereka memang sangat lembut. Kalau tidak mengerti tidak akan nyambung.

“Fix duluan!”

Fix memutar mata, mengelus dada mencoba sabar. Dia tidak mau melukai telinga Reva lagi hanya untuk meladeni bacotan tidak bermutu dari Titra. Selain itu, Fix tidak ingin merusak hari ini. Lebih tepatnya tanggal ini di mana semuanya menjadi jelas. Ketika Fix sadar mana yang harus dia lepas dan mana yang tiba-tiba masuk ke dalam hatinya.

Hari di mana Fix menyadari perasaannya telah berlabuh pada gadis di sebelahnya.

“Yang sudah ambil nilai boleh kembali ke kelas!”

“Siap, Pak!”

Fix menoleh, sudah tiba waktunya mereka berpisah. “Nanti makan bareng, gue beliin cireng biasa.”

“Gue nitip gorengan ayam, dong!”

“Iya ... ada lagi?” Fix pasrah, dia harus jadi orang baik.

Titra menggeleng. “Itu aja. Thanks, Bro. Restu teman itu paling utama.” Titra memberikan dua telunjuknya. Sekali saja Fix membuat Titra kecewa, maka Reva lah yang akan dia bawa sebagai ganjarannya.

“Oh ya, Klar. Nanti malam lo datang, ‘kan?”

Reva mengerjap, mencoba mengingat ada hal apa yang mengharuskan dia datang. “Oh, ulang tahun Pawpaw?”

“Yes bener banget!”

“Lo gak undang gue?!” Titra mendelik, tidak terima jika Fix melupakannya begini.

Reva tertawa geli. “Nanti gue jemput.”

“Oke! Lo emang teman ter-pengertian! Luvyu, Beb.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Ketika acara dimulai, si pemeran utama malah terlelap dan bersembunyi entah di mana. Fix diusir oleh Vina untuk mencari Pawpaw, sedang Reva ditahan karena wanita itu merindukannya. Binar matanya begitu menjelaskan betapa bahagianya dia. Walau kehadiran Titra sedikit mengundang canggung datang. Meski sudah mendengar cerita tentang ketiganya dari Fix, Vina masih kepikiran.

“Pawpaw itu ulang tahun yang ke empat. Biasanya Tante gak pernah ngundang orang, tapi mumpung kamu suka sekali sama Pawpaw jadi Tante undang.”

“Tante mah bilang aja mau ketemu calon mantu,” celetuk Titra. Gadis itu cekikikan, mengerti Vina masih canggung padanya. Kalau boleh bersumpah, Titra sudah tidak penasaran dengan Fix.

Hoho, iya dong.”

Vina menimpali dengan puas. Kalau Titra begitu, ‘kan, Vina tidak perlu sungkan-sungkan.

Reva ikut tersenyum. “Reva senang banget bisa ketemu Pawpaw.”

Vina dan Titra serempak menoleh, terdiam menatap Reva. Yang ditatap mengerjap tidak mengerti, ada yang salah?

“Kenapa kalau lo yang nyebut Pawpaw jadi gemesin!!”

“Pawpaw?”

“Fix! Pawpaw-nya mana?!”

Reva kembali terdiam. Respons keduanya mengingatkan Reva mengenai ekspresi Fix waktu itu juga. Padahal Reva menyebut Pawpaw sama saja seperti mereka.

“Bentar!” Fix membuang napas lelah. Dia mulai khawatir Pawpaw menghilang karena dia ingin mati. Sejak tadi dia tidak bisa menemukan kucing itu berdiam diri di mana. “Pawpaw! Astaga, lo di mana Pawpaw?!”

Terpaksa Fix kembali dengan tangan kosong. Dia menatap sedih ke arah Vina, seperti sudah siap dengan kemungkinan terburuknya.

“Padahal udah mau gue kasih snack satu kotak.”

Meow!”

Empat orang di ruang tamu terdiam. Melihat Pawpaw keluar dari balik sofa yang Vina duduki. Kucing itu tampak merenggangkan otot-otot tubuh. Tak lupa dilengkapi dengan menguap lebar. Dia menatap Reva, beberapa saat kemudian ekornya naik dan bergoyang-goyang.

Senyuman Reva melebar, mengulurkan tangannya meminta Pawpaw mendekat. Dalam sekejap kucing itu menurut, bermanja di pangkuan Reva tanpa basa-basi.

“Kucing sialan.” Fix hanya bisa membatin dalam hati. Pawpaw sudah cocok menjadi buaya darat. Benar-benar.

Reva jadi merindukan Ketan dan Ketun.

“Tau aja cewek cakep. Kucing mah gitu!”

Titra yang menoleh. “Berarti lo gak cakep!”

“Lo juga!”

“Menantu idaman, ‘kan?”

Reva mendengar perdebatan kecil mereka, tapi tidak mempermasalahkannya. Sudah lama sekali dia ingin bermain dengan kucing tanpa perasaan was-was yang tidak jelas. Sudah lama sekali Reva ingin bermain dengan hewan seperti ini tanpa takut mereka akan bernasib buruk setelah dia sentuh.

Bulu-bulu lebat Pawpaw begitu lembut, membuatnya terlihat sangat gemuk. Mata bulatnya yang cantik didukung dengan warna bulu putih bersih. Kucing saja bisa secantik ini, tanpa perlu melihat bahwa dia memiliki fisik seperti manusia sempurna.

Semua orang tentu cantik dengan ciri khas masing-masing. Reva tidak ingin merasa bangga hanya karena banyak orang setuju jika kata cantik patut dilimpahkan padanya. Reva juga tak berbangga disematkan kata sempurna pada dirinya. Karena sejatinya semua itu hanyalah beban.

Menjadi beban ketika semua mata tertuju padanya dan dia harus benar-benar menjadi sempurna. Hanya agar sorot mata itu melihat yang baik dan bisa mengikutinya.

“Pawpaw cantik banget, ya?”

Reva mendongak, melihat satu persatu semua orang dalam ruangan. Tatapan mereka seolah tak ingin kehilangan sedetik saja untuk memperhatikan Reva.

“Ma, kuenya gosong!”

Astagfirullah!”

Seketika dunia kembali berjalan dengan panjang detik yang semestinya. Mereka saling tertawa. Sibuk bermain dengan Pawpaw dan membiarkan Feldy dimarahi Vina karena terlambat memberi tahu keadaan kuenya.

Hari ini jadi hari yang baik. Tanpa permasalahan dengan Niana. Tanpa meluapkan amarah yang terpendam. Bercanda dengan masa yang sudah lewat. Memperhatikan satu sama lain agar tidak berada di dalam kesalahan yang sama.

“Kalian main piano, dong!”

Satu celetukan Titra yang mencetuskan duet keduanya tercipta. Reva menatap piano yang ada di ruang tengah rumah Fix, tersenyum kecil menatap benda itu. Mungkin pengalaman bermain piano sendiri atau bersama Bion akan terasa berbeda jika dilakukan bersama Fix.

Fix menarik kursi, mempersilakan Reva duduk dan mencoba untuk bermain. Namun, gadis itu menggeleng, menarik pelan tangan Fix untuk duduk di sebelahnya. Mengajaknya bermain bersama, memainkan setidaknya satu lagu bersama.

Titra tersenyum seperti setan kecil yang biasa berada di bahu kiri seseorang. Melihat keduanya bersama, membuatnya merasa puas dan berhasil sebagai makcomblang. Melihat Fix bersikap canggung karena terus diperlakukan manis oleh si pemilik hati. Semuanya sempurna, sudah menjadi ending seperti yang Titra harapkan.

Fix menggigit bibir, terus bertanya pada dirinya sendiri bagaimana caranya dia bisa fokus menekan tuts bila bermain bersama Klareta Desiree, bersama seseorang yang begitu sangat dia sukai.

Baru satu tuts yang gadis itu tekan, sudah meruntuhkan seluruh bakat yang Fix miliki. Dia hanya bisa terpesona, sampai Reva menyadarkannya lewat sentuhan. Tersenyum dan kembali membuat Fix terperosok jatuh.

“Fix, tolong kondisikan diri Anda seprofesional mungkin.” Titra geleng-geleng setelah terkikik puas.

“Gue insecure ....”

“Kenapa?”

“Kenapa?” Mata Fix membulat histeris. “Karena lo Klareta Desiree!”

Reva tertawa geli. Dia meminta Fix memainkan sebuah lagu, nantinya akan Reva imbangi dan beri improvisasi sedikit. “Gue juga masih perlu banyak belajar.”

Hanya tiga lagu yang sanggup Fix mainkan sebelum dia mati sesak. Tubuhnya dia sandarkan di sofa, memperhatikan Reva sedang mengajari Titra memainkan piano itu. Tak jarang tertawa ketika Titra mulai mengeluh dan tak kunjung mengerti tentang piano di depannya.

“Suer, dah. Gue lebih milih belajar Matematika kalau gini, mah!”

“Lo aja yang gak punya bakat.”

“Dih, dari pada lo gak bisa stay cool di depan gebetan.” Titra menjulurkan lidah. “Cupu!”

“Karpet.”

“Sok suci! Ngumpat-ngumpat aja kali!”

Reva tertawa, berusaha melerai mereka. Dua temannya ini tidak bisa melewatkan yang namanya adu mulut.

“Lo emang jago banget sih, Klar. Permainan lo tuh perfect.”

“Kayak orangnya, ya, gak, Fix?”

Reva tidak pernah suka candaan seperti ini. Dia coba terbiasa, tapi tiga tahun berlalu pun rasanya tetap membuat kesal.

“Gue ... gak pernah jadi seindah alunan melodi. Mau sesempurna apa pun, lo bakal menemukan melodi kasar di dalamnya.” Matanya menatap tuts piano di depan, menyentuhnya samar. “Ada tuts yang gue tekan tanpa perasaan, dan ada pula yang penuh amarah. Emosi gak bakal pernah mati. Tinggal seberapa pandai menyembunyikan, atau orang lain yang gak mau sadar.”

Sesempurna apa pun seseorang dia pasti menyembunyikan perasaan yang tidak bisa dijelaskan seenaknya. Sudah terlanjur yang panutan, ketakutan jadi buruk dan membawa buruk itu menjadi wajar adalah hal paling mengerikan.

“Hitam ... putih. Mayor ... minor.”

Reva harap ini jadi penjelasan terakhir. Setelah itu Fix dan Titra berhenti menyinggungnya soal itu.

“Gelap ... terang. Jahat ... baik. Sama seperti piano, antara tuts hitam dan tuts putih harus dipadukan, barulah tercipta alunan nada harmonis, selaras, dan indah. Percaya kalau manusia gak ada yang sempurna? Maka jangan pernah memandangnya seperti itu. Setiap manusia juga memainkan tuts hitam untuk bertahan hidup.”

Barulah Reva kembali memandang dua temannya, tersenyum pada mereka. “Kalian yang paling tahu tentang gue, kenapa masih beranggapan gue sempurna? Hanya karena gue terlihat lebih dari kalian?”

Membuang napas pelan. Benar-benar berharap ini yang terakhir kalinya.

“Cukup, ya? Beban itu terlalu berat buat gue.”

Sorry.”

Keduanya seperti anak kucing. Memelas cemberut dan merasa bersalah begitu dalam. Reva tertawa, senang mereka bisa mengerti dengan mudah.

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

“Klar!”

Reva menoleh, diikuti kepala Titra yang melihat ke luar mobil.

“Coba tebak gue bawa apa?”

Reva menatap kedua tangan Fix yang bersembunyi di balik punggungnya. Ada pita yang menjuntai ke bawah. Ada beberapa kelopak bunga yang terlihat. Reva tertawa kecil.

“Bunga?”

“Ih! Kok, lo tahu? Fix. Lo cenayang.”

Haha. Kelihatan, kok, Fix.”

Hehe. Happy two month lo jadi cursh gue. Makasih sudah buat gue selalu sadar kalau jantung gue berdegup. Itu artinya gue masih hidup!”

“Apaan, sih, anjir!”

Fix memelotot kesal ke arah Titra, mengganggu saja!

Thanks, Pangeran Lily.”

Reva mengambil buket cantik itu, menerimanya dengan senang hati. Membuat senyuman si empunya diangkat semakin lebar.

“Mau gue bantu naik ke kereta kuda?”

Sure.”

Fix meraih tangan Reva. Menggenggam lembut jemari yang terasa dingin diterpa angin malam. Dia senang Reva meladeni sandiwaranya yang kekanakan. Dia senang mereka berperan selayaknya putri dan pangeran yang ditakdirkan bersama.

Hingga jemari itu harus kembali dia lepas. Menutup pintu yang menjadi pertanda perpisahan itu dimulai. Fix mengambil beberapa langkah mundur, membiarkan mobil itu melaju sambil melambai keci.

Tubuhnya merosot, Fix menenggelamkan wajah. Rasanya panas di sekujur wajah, semburat merah menjalar hingga telinga. Semua impiannya akan mereka terwujud dimulai hari ini.

Bermain piano bersama. Berbicara sepuasnya tanpa membahas Niana. Mengerti satu sama lain. Hingga memberikan hadiah selayaknya pasangan kekasih. Fix suka hari ini, sangat suka.

“Bisa gila gue.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Hihi, terima kasih sudah membaca!

See you!

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang