Halooo, pa kabar?
Aku sedang terZweitson-Zweitson❤️
Selamat membaca 💙
⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
“Dengar-dengar ada yang teman sebangkunya kecelakaan, nih. Pasti lagi kena sial.”
Niana melirik Reva sambil tersenyum penuh arti. Menunggu Reva menghentikan langkahnya, menoleh dan memberinya respons yang seperti apa. Niana cukup puas dengan apa yang menimpa gadis itu akhir-akhir ini, tanpa perlu Niana bergerak sendiri.
Sesuai keinginan, Reva berhenti. Berbalik lantas berjalan mendekatinya. Begitu dekat sampai Niana bisa mencium aroma parfum Reva dengan sangat jelas.
“Yang gue dengar, lo gak lagi berhak atas beasiswa prestasi yang dari dulu lo terima.”
Niana terdiam, menelan salivanya sendiri. Tatapan nyalang dia layangkan pada Reva yang menjauhkan tubuhnya. Sialan.
“Lo udah berani lawan gue, ya?” Niana tersenyum sinis. Mengembalikan semua keberaniannya.
“Gak, kok, Na. Gue hanya membagikan informasi yang gue dengar, seperti yang lo lakuin.”
“Makin lama lo makin nyolot, ya.” Matanya bergerak menelusuri seluk beluk penampilan Reva, tak lupa dia memperlihatkan senyuman prihatin yang sangat menyebalkan. “Sudah buruk rupa begini masih belagu. Sampai kapan pun gue gak bakal nyerah tentang Fix.”
“Gak perlu repot-repot.”
Niana terperanjat kaget, kedua matanya terbuka lebar. Tubuhnya refleks menoleh ke belakang di mana Fix berdiri menjulang. Sejak kapan Fix ada di sana? Niana sama sekali tidak menyadari kehadirannya sejak awal.
“Gue gak butuh perjuangan lo,” tegas Fix. Menekan Niana lewat tatapan.
Setelah itu tangannya menarik Reva menuju gerbang, dia yang akan menemani Reva menunggu jemputan.
“Jangan jauh-jauh. Diemin aja itu virus.”
Reva melirik tangannya yang masih digenggam. Tak lama kemudian Fix tersadar dari ekor mata. Melepaskan genggamannya dengan canggung. Mulai salah tingkah sendiri.
“Maaf.”
“Iya.” Reva tersenyum, memaklumi. “Aku mau tanya, Fix.”
“Tanya aja.”
“Hari Minggu kemarin ada hal mendesak, ya? Soalnya kamu tiba-tiba hilang.”
Fix gelagapan mencari alasan. Mengedarkan pandangannya entah ke mana. “Iya. Mendesak banget sampai gak bisa gue tinggalin.”
“Oh, hadiahnya ada batas waktu?”
Fix terdiam, detik kemudian berdecak malas. Kenapa semakin halus pertanyaan Reva semakin kesal mendengarnya?
“Lo, ‘kan, pacaran sama Bion. Masa aku-kamu sama orang.”
Pertanyaan yang hari itu ingin Fix tanyakan berubah jadi sebuah alasan. Akhirnya keluar juga unek-uneknya.
“Tahu dari mana gue pacaran sama Bion?”
“Nah, kan, bener. Lu berdua pacaran, ‘kan?” Fix semakin kecewa. Kecewa tahu orang yang dia suka lagi-lagi telah dimiliki orang lain.
Reva terdiam, menyadari sepertinya Bion mengerjai Fix. Tawanya mulai terdengar walau kecil. Kepalanya bergerak lucu geleng-geleng. Lebih lucu lagi wajah Fix yang seperti orang bodoh tidak mengerti.
Dia dan Bion tidak pernah berpacaran meski seluruh dunia merestuinya.
“Gue gak tertarik pacaran, gak mau juga.”
Jleb.
Fix berkedip. Bingung harus merasa senang atau sakit hati. Hatinya langsung diserang dari dua arah begini. Senang karena itu berarti Reva tak berpacaran dengan Bion. Sakit hati karena itu artinya dia pun tak memiliki kesempatan hingga Reva berubah pikiran.
“Waktu itu Bion bilang kalian pacaran,” Fix bergumam dengan wajah cemberut. Kedua alisnya turun, pipinya membuat wajah sedih itu terlihat begitu menggemaskan.
“Bion pakai kalimat apa sampai buat lo salah paham?”
“Gue nanya aja gitu lo kenapa, trus dia bilang tanya aja langsung ke lo. Trus dia nanya, gue suka gak sama lo. Ya gue jawab iya. Trus anehnya dia jawab oke. Ya gue tanya dong oke apaan? Trus jawabnya. Oke, gue tahu di sekolah ada yang jagain cewek gue.”
Fix menarik napas lewat mulut, menyembunyikannya di dalam pipi. Keningnya mengernyit. Caranya bercerita juga sangat menggemaskan.
“Ya udah, gue kira kalian pacaran.”
Reva tertawa, tidak sanggup untuk menahannya. Cara dan ekspresi Fix ketika bercerita sangat lucu.
“Gak lucu! Gue sedih!”
“Karena kalimat ‘cewek gue’ yang menunjukkan kepemilikan?”
“Ya, gitu.”
Reva tertawa lagi. Dia sudah tidak tahu ekspresi apalagi yang Fix perlihatkan padanya, yang jelas itu sangat menggemaskan.
“Dia punya tanggung jawab untuk jagain gue, jadi gak salah kalimat itu yang Bion pilih. Kepemilikan juga gak harus ke pacar, ‘kan, Fix?”
Fix mengulum senyum, melirik Reva sedikit. “Jadi kalian gak pacaran?”
“Enggak.”
“Yes!”
Bukan hanya Fix yang merasa lega, Reva pun merasakan yang sama. Dia berhasil menyelesaikan ekspresi wajah Fix yang tidak biasa, membuat kesalahpahaman itu selesai.
“Kalau gitu gue duluan. Makasih sudah jagain gue, hati-hati pulangnya.”
Fix tersenyum puas, melambai kecil pada gadis itu. “Sama-sama. Lo juga hati-hati.”
Etan menyempatkan diri menyapa Fix tanpa lelaki itu duga. Lantas pria itu melajukan mobilnya segera pulang. Dari kaca spion Etan bisa melihat Fix sedang melompat kegirangan. Ada yang tidak beres.
“Kenapa dia?”
Reva menoleh, tidak kaget ketika Etan menanyakannya. “Dia kira Reva sama Bion pacaran. Lalu Reva jelasin kalau kita gak pacaran.”
Etan mengangguk mengerti. “Senang banget ya dia. Banyak banget yang suka sama anak Papa.” Etan tertawa kecil, setengah bercanda.
“Bukannya banyak juga yang suka sama Papa?”
Ekor mata Etan menangkap putrinya. Untuk kali ini dia tidak mengerti apa yang Reva maksud. “Papa sudah punya kamu. Yang begitu diabaikan aja.”
“Oke, sama, Reva juga gitu.”
Etan masih tidak mengerti. “Iya, Sayang. Kita langsung pulang aja, ‘kan?”
“Iya, Pa.”
Memangnya mau ke mana lagi? Tentu saja pulang sebelum nenek tahu dan memberi peringatan keras. Walau Reva tahu semuanya hanyalah gertakan semata.
Masih di tempatnya berdiri, Fix memastikan mobil Reva hilang dari pandangannya. Jika sudah begitu baru aman. Dia mulai membuka langka, menjerit kaget bertepatan ketika dia melihat penampakan Niana tepat di belakangnya.
Cowok itu mengatur napas, mengelus dada. Rupanya begini kagetnya orang-orang melihat penampakan.
“Antar gue pulang!” pinta Niana tak terbantahkan. Kedua tangan di lipat di dada, memicing tajam memastikan Fix tak berani menolak. Sikap bossy yang kentara.
“Sorry, bensin gue gak cukup.” Fix menolak dengan halus.
“Fix! Gue nangis, nih!”
“Sok atuh, silakan.”
Fix tidak peduli.
“Fix!”
“Bye, Niana. Hati-hati di jalan.”
Niana tak kehabisan akal. Dia berdiri tepat di depan motor Fix, merelakan tubuhnya agar Fix tak bisa kemana-mana tanpa membawanya.
“Na, please. Gue bukan psikopat, jadi tolong lo minggir.” Fix membuang napas. Kesabarannya semakin menipis. Beruntung suasana hatinya sedang baik.
“Apa susahnya, sih, antar gue pulang?!”
“Apa susahnya, sih, minggir?!”
Niana semakin kesal. Semakin tak goyah menghalangi kepergian Fix. Pokoknya, harus Fix yang mengantarkannya pulang hari ini. Dia sudah cukup bersabar dan mengalah sejak kemarin. Bagaimana pun, Fix tidak boleh jatuh pada Reva.
Gadis itu tidak pernah bosan dengan satu orang. Jelas-jelas semua orang tahu dia punya Bion yang sempurna berada di sisinya, tapi kenapa dia menolak? Dan malah mengejar orang yang jelas-jelas ada di sisi Niana?
Semakin ditelusuri, semakin Niana mengerti Reva ingin semua yang berbahagia selesai.
Fix tak mau kalah. Dia turun dari motor sambil mengeluarkan ponselnya. Ingin menunjukkan sesuatu pada Niana. Sesuatu yang pastinya akan membuat gadis itu tergoncang.
“Halo, Nek! Beasiswa aku dicabut sama Pak Rido! Nenek marahin, dong! Nanti aku dimarahi Ayah. Aku gak terima, pokoknya Nenek harus balas mereka. Terutama Reva. Niana belum puas! Titik!”
Kedua mata Niana membulat sempurna, refleks tangannya bergerak merebut ponsel Fix. Celakanya Niana kalah cepat juga kalah tinggi. Bahkan untuk menatap wajah Fix dari jarak sedekat ini saja dia harus mendongak nyaris maksimal.
“Oh .... Gue baru sadar pas dengerin ulang. Gue mau tahu, dong, siapa nenek lu? Neneknya Reva juga?”
“Bukan urusan lo! Hapus, gak?!”
Niana menggertak, menghentak-hentakkan kakinya penuh amarah ketika lagi-lagi gagal menggapai ponsel Fix.
“Bukan urusan lo juga.” Fix melempar umpan yang sama, meledek. “Sudah ada di ponsel gue, berarti ini privasi gue.”
“Tapi itu suara gue! Jadi gue berhak minta lo hapus!”
Fix tersenyum puas. “Pintar ya ngaku. Gue kira bakal drama kalau suara ini bukan suara lo.”
“HAPUS, FIX!”
Fix tetap pada pendiriannya. Dia menggeleng tegas, tidak akan dia lakukan. “Gak segampang itu, Na. Lo harus jelasin ke gue dulu lo itu siapa?”
Niana menggertakkan giginya kesal. Alisnya yang nyaris menyatu menjelaskan amarahnya. Dia berhenti melakukan usaha bodohnya untuk menggapai tangan Fix. Diam beberapa saat, berniat untuk mengeluarkan senjata andalannya.
Otot-otot wajahnya mulai melunak, memberikan ekspresi memelas.
“Gue ya Niana, Fix. Niana yang lo suka!”
“Gue gak suka Niana cabang psikopat.”
“Gue bukan psikopat!” Napasnya mulai memburu, sukses membuat bendungan di kedua mata.
“Trus, bukti ini apa? Jelas-jelas lo yang ngerencanain buat ngecelakain Titra, ‘kan? Sama kayak lo ngecelakain Reva!”
“Kok, jadi Titra? Lagian lo gak punya bukti! Jangan nuduh sembarangan!”
Niana memulai dramanya, menekan tiga suku kata terakhirnya. Semua pemilik mata yang sedang menyaksikan ikut terbawa suasana. Masing-masing dari mereka sudah siap dengan ponsel di genggaman. Dengan senang hati akan membuatnya viral di sosial media.
“Ya, lo tinggal ngaku supaya gue punya bukti.”
“BUKAN. GUE. YANG. CELAKAIN. TITRA!”
“Oh iya, bukan lo.”
“Memang bukan gue, Fix ....”
Niana benar-benar putus asa jika lagi-lagi Fix tidak mempercayainya.
“Kan, lo main bersih. Lo tinggal nyuruh orang aja buat balas dendam.”
Niana mengangkat tangannya, melayangkan dua tamparan keras di pipi Fix. Sekali lagi dengan tegas mengatakan jika Fix tak punya landasan apa-apa untuk menuduhnya. Niana tidak seperti Reva. Niana bukan Reva.
Gadis itu kembali berjalan masuk ke dalam sekolah dengan wajah memerah. Air matanya berjatuhan. Tidak peduli dengan semua apa kata orang. Dia ingin melampiaskan amarahnya.
Langkah kakinya berakhir di sebuah kelas. Menatap penuh emosi ke salah satu meja. Semuanya meluap, Niana menjatuhkan semua kursi dari atas meja. Lantas berakhir dia dua meja utama. Dia tidak akan berhenti sebelum keduanya benar-benar hancur sebagai mestinya.
“SIALAN! AYAH BAKAL MARAH SAMA GUE!”⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
“Ana pulang.”
“Hem.”
Kedua tangan Niana mengepal erat hingga bergetar. Dia berdiri di hadapan ayahnya yang bahkan tak menoleh untuk menyambutnya. Pria tua itu malah sibuk dengan koran dan kacamata yang melorot dari pangkal hidungnya.
Sama sekali tak berniat untuk bersikap peka pada putrinya, barang sedikit saja.
“Ana pulang.”
Akshal menghela napas, menutup korannya, tak lupa melepas kacamatanya. Dia menatap dua ujung sepatu di depan lantas mendongak. Menatap putrinya dengan tatapan dingin. Tak lama kemudian Akshal kembali mengalah, meneliti apa yang coba putrinya adukan.
Sekarang Akshal tahu kenapa Niana bersikeras agar dia mau melihatnya. Karena luka di tangan gadis itu.
“Mandi sana.”
“Iya,” jawab Niana lirih lantas melenggang menuju kamarnya untuk bersiap mandi.
“Nanti malam jangan kabur lagi dari acara makan malam.” Akshal memperingatkan. “Jangan jadi jalang.”
Niana menghela napas, kali ini air mata sungguhan yang jatuh dari pelupuk mata. Mengiyakan ucapan ayahnya dengan suara bergetar.
Niana menutup pintu kamar mandi, duduk di kloset untuk menangis. Menangis tanpa suara yang jelas sakitnya lebih terasa.
Niana tahu dia selalu absen dari acara kumpul keluarga. Niana tahu bahwa dia tidak akan sanggup hadir di sana ketika dia belum jadi sempurna. Berulang kali dia terus dibandingkan dengan yang lainnya. Walau nenek berada di pihaknya, Niana tetap merasa kurang dan memandang iri semua orang.
Mungkin hanya perasaannya, tapi hidupnya lah yang paling menyedihkan.
Niana menyesal karena terlahir sebagai dirinya. Terlahir dengan kenyataan bahwa dia darah daging Akshal. Terlahir dengan kenyataan bahwa hidupnya akan penuh dengan kepedihan.
Niana menyesal karena bukan Etan yang menjadi ayahnya. Niana menyesal karena dia bukan Reva.
“Hidup gak adil.”
Lirih dan semakin larut dalam masalah hatinya.
Benar, sejak dulu Niana tidak pernah suka dengan Reva. Sejak pertama kali dia melihat gadis itu tak pernah absen tersenyum pada dunia seakan dia tidak pernah menemui yang namanya masalah. Di mana semua orang memuji kemampuannya. Di mana semua orang mendambakan dirinya. Di mana semua orang rela mati untuknya.
Dunia tidak pernah adil dalam membagikan kebahagiaan. Tidak ada yang benar-benar berpihak pada Niana. Dia hanya sendirian, berusaha tetap hidup dengan mencari kebahagiaan dari luar.⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Dunia gak pernah adil untuk gue. Untuk orang-orang yang punya kekurangan seperti gue. Dituntut sempurna sudah jadi ujian paling tidak berperikemanusiaan, gak masuk akal.
Gue benci lo, Re. Sedalam semua orang mencintai lo.⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Terima kasih sudah membaca🙆🏻♀️
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks to Fix | Revisi
Jugendliteratur| Fiki UN1TY | Dalam proses revisi 5 Desember "Aku adalah ceritamu yang telah lama usai." Reva meletakkan penanya di dalam saku, menutup buku diary miliknya dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa jelaskan bagaimana. Lembar terakhir yang dia gunak...