PROLOG

785 82 9
                                        

Selamat membaca💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


NGIIIIIINGGG!

“Haduh! Siapa yang ngatur miknya?! Cepat perbaiki!”

“PAK! NGILU, PAK!”

YEEE BUBAR!”

Seketika suara gaduh memenuhi lapangan yang tadinya hikmat. Suara nyaring yang disebabkan mikrofon seakan menyayat gendang telinga setiap orang. Nyeri menjalar, membuat sebagian besar dari mereka menutupi telinga. Banyak berharap telapak tangan dapat menghalau tingginya frekuensi suara yang mengalun tajam.

Kepala Sekolah sebagai pembina upacara tersenyum kaku pada tamu spesialnya. Matanya kembali melotot, meminta kesalahan ini segera musnah saat itu juga.

Kibaran bendera terlihat seperti memberi isyarat bubar di mata para siswa yang pelipisnya mulai dibanjiri peluh keringat. Namun, upacara belum sampai di puncaknya—amanat dari pembina upacara.

Entah berapa banyak dosa yang memenuhi atmosfer hingga matahari menyaingi panasnya dengan begitu lihai. Mendadak kemarau melanda kerongkongan, banjir melanda punggung beberapa siswa. Dasi mulai ditarik ke bawah, kancing paling atas pun dibuka meleluasakan angin singgah. Topi yang awalnya terpasang rapi di kepala, kini digenggam menjadi kipas.

“PAK! PANAS, NIH!”

“Eh-EH EH! ANA PINGSAN!”

“MEDIS-MEDIS! TOLONG!”

Barisan rapi salah satu kelas mendadak berantakan. Setiap mata ikut penasaran melihat penampakan seorang gadis jatuh tak sadarkan diri di antara mereka. Petugas medis segera datang, membelah gerombolan sambil membawa tandu. Tiga orang mengambil posisi, menatap kesiapan rekan satu sama lain.

“Satu ... dua ... angkat!”

DUK DUK DUK

Geram melihat kelakuan siswanya, jemari besar dan kasar yang selalu digunakan menandatangani dokumen mengetuk permukaan mik tak sabaran. Berharap segala atensi kembali berpusat padanya. Berdiri di atas mimbar kebesaran, tak seharusnya para murid mengalihkan perhatian darinya.

“Rapikan barisan! Kembali fokus! Ayo ayo! Biarkan anak PMR melaksanakan tugas. Jangan bikin malu!”

Perhatian semua orang terus teralihkan dalam jangka waktu tak teratur. Banyak pasang mata itu satu persatu kembali menatap Kepala Sekolah, tak sedikit yang kembali pada objek utama pusat perhatian. Mereka mulai menggerutu, bukankah malah pernyataannya barusanlah yang membuat malu?

Seragam putih dibalut oleh jas berwarna hitam elegan, lambang salah satu sekolah swasta internasional terpampang mencolok di dada jas dengan aksen emas. Rok lipit abu-abu sependek lutut menambah nyentrik penampilannya. Rambutnya digerai, begitu rapi tanpa sehelai anak rambut pun yang nakal mencuat.

Tatapannya datar dominan dingin. Wajah tegasnya terlihat sempurna meski dari kejauhan. Cantik.

“Nak, sini, Nak.”

Seluruh mata mengikuti dengan teliti pergerakannya. Cara jalannya terlihat berbeda, lebih rapi dan terlihat sangat cantik. Caranya berdiri pun tak perlu diragukan lagi. Seolah dia adalah putri seorang bangsawan, bahkan dialah putri mahkota yang sebentar lagi naik takhta.

“Oke, jadi Bapak gak mau bicara panjang lebar. Bapak hanya ingin menyampaikan kabar gembira. Kita kedatangan siswi baru, namanya ... Revalin Klareta.”

Sudut bibir si pemilik nama terangkat manis, memecah histeris para lelaki yang sejak awal sudah terpesona secara fisik.

Fiwuit! CEWEK!”

“CANTIK BANGET, PAK!”

“KELAS BERAPA, PAK?”

“MAU SEKELAS DONG, PAK!”

NGINGGGGGGG

SSSSSTT! DIAM!”

Hening menerjang. Ada kalanya dengung mikrofon mengatasi masalah. Kumis tebal yang menjadi ikonik kepala sekolah bergetar kecil, diembuskan oleh napasnya sendiri.

“Namanya Revalin Klareta. Dia siswi pindahan dari sekolah swasta internasional terbaik di Indonesia. Tidak hanya itu, Reva juga merupakan siswi terbaik dari sekolah lamanya. Dia selalu membawa pulang juara di setiap perlombaan yang dia ikuti, baik di tingkat nasional maupun internasional. Nah, dengan begitu Bapak harap kalian bisa mencontoh dan berteman baik dengan Reva.

“Sekolah kita bisa jadi lebih baik jika kalian berteman dengan Reva—bukan, maksud Bapak jika kalian bisa mencontoh bagaimana Reva belajar, bersikap, dan berambisi. Selain itu ...—“

“Woi, Fix! Geseran dikit! Panas.”

Sang pemilik nama menghela napas penuh kesabaran. Teman-teman sialan yang memanfaatkan tubuh semampainya untuk menghalau sinar matahari dan melindungi mereka. Banjir tak bisa Fix bendung begitu saja, setelah ini dia akan balas dendam dengan menguasai kipas angin sendirian. Awas saja.

“—sesempurna itu?”

“Tapi kenapa pindah?”

“Apalagi? Pasti bangkrut, ‘kan? Gak mungkin dong dia pindah ke sekolah yang rendahan kayak gini.”

“Heh! Mulut lo.”

“Gue gak bisa bayangin sehedon apa dia. Sombong pasti. Percuma cantik.”

Daun telinga Fix terasa ingin menutup. Sejak awal bisikan-bisikan seperti itu terdengar begitu mengganggu. Jika dipikir lagi, dengan kepercayaan Fix yang menganggap tak ada yang mustahil. Kepindahan gadis itu bukanlah sesuatu yang selalu menyimpan alasan buruk.

Satu-satunya hal yang mengganggu pikiran Fix adalah ketika dia mengenali wajah itu. Tampak familier, tapi Fix sendiri tidak yakin. 

“Sial. Ngapain tuh iblis pindah ke sini?!”

“Dia mau bunuh gue?”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


“Gue ... gak pernah jadi seindah alunan melodi. Mau sesempurna apa pun, lo bakal menemukan melodi kasar di dalamnya. Ada tuts yang gue tekan tanpa perasaan, dan ada pula yang penuh amarah. Emosi gak bakal pernah mati. Tinggal seberapa pandai menyembunyikan, atau orang lain yang gak mau sadar.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


“Hitam ... putih. Mayor ... minor. Gelap ... terang. Jahat ... baik. Sama seperti piano, antara tuts hitam dan tuts putih harus dipadukan, barulah tercipta alunan nada harmonis, selaras, dan indah. Percaya kalau manusia gak ada yang sempurna? Maka jangan pernah memandangnya seperti itu. Setiap manusia juga memainkan tuts hitam untuk bertahan hidup.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪


“Terima kasih, aku adalah ceritamu yang telah lama usai. Terdengar percaya diri, tapi kamu kesulitan lupa, ‘kan? Hei ... aku benar-benar sudah pergi. Tidak lagi muncul di menit ke berapa pun di dalam hidupmu. Bahkan ketika kamu membaca ini berulang kali, mengharap keajaiban. Berharap bahwa tulisan ini tidak pernah kamu baca, tidak pernah aku tuliskan.

“Jangan biarkan aku merusak salah satu tuts hidupmu. Jagalah untuk dirimu, juga untukku. Hiduplah seindah permainan pianomu. Setenang dirimu kala menaruh fokus pada piano.”

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

Hiduplah dengan baik siapa pun kamu💙

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang