42 || Sedikit Jawaban

108 29 0
                                    

Selamat membaca 💙

⚪ t h a n k s  t o  f i x ⚪

“Reva.”

Reva menoleh, refleks kembali menuruni tangga untuk memenuhi panggilan papanya. Tumben, apalagi yang mau dia bicarakan setelah semalaman mendiami Reva?

Ketika Reva diantar pulang oleh Bion, Etan yang duduk di teras langsung masuk begitu saja. Sudah sangat jelas dia mengkhawatirkan Reva, tapi ada hal yang tidak bisa dia sampaikan.

“Temani Papa makan di luar.”

“Oh, Bi Mimi izin pulang?” tanya Reva sambil melihat ke arah dapur.

Benar juga, sejak pulang sekolah tadi dia tidak bertemu dengan Bi Mimi. Ketidakpeduliannya terhadap sesuatu sudah sampai di tahap sejauh ini. Bahkan apa yang dia lihat tidak pernah sampai di memori jangka panjang.

“Iya, anaknya sakit.”

Reva mengangguk mengerti. “Makan di rumah aja, Papa harus istirahat, ‘kan? Sebentar Reva masakkan makanan.”

“Jangan!”

Refleks langkah Reva berhenti di tempat. Dia menoleh, menatap papanya bingung. Dari raut wajahnya, dia terlihat sangat gelisah. Sepertinya memang harus Reva yang mengalah. Apa pun alasannya, kini Reva benar-benar akan mengalah tanpa keras kepala sedikit pun.

“Bukan salah Papa, kok. Kalau gitu Reva ganti baju dulu. Lima menit ya, Pa.”

Suara Etan tercekat. Kini hanya bisa menatap nanar punggung itu sambil menghela napas. Etan mengusap wajahnya, sudah semalaman dia coba introspeksi diri. Seharusnya dia mendengarkan Klara sejak awal untuk kembali ke Amerika. Cara paling tepat melindungi Reva memang hanya dengan melarikan diri dari keluarganya.

Reva menuruni anak tangga sambil tersenyum kecil. Dia mendekati Etan, menggandeng tangan papanya. Membuat pria itu tertegun sejenak, menatap bersalah wajah yang selalu tersenyum untuknya.

“Kita mau makan di mana? Ke restoran favorit Papa?”

“Kamu ... mau makan apa?” Etan masih tak terlihat bersemangat.

Emm ... Reva gak tahu. Reva ikut Papa aja.”

Mobil mereka melaju. Sesekali Reva melirik Etan dan membantu papanya untuk memperhatikan jalan. Pikirannya sedang kacau, jelas terlihat dari raut wajahnya meski Reva tak berniat membacanya. Kira-kira apa yang akan Etan jelaskan padanya?

Kemungkinan adalah hal besar yang dia sembunyikan sejak lama. Mungkin memang hal yang benar-benar tidak pernah Reva ketahui barang sedikit pun.

Mereka sudah sampai di tujuan dalam sepuluh menit. Reva diam sebentar, melihat punggung Etan menjauh tanpa menunggu Reva bersanding di sebelahnya. Dia menghela napas, lebih baik dia menyiapkan diri sebelum menghadapi sesuatu yang mungkin tidak akan menyenangkan. Entahlah. Sebenarnya Reva tidak butuh itu.

“Tempatnya cantik.” Reva menarik kursi untuknya duduk. Dia menyimpan tasnya dengan benar, lantas memperhatikan papanya dengan seksama. Ya, wajar saja Klara tertarik pada Etan jika dia bisa bersikap seromantis ini.

“Papa minta maaf, Sayang.”

Reva mengerjap, lantas terkekeh geli mendengar permintaan maaf dari papanya. Wajah menunduk itu sama sekali tidak mencermin seorang Etan.

“Reva sudah bilang. Papa gak salah apa-apa.” Reva menjeda. Dia mengambil sendok dan garpu, meminta papanya memegang dua benda itu. “Reva punya permintaan. Tolong ... Papa makan yang benar dulu ya baru kita bicara.”

Waktu berlalu secepat angin membawa terbang daun kuning jatuh dari pohonnya. Makanan mereka sudah habis, itu menjadi kepuasan tersendiri bagi Reva melihat papanya makan dengan benar. Meski raut wajahnya masih terus gelisah, setidaknya dia masih memperhatikan dirinya.

Saat-saat manis seperti ini akan segera berakhir. Reva tidak boleh melewatkannya. Walaupun Etan akan berujung kecewa padanya, setidaknya Etan punya lebih banyak kenangan manis tentangnya.

Reva sudah memutuskan untuk tidak mengecewakan Jio.

“Makasih, Pa, makan malamnya.”

Reva tersenyum lebar, menatap Etan dengan kedua matanya yang menyipit ditelan senyuman. Reva tidak punya alasan untuk tidak tersenyum. Karena dunia tidak akan pernah berputar padanya sekalipun dia merengek dan mengancam untuk selesai saat itu juga.

Etan menghela napas panjang, mengalihkan tatapannya pada air di dalam gelas. “Sebenarnya banyak hal yang gak pernah Papa kasih tahu ke kamu.”

Reva masih tampak tenang seperti permukaan laut. Dia sama sekali tidak terkejut sekalipun hujan es yang turun. Dia menerima semua yang jauh dengan baik. Karena kepalanya sudah terlebih dahulu membuat semua itu seolah pernah terjadi.

“Reva juga. Karena gak semua hal harus Reva atau Papa tahu. Sesempurna apa pun kita sebagai makhluk sosial, kita juga butuh satu ruang untuk menimbun banyak hal. Jadi bukan masalah.”

Perasaan Etan terasa dicabik-cabik setelah mendengar bagaimana usaha Reva menenangkannya. Etan tahu, Reva hanya ingin dia tak lagi merasa bersalah pada apa yang terjadi padanya. Tapi, tidak bisa. Sungguh. Karena bukan hanya satu hal buruk yang disebabkan oleh keegoisan Etan. Banyak. Bahkan sangat banyak.

“Sebenarnya Papa tahu, kepulangan kamu ke Indonesia memang akan berujung seperti ini. Sejak awal, gak ada yang setuju dengan keluarga kecil yang saya punya.”

Etan menggenggam erat gelas di tangan. Menyalurkan seluruh rasa takutnya di sana.

“Mama kamu .... Kita bukan sekali ini bertengkar hebat. Saya tahu Mama kamu orang yang hebat. Dia tahu semua hal yang kamu butuhkan, tapi saya egois. Saya yakin keluarga saya akan menerima kamu. Ini hanya masalah waktu.”

Reva tahu tentang semua pertengkaran kalian, tapi Reva tidak pernah sedikit pun menganggap Etan egois.

“Tapi, saya tertampar waktu. Amarah Klara bukan tanpa alasan, dan dia selalu benar. Hanya ada saya yang tidak bisa bersikap tegas. Tidak bisa memahami prioritas antara ibu saya dan tanggung jawab yang saya pilih sendiri.”

Reva memperhatikan setiap kata dan helaan napas yang berasal dari Etan. Matanya yang memerah dan berujung menjadi air terjun yang kehabisan airnya pun tak luput dari perhatian Reva.

Sebenarnya Reva merasa tidak butuh dijelaskan tentang masalah ini. Karena, semakin dia tahu ceritanya, semakin ada keinginan untuk menguliknya sampai tuntas. Dan semakin banyak spekulasi yang muncul untuk membela dirinya sendiri.

“Saya juga ... saya bukan papa kandung kamu. Itu adalah alasan utama yang sampai detik ini tidak bisa Ibu saya terima.”

Wow. Ini pertama kalinya Etan mengatakan sesuatu yang benar-benar tidak Reva ketahui.

“Oh.”

Tertegun, Etan menatap Reva dengan ekspresi terkejut yang seharusnya dia dapatkan dari putrinya. Untuk suatu fakta yang begitu besar ... Reva hanya memberi dua huruf sebagai tanggapan?

“Bukan itu alasannya.”

Deg.

Pupil mata Etan membesar, terkejut dengan pernyataan yang Reva berikan. Apa mungkin Reva sudah tahu semuanya? Dari siapa? Dari ibunya atau dari Klara?

“Melihat Papa yang begitu berbakti sama Nenek. Reva pikir bukan itu alasannya.” Reva menatap air di dalam gelas. Dia akan mengeluarkan apa yang selama ini sekadar sanggup dia pikirkan.

“Ketika seorang anak berbakti tanpa cela, berarti orang tuanya berhasil. Orang tua yang baik. Kemungkinan, orang tua itu paling mengerti perasaan seorang anak dan paling mengerti apa yang dibutuhkan. Jadi, alasannya bukan karena itu.”

Perasaan dan logika Etan tertampar. Dia merasa dia akan sering-sering menertawakan dirinya sendiri mulai sekarang. Memang terdengar seperti hal baik, tapi bagi Etan itu adalah sindiran keras yang Reva berikan padanya melebihi suatu hantaman yang merontokkan gigi.

“Kalau Papa berusaha meluruskan semua hal yang Nenek lakuin ke Reva. Lebih baik jangan.”

Etan tidak mengerti. “Kenapa?”

“Karena anak berbakti tidak akan membuka aib ibunya.”

Deg.

Lagi, kali ini tamparan yang lebih keras datang padanya. Pria itu lagi-lagi hanya bisa membuang napas berat, membiarkan air menyelimuti matanya yang menatap tanpa celah putrinya.

“Maafin Papa, Sayang.”

“Oh ya.” Reva menjeda, mengubah caranya tersenyum agar menjadi terasa lebih tulus. “Kandung atau bukan. Anda tetap papa saya. Terima kasih, Pa.”

Air mata Etan sukses dibuat terjatuh lagi. Dia bangkit dari kursinya, berlutut di samping Reva lantas memeluk putrinya.

Lihat Etan? Gadis seperti ini yang tidak bisa kamu lindungi? Gadis seperti ini yang malah melindungimu? Gadis seperti ini yang kamu biarkan tersiksa tanpa berusaha kamu bela mati-matian? Putrimu adalah seseorang yang paling menjaga jalannya tetap lurus, tapi kamu malah menjaga jalan yang sudah melenceng jauh.

“Kita cari Mama, setelah itu kita kembali ke Amerika.”

Reva tertawa geli. “Papa gak tahu Reva sudah jadi buronan? Kelihatan bersalah gak, sih, kalau tiba-tiba Reva ada di Amerika?”

“Buronan?” tanya Etan bingung.

“Lupakan. Ayo cari Mama.”

Thanks to Fix | Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang