Selamat membaca 💙
⚪ t h a n k s t o f i x ⚪
Reva menatap tangannya yang terbalut perban di udara. Sorot matanya sedikit bergeser ke kanan, berakhir terkulai lemas dan menatap langit-langit itu bosan. Sungguh, untuk saat ini Reva sudah bosan dengan tempat tidurnya. Dia rasa dia sudah cukup beristirahat. Sesungguhnya yang sakit hanya tangannya, bukan total seluruh tubuhnya.
“Kalau otot gue melemah, sekali ditampar juga bakal tumbang.”
Helaan napas memburu, bosan makin menjadi-jadi. Seharusnya dia ulangan matematika hari ini. Ikut susulan nanti malah merepotkan, Reva tidak suka.
Demi kesembuhannya, protektif Etan melejit jauh. Pria itu bahkan mengosongkan seluruh jadwalnya di luar rumah. Menjadwalkan kembali sebisa mungkin bekerja dari rumah. Tidak heran bisa terjadi dengan mudah, karena Etan bosnya.
Papanya juga sudah berulang kali menghubungi Klara, tapi tak pernah tersambung apalagi terjawab.
Nenek? Jangan ditanya, dia sama sekali tidak peduli. Etan juga tidak mau membuat masalah ini semakin panas hanya karena meminta penjelasan dari ibunya. Yang Etan khawatirkan sekarang adalah pendidikan putrinya. Reva tidak dapat masuk ke sekolah selama dua sampai tiga minggu ke depan sebelum lukanya benar-benar sembuh.
“Sayang,” Etan muncul dari balik pintu. Pria itu melangkah masuk, mengecek keadaan putrinya secara rutin.
“Kenapa, Pa?” Reva menoleh, sudah tahu Etan hanya memastikannya masih hidup dan tidak merasa sakit.
“Kalau sakit bilang, ya. Panggil Papa.”
Reva terkekeh geli sambil mengangguk. “Reva gak panggil pun Papa tetap datang sepuluh menit sekali.”
Etan tak bisa ikut tersenyum seperti halnya Reva. Dia benar-benar merasa bersalah. “Papa takut kamu ngerasa gak enak ... sakit.”
Reva tersenyum hangat, mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Dia akan selalu baik-baik saja. Reva akan berusaha untuk tidak membuat khawatir siapa-siapa.
“Oh, itu. Ada teman kamu.”
“Teman?”
“Fix.”
“Fix?” Reva melirik jam dinding di kamarnya. Waktu bahkan belum menunjukkan bel pulang sekolah, jam makan siang saja belum.
Ah, apa dia ada keperluan di sekitar sini? Karena cukup mengesankan jika cowok itu kemari tanpa keperluan penting, mengingat bagaimana waktu pertama kali berkunjung dia banyak menggerutu.
“Memangnya dia gak sekolah, Pa?” tanya Reva sembari mendekati sisi kasur. Dia bangun, duduk di pinggiran.
“Katanya mau ada resital di Gedung Pandana. Jadi sekalian mampir pas tahu kamu sakit. Papa suruh ke sini saja atau gimana?”
“Reva aja yang turun.”
“Ya udah.” Etan mengangguk, bernapas lega karena kalaupun Reva mengiyakan dia yang akan meralat ucapannya. “Hati-hati, ya. Papa gak akan ganggu.”
Reva melirik papanya sambil tersenyum. Tahu jelas gerak-gerik Etan. Jika Etan mengatakannya, berarti pria itu memang berniat melakukannya. Hanya saja agar Reva tak merasa curiga, dia malah membocorkannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks to Fix | Revisi
Roman pour Adolescents| Fiki UN1TY | Dalam proses revisi 5 Desember "Aku adalah ceritamu yang telah lama usai." Reva meletakkan penanya di dalam saku, menutup buku diary miliknya dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa jelaskan bagaimana. Lembar terakhir yang dia gunak...