Yogyakarta ....
Kota yang ingin Freya Weningsari hindari. Namun, gadis itu harus mau menetap karena dia mendapat misi menjadi pemimpin di d'Amore hotel. Di hotel itu, dia bertemu dan jatuh cinta dengan David Bagaskara. Mereka saling bersaing ... tap...
"Freya, selamat ya! Mama bangga sekali kamu bisa lulus dengan predikat cumlaude."
Freya melipat bibir menyembunyikan senyum kala mendengar pujian Mama Rani. Tangannya mempermainkan anting bulat yang menggantung cantik di telinga.
"Kamu minta hadiah apa, Fre?" tanya Papa Antoinne yang kini duduk di sofa bersamak kulit sapi warna cokelat itu.
Freya menggigit sudut bibir. Baginya, bisa membahagiakan Mama Rani dan Papa Antoinne yang menjadi orang tua angkatnya itu adalah salah satu kewajibannya membalas budi untuk sebuah kehidupan yang nyaman.
"Terserah Papa aja. Tapi kalau bisa saya ingin bekerja di kantor pusat, agar bisa deket sama Mama dan adik-adik."
Papa Antoinne terkekeh keras. Wajah Caucasoid bermata biru itu menatap Freya sambil mengangguk-angguk senang. Walau Freya putri angkatnya, tapi gadis itu tidak pernah mengecewakan. Prestasi gemilang selalu dicapai oleh Freya.
"Ehm, bagaimana kalau kamu menjadi General Manager di D'Amore Hotel Yogya?"
Freya menelan ludah kasar. D'Amore Hotel Yogyakarta merupakan hotel yang dibeli oleh Livian Group lima tahun lalu. Hotel itu sering berpindah kepemilikan karena rating yang kurang bagus.
Melihat ekspresi Freya yang kurang nyaman, Papa Antoinne melanjutkan bicaranya. "Kamu tahu bukan yang terjadi di sana? Manajemen amburadul. Sudah berganti orang yang memimpin pun tak mampu membenahi sistem yang sudah bobrok. Papa yakin bila kamu yang memimpin D'Amore, kamu pasti memperbaikinya."
Freya mendesah kasar dengan bibir terkunci. Sebenarnya dia enggan pergi ke Yogyakarta karena kenangan pahit masa lalunya.
"Freya, nanti bila kamu berhasil, Papa akan mengabulkan permintaanmu. Kamu akan menjadi direktur keuangan mengganti Bu Amra yang sebentar lagi akan pensiun." Papa Antoinne menumpukan kaki kanan di paha kiri seraya mengelus dagu licinnya dengan alis kiri yang naik ke atas. Lelaki paruh baya itu selalu memberikan tantangan yang biasanya disambut Freya dengan antusias.
Namun, Freya masih membisu. Alisnya mengerut dan bibirnya mengerucut. Haruskah kali ini dia menolak tantangan Papa Antoinne? Ah, tidak ada kamus dalam hidup Freya takut dengan tantangan.
"Baik, Pa! Akan Freya ambil tantangan Papa!"
Papa Antoinne tersenyum miring penuh kepuasan karena selalu bisa melihat pancaran sorot mata yang penuh semangat.
"Papa tunggu kamu bergabung di kantor pusat, Putriku!"
***
Ya, di sinilah Freya sekarang. Di sebuah ruangan dengan warna interior yang didominasi warna cokelat muda. Gadis berambut lurus yang dikucir ekor kuda itu sudah berkutat dengan berkas-berkas yang bertumpuk di mejanya.
Dengan kacamata bacanya, ia mengoreksi setiap angka yang tertoreh di lembaran kertas. Otaknya secara otomatis mengkalkulasi angka-angka yang bernilai ratusan juta hingga milyaran.
Alis Freya mengernyit kala melihat hal yang janggal. Sambil bergumam tak jelas, dia meraih gagang intercom dan menekan angka dua hingga nada panggil terdengar.
Belum sempat orang yang dihubungi terdengar suaranya, Freya langsung menyahut, "Pak Mardi, segera ke ruangan saya! Nggak pakai lama!"
Tanpa basa basi, Freya memberikan titah absolute kepada seorang karyawan yang sudah mengabdi di hotel itu selama satu dasawarsa lebih.
Begitu perintah meluncur dari bibir tipisnya, gagang interkom diletakkan dengan kasar. Freya menggeram dengan wajah kusut. Baru sehari di sini, dan membuka data laporan per departemen, kepalanya langsung cenat cenut.
Ah, pantas saja Papa Antoinne pusing menghadapi hotel ini! Mau diganti siapa pun top manajernya tapi kalau akar masalahnya tidak ditemukan tetap saja rating hotel ini akan jalan di tempat, bahkan jatuh tergilas dengan Budget Hotel yang semakin menjamur.
Sejurus kemudian ketukan pintu ruangan yang cukup luas untuk ditempati oleh Freya seorang diri itu menggaung keras. Dia yakin lelaki bernama Mardiyono itu yang mendatanginya.
"Masuk!"
Derik pintu jati cokelat tua terdengar dan menguak seorang lelaki yang kemudian masuk dengan tergopoh. Lelaki hampir separuh abad itu hendak duduk begitu saja, tetapi gerakannya tertahan karena suara lantang Freya.
"Siapa yang menyuruh anda duduk? Saya belum mempersilakan! Jangan dikira saya lebih muda, lantas anda lupa dengan tata krama! Di sini saya atasan anda! Mengerti?"
Pantat Pak Mardi yang masih mengambang itu urung mendarat di kursi kerja yang empuk. Jakun di lehernya naik turun, dengan pelipis yang mulai merembeskan peluh tipis, kala matanya melihat halaman laporan internal yang selama ini tersimpan rapi di ruang arsip dan tak seorang pun berani menjamah.
💕Dee_ane💕
Yuhuu, kenalan dulu sama Si Cantik Freya yang suka tantangan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.