7. Penyangkalan

764 164 9
                                    

Hai, Deers. Freya datang lagi. Seuprit ya per partnya. Moga tetep demen aja deh. Jangan lupa, klik bintang dan vote. Buat yang belum follow, buruan klik 'ikuti'.  Makasih udah mendukung cerita ini.

💕💕💕

Freya tergagap kala melihat Satria berjalan ke arahnya. Dia mengerjap dan gaun motif bunga yang dipegang Freya terlepas dari pegangan. Rona mukanya memudar seiring jarak mereka yang terkikis.

"Bu Freya kok kaya lihat hantu gitu sih?" Satria tersenyum seraya membungkuk untuk mengambil gaun yang terjatuh.

Freya membalas senyum Satria dengan tarikan bibir tanggung. Otaknya masih berputar untuk merangkai jawaban yang pas atas pertanyaan bawahannya yang terkenal perhatian, sementara tangannya menerima gaun yang diulurkan lelaki bertubuh jangkung itu.

Alis Satria terangkat. Bola matanya bergulir bergantian dari Freya dan ke Ibu. 

Tenggorokan Freya tiba-tiba terasa kering dan tersekat. Kata-kata yang hendak digetarkan lidah hanya sampai di ambang mulut enggan keluar. 

"Ini teman kerjanya, Mbak Freya? Kenalkan saya pengasuhnya Mbak Freya. Ini … Mbak Freya malah maksa mau beliin gaun."

Mata Freya membulat. Tangannya mencengkeram gantungan gaun yang dia pegang. 

"Wah, Bu Freya galak-galak perhatian banget sama pengasuhnya. Ya udah, sekecake (selamat menikmati) yang berbelanja." Satria membungkuk dengan sopan, sebelum berbalik untuk meneruskan perjalanannya.

Sementara itu, Freya masih berdiri mematung di tempatnya. Lidahnya kelu dengan mata memerah. Cengkeraman erat tangannya pada gantungan baju, membuat lengannya bergetar.

Ibu menoleh menatap Freya yang menggigit bibir. Wanita itu menepuk pundak putrinya dan mengambil alih gaun dari tangan Freya.

"Ibu coba, ya?" Suara Ibu bergetar. 

Freya hanya diam, membiarkan Ibu berlalu sendiri menuju ke ruang pas. Saat mengetahui pandangannya mulai mengabur, Freya menghela panjang lalu mendongakkan kepala sejenak. Tidak! Air mata itu tidak boleh keluar walau hatinya bergemuruh kencang karena membiarkan kebohongan terlontar dari mulut Ibu untuk melindungi reputasinya. 

Freya membalikkan badan mengamati punggung kurus yang semakin renta itu berjalan menjauh. 

"Ibu … maaf!" gumam Freya sambil mencengkeram kain celana pendek di samping paha.

***

Setelah peristiwa pertemuannya dengan Satria, Freya hanya membisu saat makan siang di foodcourt mall. Bahkan saat makanan disajikan Freya hanya menunduk dan mengais-ngais nasi tanpa berniat menyuapkan ke dalam mulut.

"Nduk, ono opo kok kamu kelihatan murung?" Akhirnya Ibu angkat suara.

Freya menengadah. Ia tersenyum tipis sembari mempermainkan anting panjangnya dengam tangan kiri seolah apa yang ia lakukan mampu menghapus gundah di hati.

"Bu … Freya anak durhaka ya?" tanya Freya lirih.

Ibu mengernyit, seolah tak paham maksud pembicaraan sang putri. Namun, Freya tahu, Ibu tidak ingin membuatnya merasa bersalah. Dan sikap wanita paruh baya itu, justru mencabik hati Freya.

"Kamu itu bicara apa, to?" Logat Jawa  yang medok meluncur dari bibir tipis yang diduplikasi Freya.

Freya berdecak. Ia meletakkan sendoknya hingga denting kasar terdengar keras. "Bu, mau sampai kapan kita begini?"

"Fre, bukannya kamu menginginkan bisa menduduki jabatan direksi di kantor pusat? Itu artinya kamu harus melewati posisi General Manager ini dengan mulus." Ibu mengulurkan kedua tangannya dan menangkup tangannya. Kedua mata yang dikelilingi guratan garis karena termakan usia itu menatapnya teduh.

Freya melipat bibir. Dia memalingkan muka sejenak. Sungguh, bila ditanya, Freya sejujurnya tidak ingin melepaskan segala kenyamanan dan kemewahan yang selalu diberikan oleh Mama Rani dan Papa Antoinne. Walau hanya anak angkat tetapi ia dilimpahi kasih sayang sebuah keluarga utuh yang sangat ia rindukan. Bahkan anak-anak Papa Antoine pun bersikap baik padanya. 

"Bu …." Mata Freya kembali terasa pedas. Dada berdesir nyeri. "Freya bingung. Di sisi lain, Freya takut jadi anak durhaka … tapi …."

Freya tak mampu berkata-kata. Rasa bersalah menghimpit jiwa yang merana. Namun, Ibu justru tersenyum.

"Ibu rela, Nduk. Demi kamu, Ibu rela harus berpisah. Ibu nggak pengin jadi penghambat karier cemerlangmu." Suara Ibu lambat laun menghilang. Wanita itu menggigit sudut bibir dengan mata berkaca-kaca. "Maafkan Ibu karena nggak bisa memberikan yang terbaik untukmu. Hanya ini yang bisa Ibu lakukan demi kebahagiaanmu, Nduk Cah Ayu."

💕Dee_ane💕

💕Dee_ane💕

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Paralel (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang