31. Amplop Cokelat

442 122 15
                                    

Hallo, Deers! Makasih udah ngikutin cerita ini. Maaf baru update, karena aku ngantuk banget Rabu kemarin. Semoga terhibur yak. Jangan lupa jejak cintanya biar d'Amore semakin ramai.

💕💕💕

Hari ini waktu seolah merayap seperti siput kelelahan berlari. Berulang kali Freya melirik ke arah jam meja dan mendapati seolah jarum enggan berputar.

Freya kali ini melepas kaca mata bacanya dan meletakkan di atas meja sebelah laptop. Dia mengempaskan punggungnya di sandaran kursi sambil memijat pangkal hidungnya.

Belum ada lima menit, bola mata Freya kembali bergulir ke kiri. Jarum pendek sudah berada di antara angka empat dan lima, sementara jarum panjang seolah enggan berpindah melampaui angka enam. 

Namun, Freya akhirnya memutuskan membereskan barang-barang setelah memastikan dia sudah menuntaskan pekerjaannya. Sebelum keluar dari ruangan, Freya mengambil tas dan goodie bag berisi bekal serta paper bag yang memuat sweater yang sudah dia cuci bersih. Niat hati, Freya memang ingin mengembalikan sweater itu pada sang pemilik. Dia tidak ingin berhutang budi kepada laki-laki yang suka senyum-senyum sendiri.

Saat masuk ke dalam lift, Freya kembali dilanda kegalauan. Haruskah dia menemui David? Namun, wajah berahang tegas yang penuh percaya diri dan tidak punya malu melontarkan gombalan receh itu sudah terngiang-ngiang di kepala. Freya menggeleng, menghalau gambaran David di otaknya. Jari yang sudah berada di tombol dua akhirnya beralih ke angka satu. 

Freya menggenggam erat bawaannya. Dia memutuskan menghindari laki-laki perayu itu. Dia tidak ingin terjebak. Lagipula, dia tidak suka berdekatan dengan laki-laki. Baginya laki-laki adalah makhluk yang membuat susah kaum Hawa. Seperti bapaknya … seperti lelaki itu!

Namun, saat bilik kecil berdinding kaca itu berdenting, dan pintunya bergeser menguak suasana lobi yang sepi, kaki Freya terpaku di tempatnya. Dia enggan melangkah dan tangannya justru terangkat. Jari lentik itu menekan angka dua hingga pintu tertutup kembali.

Freya menggigit sudut bibir, sambil memandang kosong pintu lift yang memantulkan bayangan dirinya. Jantungnya seolah ingin mendobrak rusuk, hingga napas kembang kempis.

Pintu lift akhirnya berdenting kembali. Derak lempeng logam yang bergeser menguak suasana lorong sepi di depan bar hotel d’Amore. Kaki Freya mulai melangkah, walau nalarnya menjerit agar tak terpancing omongan David. Dan kini ia sudah sampai di ambang pintu depan bar.

Gyan menoleh, diikuti oleh David yang sudah
duduk di depannya. 

“Freya!" Senyum lebar terukir di wajah David yang saat ini mengenakan kemeja hijau pastel. Tangannya melambai seolah menyambut kedatangan teman lama dengan keramahan yang tulus.

Freya melangkah dengan canggung. Dia berdeham, sementara tangan kanan yang mengepal menutupi bibir yang mengerucut menahan senyum. Dia tersenyum miris menyadari pilihannya kembali ke lantai dua dan sekarang berjalan menuju bar. Sementara itu, tatapannya mengedar tak tentu arah, enggan membalas pandangan jenaka yang membuat hatinya lumer.

"Nggak usah teriak-teriak! Aku nggak budeg!" Freya masih membuang muka begitu berada di depan David.

Pandangan David masih tertuju pada Freya. Bibir merah itu ikut mengulum senyum kala melihat Freya yang salah tingkah. 

Melihat David yang hanya senyum-senyum sendiri, Freya menyesal memilih naik lagi ke lantai dua. Seolah dia memang mengikuti kemauan David. 

"Nih! Sweaternya!" Paper bag cokelat itu disodorkan di depan wajah David. Ucapan ketus Freya sebenarnya menyembunyikan debaran jantungnya yang tak terkendali. 

"Lah, kan itu hadiah persahabatan kita. Hadiah pantang dikembalikan." David menurunkan tangan Freya yang terangkat lurus. Tangan kasar David menyapu tangan berjari lentik Freya yang lembut.

Paralel (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang