Yogyakarta ....
Kota yang ingin Freya Weningsari hindari. Namun, gadis itu harus mau menetap karena dia mendapat misi menjadi pemimpin di d'Amore hotel. Di hotel itu, dia bertemu dan jatuh cinta dengan David Bagaskara. Mereka saling bersaing ... tap...
Hai, Deers! Selamat berhari Minggu. Semoga selalu terhibur dengan ceritaku😍 Jangan lupa vote n komen ya.
💕💕💕
Freya mencengkeram handel pintu saat suara Ibu mengalun di liang pendengarannya. Ibu benar, menjadi general manajer tidaklah mudah. Terlalu banyak masalah menumpuk karena persekongkolan yang membobrokkan sistem. Kebiasaan salah dibenarkan, sedang yang benar justru disalahkan. Siapapun yang menjadi top manajernya pasti akan pusing.
Sesudah menghirup udara panjang, Freya berbalik. "Ibu nggak perlu cemas. Freya pasti akan bisa bertahan. Setelah itu, Freya akan membawa Ibu ke Surabaya."
"Apa harus kamu seambisius itu, Fre? Ibu kasihan kamu nggak bisa menikmati hidupmu." Mata Ibu menyorotkan kilat sendu.
"Bu, sejak kejadian beberapa tahun lalu, Freya nggak berhak menikmati hidup. Freya harus berjuang agar Freya nggak lagi diremehkan dan dibully sebagai anak penjahat!" tandas Freya dengan keras hingga pembuluh lehernya menonjol.
Ibu terkesiap. Tanpa Freya meninggikan suara, tentu Ibu masih mampu mendengarnya dengan jelas.
"Maaf, Nduk! Apa sebaiknya Ibu ... Ibu menghilang?" Suara Ibu bergetar dengan mata memerah. Ekspresinya tak berdaya menghadapi Freya yang meradang.
Freya mendengkus keras. "Tolong, tolong jangan bilang begitu. Itu ... itu membuat Fre merasa menjadi anak durhaka! Apa yang Freya lakukan ini untuk Ibu! Agar membuat Ibu bangga pada putri yang mengingkari wanita yang melahirkannya!"
Freya berbalik dengan dada yang berkecamuk. Pikirannya semakin semrawut. Kepalanya berdenyut karena pengaruh alkohol yang bukannya bisa membuat tenang dan ringan otaknya, tetapi justru membuat kusut perasaannya. Terlebih saat melihat mimik Ibu yang terlihat pasrah.
Freya mengempaskan badan di atas ranjang pegas yang memantulkan badannya naik turun. Entah sampai kapan Freya akan menyembunyikan rahasia besar keluarganya. Kembali ke Yogyakarta, tentu saja resiko tentang masa lalunya bisa saja terkuak.
Freya menggeleng. Dia tidak membayangkan akan jadi apa hidupnya bila semuanya terbongkar sebelum waktunya. Sebelum ia bisa membuktikan kemampuannya, sehingga latar belakangnya tidak mempengaruhi penilaian orang lain.
***
Seperti biasa Freya hanyut dengan aktivitasnya pada keesokan harinya. Mulai saat dia masuk ke lobi hotel, Freya sudah melakukan supervisi di bagian front office. Dia ingin tahu apakah Murni, manajer front office hotel itu, sudah menindaklanjuti hasil meeting yang lalu.
Freya memilih duduk di salah satu sudut lobi, mengamati dua perempuan berseragam dengan logo hotel dan name tag di dada yang berdiri di balik meja resepsionis sedang melayani tamu.
Kali ini Sekar, salah satu karyawan yang ia tegur langsung, tidak melakukan kesalahan. Beruntung lelaki berhidung mancung dan berkulit kuning langsat itu tampak tidak menyulitkannya sehingga sepertinya Sekar bisa melayaninya dengan baik.
Melihat di bagian resepsionis semua berjalan mulus, Freya bangkit dari duduknya. Namun, dia tak langsung naik ke ruangannya. Freya memilih menuju ke ruangan manajer front office.
Freya masuk ke ruangan yang belum dihuni oleh pemiliknya. Sesuai tebakannya, ruangan itu masih kosong. Begitu menghampiri meja, jemari lentik menyapu permukaan kaca meja. Dia menggosokkan kedua ujung jari yang mengusap debu, dan menatap nanar ukiran garis di meja sebagai tanda bahwa meja itu dipenuhi debu tebal yang melekat. Lagi-lagi ia menggelengkan kepala. Kenapa bisa meja kaca ini begitu kotor seolah tak pernah dijamah. Freya mengetukkan jari di atas kaca hingga menimbulkan suara beraturan. Matanya bergulir dari kiri ke kanan, mengawasi setiap sudut ruangan yang selama dua kali Freya masuk, ia tak pernah mendapati pemiliknya.
Freya duduk di kursi di belakang meja besar untuk menanti pemilik ruangan. Namun, selama lima belas menit waktu bergulir, Freya tak juga mendapati penampakan wanita yang berwajah keibuan itu. Karena tidak sabar lagi, Freya akhirnya meraih gagang interkom, dan menekan nomor tiga untuk menghubungi manajer HRD.
"Selamat pagi, dengan bagian HRD." Nada ramah terdengar dari speaker gagang interkom.
"Ini Bu Freya!" sahut Freya datar. Wajahnya terlihat dingin, tanpa ekspresi.
"Ah, ya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Suara penerima telepon itu tiba-tiba terdengar tergagap.
"Apakah ada izin tidak masuk dari manajer front office?'
"Ti-tidak, Bu."
Freya mengembuskan napas kasar. Pandangannya tertuju pada foto seorang perempuan muda dengan putranya dalam bingkai kayu hitam yang terletak di atas meja. "Pecat manajer front office, dan segera cari ganti yang lebih mumpuni."
💕Dee_ane💕
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.