Hai, Deers! Nggak kerasa udah malam Minggu lagi. Senengnya! Buat kalian yang gabut, Freya bakalan menemani kalian lagi. Sayangnya, kemarin sepi banget sih komennya😭 Boleh donasi komen dunk. Jangan lupa juga klik bintangnya ya.
💕💕💕
Freya bersyukur lelaki itu telah lenyap dari hadapannya. Setidaknya, dia tidak perlu berdebar atau salah tingkah menghadapi pemuda yang selalu tersenyum dan memandangnya dengan intens.
Mungkin lelaki itu paham, bahwa Freya benar-benar tidak nyaman berada di dekatnya sehingga memilih menyingkir. Ya, siapa yang sudi berdekatan dengan gadis judes yang bibir tipisnya tajam seperti silet hingga mampu mencabik perasaan lawan bicaranya?
Freya mendesah. Bola matanya bergulir ke arah meja yang masih terdapat gelas bening yang isinya sudah tandas. Tak ada jejak lain dari pemuda itu. Tisu pun bahkan tak ada. Menurut Freya, lebih baik begitu. Berdekatan dengan laki-laki memang membuat jantungnya bekerja dengan keras karena diliputi beragam perasaan yang ujung-ujungnya akan membangkitkan kenangan lama yang telah terkubur.
"Bu, silakan diminum." Sekali lagi Freya terlonjak karena suara Lavina.
Freya mengerutkan alis saat melihat gelas yang disodorkan oleh Lavina. "Aku nggak pesen ini …" Freya melirik name tag dada bartender perempuan itu. "Lavina."
Lavina meringis. "Ini cocktail non alkohol traktiran laki-laki yang tadi duduk di situ, Bu."
Lavina menunjuk ke arah bangku dengan gelas kosong yang masih berdiri di atas meja.
"Aku nggak terima." Freya mendorong gelas cocktail berisi cairan pelangi yang cukup mampu membuatnya menelan ludah kasar. "Ambilkan aku sampanye saja."
Lavina melongo. "Ke-kenapa, Bu?"
"Aku nggak pernah menerima traktiran! Jadi, tolong singkiran gelas ini dan berikan pesananku!" tandas Freya.
Mau tidak mau, Lavina mengambil kembali gelas cocktail non alkohol yang masih penuh itu. Dia pun berlalu dari hadapan Freya yang mendengkus keras.
***
Begitu membuka pintu apartemen, harum rempah yang diracik dengan takaran pas menguar di seluruh apartemen. Freya melepas sepatu dan meletakkan di rak sepatu di samping pintu depan. Dia menurunkan sandal rumah, memakainya, lalu berjalan menuju dapur kecil.
"Ibu masak apa?" Freya memeluk Ibu dari belakang.
Wanita tua itu terlonjak karena rengkuhan sang putri.
"Kamu udah pulang? Kok Ibu nggak dengar?" Ibu terpaksa tidak mengurai pelukan Freya karena harus mengangkat kerupuk udang yang sedang digorengnya.
Embusan napas Freya terdengar keras. Benturan di sekitar kepala samping Ibu yang terjadi beberapa waktu lalu, rupanya membawa efek berkurangnya pendengaran Ibu. Freya baru menyadari setelah beberapa lama mereka tinggal bersama. Setiap kali Freya pulang, Ibu tak mendengarnya. Atau bila menonton televisi, pasti volume suaranya akan menggaung di seluruh ruangan apartemen.
Freya semakin mengeratkan pelukan, seolah takut kehilangan Ibu. "Fre sayang Ibu. Maafkan Fre, Bu."
Ibu menunduk. Mengamati jemari lentik yang saling bertaut di pinggangnya. Setelah meletakkan saringan yang berisi tumpukan krupuk udang kecil yang sudah digoreng di atas mangkok, Ibu mematikan kompor.
Wanita itu berusaha mengurai pelukan putrinya. Namun, Freya enggan melepasnya. Dia terlanjur nyaman merengkuh Ibu, sembari menghirup dalam-dalam aroma manis yang memabukkan.
"Sudah berapa kali Ibu bilang kalau kamu jangan minum minuman haram itu lagi! Kamu mabuk, Fre!"
Freya menggeleng, tak menyetujui ucapan sang ibu. "Nggak, Bu. Freya mabuk karena feromon Ibu yang selalu bisa membuat Freya mabuk dan terhipnotis."
Ibu terkekeh. Jelas dia tahu betul putrinya mabuk karena setiap kali berbicara, aroma sampanye yang menguar dari mulutnya begitu tajam.
Tangan Ibu masih berusaha melonggarkan pinggang yang direngkuh Freya. Begitu kaitan tangan Freya terurai, Ibu berbalik, dan menghadapi gadis yang matanya memerah. Seketika Ibu berdecak. Mata yang membara itu pasti pengaruh alkohol dan Ibu sangat tidak suka bila melihat putrinya mabuk.
"Kamu kenapa, Ngger? Nggak biasanya pulang mabuk begini?" Tangan Ibu terangkat, menyapu anak rambut yang lepas dari kucirannya ke belakang telinga.
Freya meringis memperlihatkan gigi putih yang berjajar rapi. Dia menangkup tangan kanan Ibu sambil menggeleng.
'Nggak pa-pa, Bu." Kini cengiran Freya berubah menjadi senyuman lebar. "Ibu masak apa? Fre lapar."
Ibu mendesah. Freya selalu menutup diri, dan akan sulit baginya untuk mengorek kedalaman hati sang putri. "Ibu masak tongseng sapi kesukaanmu. Mandi dulu gih. Habis itu makan."
Freya mengangguk, kemudian dia berbalik untuk memasuki kamarnya.
"Fre!" panggil Ibu ketika ia hendak menurunkan gagang pintu kamar. Freya berhenti, tapi tidak gerakannya berbalik tertahan, saat Ibu melanjutkan kalimatnya.
"Kalau memang terlalu sulit menjadi general manajer, sebaiknya jangan dipaksakan."
💕Dee_ane💕
![](https://img.wattpad.com/cover/286868894-288-k252386.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paralel (Completed)
Chick-LitYogyakarta .... Kota yang ingin Freya Weningsari hindari. Namun, gadis itu harus mau menetap karena dia mendapat misi menjadi pemimpin di d'Amore hotel. Di hotel itu, dia bertemu dan jatuh cinta dengan David Bagaskara. Mereka saling bersaing ... tap...