35. Rayuan Maut

634 124 16
                                    

Lantai kamar Freya dipenuhi tisu yang berserakan di lantai. Bulir bening yang enggan dibendung itu terus mengucur membasahi pipinya. Semangat Freya menguap saat beberapa hari lalu dia dipanggil kantor pusat dan terancam hendak diturunkan jabatannya menjadi manajer front office di hotel lain yang masih dalam naungan Livian Group. 

Selama beberapa jam, isakan terus saja meluncur dari bibir tipis Freya. Malam Minggu ini dia memilih mengurung diri. Bahkan penghiburan Ibu pun tak mempan melambungkan semangatnya. Dia hanya ingin sendiri malam ini. Melepas penat dan meraup semangat.

Suara bel apartemen menyusup di pendengaran Freya yang berselubung selimut. Dia tidak ingin beranjak dan membiarkan raungan bel kembali terdengar. Freya pikir, pasti kurir paket yang mengantar belanjaan onlinenya. Namun, beberapa detik berikutnya, ketukan pintu kamar terdengar diikuti suara Ibu.

"Nduk, ada temanmu datang." 

Di balik selimut, alis Freya mengerut. Dia merasa tidak mempunyai teman dekat sehingga mereka harus saling mengunjungi. Namun, dia tetap menyibak kain yang menyelubunginya, dan duduk dengan mata bengkak.

“Siapa, Bu?” Suara sengau keluar dari bibir tipisnya. 

“Ora ngerti, Nduk. Piyayine ngganteng, gede dhuwur, kaya artis Korea itu loh. (Orangnya ganteng, tinggi besar).

Alis Freya mengerut. Satu wajah melintas di kepala. “Ngganteng, gede dhuwur, kaya artis Korea?” gumam Freya sambil menelengkan kepala. 

Saat otaknya bisa mencerna, Freya membeliak. Dia menutup mulut yang menganga lebar dengan kedua tangan. “Mas David?!”

Freya kembali mengempaskan tubuhnya ke ranjang empuk hingga tubuhnya terpantul naik turun. Selimut yang sudah turun ditarik kembali menutupi wajah. Dia menggeleng berulang. "Siapa lagi cowok yangnkaya artis Korea selain dia? Gila! Ngapain dia ke sini?"

Namun, Freya teringat bahwa dia sama sekali tak pernah memberikan alamat kepada David. Jangankan David, karyawan hotel saja hanya beberapa yang tahu.

"Nduk, Ibu akan persilakan masuk."

Freya mengerjap. Dia meremas selimut. Bisa-bisanya Ibu mempersilakan masuk David tanpa bertanya padanya lebih dulu. Tapi, entah kenapa gadis itu langsung meloncat menghampiri meja rias. Dia berdiri membungkuk di depan cermin sambil menepuk wajahnya yang sembab. 

“Ya Tuhan, mukaku!” Freya menyemburkan udara dengan kasar.  Wajah yang kusut dengan mata merah dan bengkak itu sangat ingin disembunyikan Freya dari orang lain. Dia memang menjaga image–nya di depan orang lain terlebih karyawannya, tapi akibat kejadian pemanggilan itu dia menjadi kecewa dengan dirinya karena tidak bisa menjalankan tugas yang diamanahkan padanya dengan baik. 

Freya mendengus. Dia duduk di kursi di depan meja riasnya dengan punggung melengkung. “Ngapain coba dia datang ke sini?” Dia melirik ke arah pintu yang tertutup seolah ingin melayangkan pandangan sengit pada David.

Freya memutar badan, duduk menghadap cermin rias. Dia kembali menepuk pipi seraya menarik bibir, lalu mengambil tisu yang ada di depan nakas yang berisi perlengkapan perawatan wajah dan make up. Walaupun dia sudah berusaha menyembunyikan air muka yang buram tetap saja mata merahnya masih menghiasi wajah.

Namun, tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Ibu? Mas David ketemu Ibu?”

Seketika jantungnya berdetak dengan kencang. Dia menggigit sudut bibir kiri. Batinnya terselip ketakutan dan kekhawatiran bagaimana kalau David tahu masa lalu Ibu dan dirinya. 

Mengetahui kecemasannya, Freya segera keluar dari kamar dengan wajah yang kusut setelah memulas bibirnya dengan lipstik agar tidak terlihat pucat. Dia sengaja memakai kacamata untuk menutupi mata yang sembab dan memerah. Begitu pintu terbuka, Freya bisa melihat David bercakap dengan Ibu yang sudah menyuguhkan secangkir teh melati yang harum.

Paralel (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang