37. Papa Antoinne

407 113 11
                                    

Hallo, Deers! Hari ini aku update lagi Paralel. Semoga kalian masih setia baca cerita ini. Oh, ya, jangan lupa vote, komen, n follow yak. Tengkyu.

💕Happy reading💕

"Makasih udah banyak dibantuin, ya, Pak," ucap Freya tulus saat mereka hendak kembali ke ruangan. Suara langkah atasan dan bawahan yang seirama, mengisyaratkan bahwa mereka seolah satu visi ingin memajukan hotel tempat mereka mengais rezeki.

Desta tersenyum, memandang wajah Freya yang sedikit lebih cerah setelah mendengar pengakuan dari sang manajer finance. "Seneng bisa membantu. Selama ini nggak ada yang berani menentang Pak Mardi. Kedatangan Bu Freya seolah memberi sedikit harapan. Ya, walau mungkin Bu Freya perlu sedikit meluweskan cara kepemimpinan."

Langkah Freya terhenti sebelum mereka berpisah jalan. Ucapan Desta yang blak-blakan diterimanya dengan lapang dada. Setidaknya, Freya mendapatkan satu pengikut setia yang akan membantunya menuntaskan misi berat meningkatkan rating d'Amore Hotel yang makin terpuruk.

"Pak, makasih untuk semuanya." Freya memberikan senyuman manis yang jarang dia tampilkan di depan karyawannya.

Desta memijat tengkuknya. Lelaki itu menarik bibir tanggung. "Santai, Bu."

Freya bisa bernapas lega begitu masuk ke ruangannya. Satu masalah setidaknya sudah terpecahkan. Kini langkah selanjutnya adalah menunggu Pak Mardi datang untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Namun, harapan Freya tidak kunjung terwujud. Bukannya Pak Mardi yang menghadapnya, melainkan sepucuk surat tertulis yang disampaikan oleh seorang kurir.

"Kurang ajar bener, Pak Mardi!" Kepalan tangan Freya memukul permukaan meja kaca hingga bergetar, usai membaca surat pengunduran diri Mardiyono. Dadanya naik turun dengan wajah yang memerah.

Bita yang berdiri di hadapan Freya tersentak dan mundur selangkah. Wajah sang GM yang penuh gurat murka itu membuat kuduknya bergidik. 

"Dasar pengecut! Bisa-bisanya dia melarikan diri! Jangan harap bisa lepas dari kuasa hukum Livian!" Rahang Freya mengerat. Seringai terbit di wajah tirusnya.

Di saat emosi Freya memuncak, derik pintu ruangan terbuka. Freya membeliak dan segera bangkit dari duduknya melihat lelaki jangkung berkulit pucat dan bermata biru masuk ke dalam ruangannya.

"Papa?" Freya berjalan cepat menghampiri lelaki yang menjadi figur ayahnya.

"Hallo, Freya?" Papa Antoinne menyambut tangan Freya yang menyalami dan mencium punggung tangannya.

"Papa kok nggak ngabari kalau mau ke sini?" 

"Mamamu yang memaksa Papa ke sini karena khawatir sama kamu." Dengan tangan besarnya, Papa Antoinne mengelus kepala Freya. "Berat ya, bekerja di sini?"

Batin Freya menghangat. Belaian tangan Papa Antoinne itu selalu bisa menenangkannya. Walau kadang Papa Antoinne bertangan baja dengan anak kandungnya sendiri, tetapi lelaki itu tidak pernah berbuat hal yang sama dengan Freya yang menjadi anak penurut.

Freya menggeleng, walau dalam hati dia membenarkan pertanyaan sang papa angkat. "Masih bisa ditolerir kok, Pa. Ayo, duduk dulu."

Freya mengulurkan tangannya, mempersilakan Papa Antoinne untuk duduk. "Bita, lanjutkan pekerjaanmu, ya?"

Bita mengangguk, lalu meninggalkan mereka. 

"Papa mau minum apa?" 

"Teh buatanmu, Fre." Papa Antoinne melepas jasnya dan menyampirkan ke sandaran punggung sofa. 

Seraya membuatkan teh kesukaan Papa Antoinne, Freya melirik ke arah lelaki itu. Gadis itu bisa menangkap raut lelah yang tergambar jelas di wajah yang sudah termakan usia itu. Dia merasa bersalah karena bukannya meringankan beban Papa Antoinne, tetapi justru menambah pikiran orang tua angkatnya.

Paralel (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang