50. Kenyataan

378 81 18
                                    

Hai, Deers! Aku lagi nggak enak body dan terpaksa bed rest lagi. Dari pada nganggur, aku update kisah David-Freya yak. Semoga terhibur! Oh, ya ... jangan lupa kasih jejak cintanya.

💕💕💕

Freya membaringkan badannya tengkurap dengan kasar di kasur pegas yang empuk. Badannya terpental-pental seperti suasana hatinya yang terombang-ambing. Freya merasa nasib sedang mempermainkannya. Diawali dengan masalah hotel yang membuatnya merasa kemampuannya hanya seujung kuku dari David, ditambah keraguan Freya terhadap hubungannya karena mengetahui bahwa mama David ternyata masih memegang prinsip orang Jawa kuno. Belum selesai dua masalah itu, kedatangan Ayah seolah ingin memperkeruh suasana.

Handphone Freya kembali berdering. Kali ini David berusaha meneleponnya. Namun, Freya enggan mengangkat. Dia merasa hubungannya seperti meniti tali tipis yang rentan putus. Sepertinya bukan ide baik saat dia menerima David menjadi kekasihnya. David seperti bintang di langit yang susah dijangkau. Kemampuannya, latar belakang keluarganya … semuanya membuat Freya sepertinya harus mundur karena tidak ingin larut dalam perasaan yang tak menentu. Sepertinya dia harus menerima takdir untuk dijodohkan. Seperti anak-anak Papa Antoinne yang sudah mempunyai jodoh masing-masing dari keluarga kolega bisnis.

Keesokan hari saat Freya bangun masih dengan baju yang sama dikenakannya kemarin, Ibu sudah tidak ada di situ.
Freya mendesah. Hatinya ngilu seperti tercabik sembilu. Ibu memilih Ayah yang sudah sering menyakiti mereka. Dan, pada akhirnya Freya merasa ditinggal sendiri. Freya tahu, dari dulu Ibu selalu mencintai Ayah dan menerima Ayah apapun keadaannya. Tapi, setelah Ayah berubah menjadi orang jahat yang mengacaukan kedamaian keluarga mereka, dia tak menyangka Ibu masih menaruh perasaan pada suaminya.

Freya keluar dari apartemen dengan perasaan yang lesu. Rasanya dia tidak ingin kemana-mana karena mood yang buruk. Namun, sesampainya di basement, dia menjumpai David yang sedang berdiri di samping mobil.

Freya menghentikan langkah. Dia menatap David yang menerbitkan senyum lebar.

"Hai, Fre!" David melambaikan tangan.

Freya melengos. Senyum itu selalu mampu membuat hatinya berdebar. Kharisma David tak pernah bisa diingkari oleh Freya.

David berjalan mendekati Freya. "Pakai mobilmu atau mobilku?"

"Kita berangkat sendiri-sendiri," tukas Freya ketus, berusaha menyembunyikan perasaannya.

"Freya … kamu marah sama aku gara-gara kejadian kemarin? Soriii, aku nggak akan ngulangin lagi." David memberikan muka memelas.

"Bapak David yang terhormat, sebaiknya kita tidak melakukan hal yang mengundang perhatian orang-orang di hotel. Saya tidak ingin ada rumor tak sedap di tempat kerja." Bibir tipis yang berpoles lip cream warna coral itu semakin menipis.

"Kamu membuatku sedih, Fre. Aku udah datang pagi-pagi mau jemput kamu. Masa kamu tolak gitu aja?"

Freya mendesah. Dia tidak memedulikan David dan berjalan begitu saja menuju mobilnya yang sudah terbuka kuncinya. Namun, saat Freya akan menarik handle pintu, David menutup kembali.

"Fre, please! Kamu kenapa sih? Aku salah apa?"

"Mas nggak salah apa-apa!" Suara Freya melengking tajam. "Aku cuma pengin sendiri dulu."

"Ya udah. Nanti sore kita bicara." David memilih mengalah daripada memicu pertengkaran yang tidak perlu.

Nyatanya, Freya justru menghindar. Setiap hari sebelum jam pulang dia sudah keluar dari ruangannya. Dia memilih membawa sisa pekerjaannya ke salah satu ruangan hotel, daripada harus bertemu dengan David untuk membicarakan hal yang dianggapnya tak perlu. Dia hanya akan berinteraksi dengan David di jam kerja sebagai seorang kolega. Tidak lebih.

Paralel (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang