Freya mengembuskan napas panjang begitu panggilan telepon berakhir. Dia memang berhasil meyakinkan Papa Antoinne. Tapi, belum tentu dewan direksi di kantor pusat masih mempercayainya.
Menaikkan rating untuk meraih kepercayaan konsumen adalah tugas utama Freya, demi meningkatkan keuntungan dari salah satu usaha perusahaan perhotelan yang didirikan oleh papa angkatnya. Tapi, masalah yang semakin menumpuk dan belum terselesaikan justru semakin kusut dan akan mengancam posisinya.
Freya harus segera menyelesaikan masalah ini. Dia segera menghubungi Pak Mardi untuk mendapat dukungan dari pihak manajemen hotel. Tidak mungkin Freya membereskan kekusutan ini sendiri. Namun, sudah lima menit dia mencoba menghubungi assisten general manajernya, Pak Mardi tidak kunjung menjawab panggilannya.
Tidak ingin menunggu lama, Freya kemudian memanggil Bita yang sibuk menjawab telepon dari beberapa media.
“Ya, Bu.” Bita langsung sigap menghadap. Wajahnya yang putih semakin terlihat seperti tembok ruangan Freya.
“Pak Mardi?” Freya duduk di kursi di balik meja kerjanya. Siku tangannya menumpu di permukaan meja kaca, sementara jari-jarinya memijat pangkal hidung mancung yang mulai berdenyut.
“Belum kelihatan, Bu.” Bita, sekretaris mudanya meremas-remas tangannya gelisah. Kericuhan di depan gedung hotel itu rupanya juga membuatnya nyalinya ciut.
Freya mendengkus keras. Matanya terpejam berusaha memfokuskan pikiran agar masalah besar ini segera teratasi.
“Apa ada manajer departemen yang ikut berdemo?” Sekarang Freya sudah memijat kedua pelipisnya dengan kedua jempol. Kepalanya benar-benar terasa berat sehingga lehernya pun tak mampu menyangga dengan baik.
Bita menggeleng. “Sepertinya tidak, Bu. Beberapa manajer menelepon saya untuk menanyakan apa yang terjadi.” Gadis muda berusia 25 tahun ini menjeda ucapan. Dia menggigit bibir takut salah berbicara. “Ehm, sepertinya ini berkaitan dengan …”
Freya langsung mendongak. Dia memperhatikan gerakan bibir Bita yang bergetar. Karena tak juga melanjutkan ucapannya, Freya memotong. “Dengan apa?”
Bibir Bita mengerucut. Namun, ekspresi penasaran Freya memaksanya membuka suara. “Dengan kasus Mbak Murni.”
Freya memutar bola mata. Tebakannya ternyata betul. Terlebih ada Dani dan beberapa karyawan yang Freya tahu dari bagian front office.
“Aku harus menghadapi mereka!”
“Ehm, Pak Desta sepertinya sudah membubarkan kerumunan
***
Freya akhirnya memanggil Dani dan Fito untuk menjadi perwakilan juru bicara para pendemo. Desta, sebagai manajer HRD menemani Freya untuk memediasi percakapan dengan pihak karyawan.
Wajah Freya yang kusut tak bisa disembunyikan lagi. Dia duduk di sofa ruangannya dengan bersedekap, menatap tajam dua orang karyawannya yang menurutnya pantas untuk dipecat karena sudah menjatuhkan citra hotel. Namun, kali ini Freya enggan gegabah. Dia harus memasang telinga lebih dulu untuk mencerna apa yang terjadi.
“Jadi, kenapa harus ada kerumunan di depan seperti itu?” Freya akhirnya membuka suara. Nada sinis terlontar dari bibir tipisnya.
“Hotel ini tidak pantas dipimpin oleh pemimpin arogan seperti anda, Bu Freya!” ujar Dani tanpa basa-basi.
Freya mendengkus. Matanya menyipit sengit. “Lantas, apa kalian juga pantas menjadi karyawan di sini?”
“Sekarang bagaimana bisa kami menjadi karyawan yang baik, bila pemimpin kami tidak memberikan teladan.” Fito, seorang resepsionis laki-laki berwajah tirus seperti aktor Korea itu menimpali. “Ibu di sini untuk memulihkan D’Amore yang terpuruk. Tetapi melihat cara Ibu memimpin yang arogan dan otoriter, saya yakin, hotel ini akan semakin remuk.”
![](https://img.wattpad.com/cover/286868894-288-k252386.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Paralel (Completed)
ChickLitYogyakarta .... Kota yang ingin Freya Weningsari hindari. Namun, gadis itu harus mau menetap karena dia mendapat misi menjadi pemimpin di d'Amore hotel. Di hotel itu, dia bertemu dan jatuh cinta dengan David Bagaskara. Mereka saling bersaing ... tap...