28. Problem

5.5K 823 56
                                    

*Play the song 👏

"BAJINGAN!"

Jeno tersentak kaget, hampir saja jantungnya turun bersinggungan dengan usus. Suasana rumah yang semula hening diisi oleh teriakan Seunggi yang menggema sampai keluar ruang kerjanya. Kemudian ada sesuatu yang terbanting ke lantai. Berkali-kali debum kencang itu bersuara, entah apa saja yang Seunggi buang dan lempar penuh amarah.

Jeno ragu. Haruskah ia menghampiri atau pura-pura tidak tahu dan melanjutkan studinya? Ia sedikit khawatir namun juga takut akan temperamen sang alpha.

Belum selesai memutuskan, Haechan membuka pintu kamarnya. Air mukanya panik dan pupilnya sedikit bergetar.

"Jen, Papa kenapa?" Tanyanya pelan.

"A-aku tidak tahu," jawab Jeno. Perlahan ia beranjak dari kursi belajar menghampiri saudara kembarnya. Bersama mereka mengendap keluar dan mengetuk ruang kerja satu-satunya alpha disana.

Tidak ada respon, tempat Seunggi menghabiskan sebagian besar waktunya itu sehening ruang hampa udara.

"Pa?" Panggil Jeno pelan. Lama menunggu akhirnya ia memberanikan diri memutar handle pintu kayu berkualitas tinggi itu.

Pintu yang berderit terbuka memperlihatkan beberapa map kuning tersebar berantakan di lantai. Tempat pulpen yang seharusnya menempel di meja pun tercabut dan pulpen besi yang seharusnya terletak di dalamnya pecah berkeping-keping.

"Aduh!" Pekik yang paling muda. Serakannya terinjak oleh kaki Haechan tanpa sengaja saat ia bergerak maju untuk melihat lebih jauh.

Serpihan kaca menyelimuti lantai. Sepertinya berasal dari gelas minum. Ada satu bingkai foto kosong yang pecah. Mengenai siapa foto yang seharusnya ada disana Jeno tidak berani berasumsi.

Tapi yang paling menyeramkan adalah sebuah macbook silver yang layarnya retak dan menghasilkan garis-garis hijau dan biru serta berdenging pelan. Beberapa keypadnya terlepas, tercecer di atas meja dan lantai. Cekung-cekung kecil dan baret tipis menghiasi seluruh permukaannya halusnya.

Jeno mengikuti satu per satu keping benda persegi kecil itu dan ia menemukan Seunggi menggenggam erat-erat stick golfnya. Bahunya naik turun dan nafasnya terengah-engah.

Tidak perlu diberitahu pun Haechan dan Jeno tahu Papa mereka tengah marah. Feromonnya mencekik dan menghimpit. Auranya panas seolah terbakar hebat, dipantulkan di antara dinding berisi pigura pajangan penghargaan-penghargaan yang diraihnya.

Jika dulu Seunggi selalu mengeluarkan feromonnya yang berbau pinus dan cedar, sejuk dan menenangkan, kini aromanya seperti kebakaran hutan.

Bahaya juga menyesakkan.

"Keluar!" Geram Seunggi.

Jeno meneguk ludah. Ia dan Haechan bertatapan sekilas namun tak beranjak pergi.

"Kubilang keluar!" Ulang Seunggi lebih keras. Hanya lirikan tajam yang terlihat dari wajahnya yang dipalingkan sedikit ke samping tapi mampu membuat Jeno dan Haechan gemetar ketakutan.

"Ada apa, Pa?" Lirih Jeno, "mungkin Haechan dan Jeno bisa bantu?"

"Omega tak berguna sepertimu tidak bisa membantu," cemooh Seunggi, "kecuali kau menjadi lacur yang memperdayai pesaingku."

"PA!" Hardik Haechan. Laki-laki itu rasa Seunggi sudah kehilangan kewarasannya. Bagaimana bisa menujukan kalimat seperti itu pada putranya? Semarah apapun Seunggi, Haechan tidak bisa menoleransinya.

Ia menggenggam erat pergelangan tangan Jeno. Bisa merasakan rasa sakit dan hina yang saudara kembarnya rasakan. Direndahkan oleh orang yang disayangi berkali lipat lebih menyakitkan dibanding orang asing yang tak tahu apa-apa tentangnya.

OMEGAISME || JAEMJENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang