part : 45

19.7K 1.2K 24
                                    

Manusia yang kuat hatinya ialah ia yang mampu mendengarkan dan mau membantu penderitaan orang lain, sementara dirinya sendiri sedang mengalami kesusahan.

-Happy reading all-

Setelah beberapa jam perjalanan, kini mobil sudah berhenti tanpa Anindya sadari, ia masih aring dengan ponsel barunya yang dibelikan Tahfiz ditengah perjalanan.

Jam sudah menunjukkan pukul 03.00 berarti sebentar lagi adzan ashar akan berkumandang.

Tak Anindya sadari, Tahfiz sedari tadi memperhatikannya yang senyum-senyum sendiri menatap ponselnya.

"Ekhem." Dehem Tahfiz mencoba menyadarkan Anindya.

"..." Masih tak ada sahutan dari sang empunya.

"Ekhem!" Dehem Tahfiz sekali lagi.

Akhirnya Anindya menoleh juga, melihat suaminya dengan muka datarnya, kini Anindya cengengesan dan menaruh ponsel di dashboard mobilnya.

"Udah sampe, Gus?" Tanya Anindya berbasa-basi.

"Menurut kamu?"

Anindya nyengir sembari menoleh ke sekitar. "Udah sampai."

"Tuh tau, ada apa sih ponselnya sampai kamu asik dan senyum-senyum sendiri?" Ucap Tahfiz melirik ponsel yang tadi Anindya taruh.

"Anindya download tik-tok, banyak banget video lucu-lucu tau." Ucap Anindya tersenyum riang.

"Ada orang ganteng loh disini, masa di anggurin." Tahfiz menaik turunkan alisnya.

"Pedeeeee."

"Yaudah sana lanjut Tik-tok an aja." ucap Tahfiz turun dari mobil meninggalkan Anindya.

"Eh-eh kok pergi? Gus Tahfiz tunggu Anindyaaaa." Teriak Anindya buru-buru lari mengejar suaminya.

"Masa cemburu sama ponsel sih." Gumam Anindya kesal.

"Tungguin Anindya, Gus. ya Allah.. maafin Anindya." Teriak Anindya terus mengejar suaminya.

Tahfiz menoleh tersenyum, ia pun lanjut meneruskan jalannya.

"Sabar Tahfiz.. Walaupun cemburu sama benda mati ngga papa, serius ngga papa." Batin Tahfiz berhenti di resepsionis hotel.

"Selamat datang kembali, pak." Ucap penjaga perempuan itu menunduk sopan.

Tahfiz hanya menganggukkan kepalanya dan menyapa semua pegawai-pegawainya.

Ya, memang hotel ini milik keluarga Athaya. Bahkan Tahfiz yang merancang segala macam aksesoris dan manik-manik yang tertempel di dinding hotel, agar pengunjung yang datang merasa ada kenyamanan tersendiri dan begitu khas.

"Huh-huh kesel tau, Gus." Anindya berdiri di samping suaminya sambil mengatur napasnya.

"Siapa yang suruh lari-lari?" Balas Tahfiz yang masih kesal.

"Adiknya lucu banget, Pak." Ucap perempuan di depan Anindya.

Anindya yang merasa disebut Adik tak terima, mau nyinyirin perempuan itu tapi suaminya udah nyelonong pergi begitu saja.

Anindya pun tak jadi nyinyir pada perempuan itu, beranjak mengikuti suami dibelakangnya dengan sedikit berlari, entah kenapa suaminya ini jalannya cepet banget padahal terlihat elegan dan pelan.

Mungkin karena tinggi sehingga langkah kakinya jadi panjang bak meteran buat ngukur baju.

Apa dayalah Anindya yang pendek dan kurus ini, berjalan sampingan suaminya aja masih lari-larian. Apalagi kakinya yang baru saja sembuh dan baru dibuka perbannya.

Sedikit melajukan langkah kakinya, Anindya jadi tak sengaja menyandung pot kecil yang menghalangi jalannya.

"Aduh, awss!" Anindya meringis karena lumayan sakit.

Tahfiz seketika berbalik badan dan terkejut menghampiri Anindya dengan perasaan khawatir.

"Mangkanya, jalan tuh hati-hati jangan ngeliatin ponsel terus, mana yang sakit?" Tanya Tahfiz perhatian namun masih saja menyangkut pautkan dengan ponsel.

Gapapa lah ya, yang penting udah peduli lagi, pikir Anindya.

"Awss!" Ringis Anindya karena Tahfiz menyentuh bagian yang kesandung tadi.

Tanpa basa-basi, Tahfiz menggendong Anindya ala bridal style menuju kamar yang ditujunya.

Setelah sampai, Tahfiz mengetik pin yang ada di pintu itu tanpa kesusahan karena tetap menggendong Anindya.

Dan menaruhnya di ranjang dengan pelan segera mengambil kotak p3k di laci nakas sebelahnya.

"Gus Tahfiz udah ngga marah kan?" Tanya Anindya polos sembari memposisikan tubuhnya nyaman.

Tahfiz menghela napasnya. "Saya ngga marah kok, cuma kesel aja sama kamu." Ucapnya sembari mengobati kaki Anindya yang tergores.

"Itu namanya sama aja, Gussss." Anindya ikutan kesel.

"Beda yaaa."

"Iya deh, semerdeka Gus Tahfiz aja." Balas Anindya tersenyum kepaksa.

"Nah, gini dong nurut, kalo kayak gini kamu bagaikan kalsium nitrogen titanium potassium." Ucap Tahfiz tersenyum gemas.

"Apaan coba pak Ustadz, jangan pake kode-kodean deh, Anindya ngga tau." Ujarnya.

"Kamu itu cantik." Perjelas Tahfiz.

Blushhh

Tahfiz pintar sekali melayangkan Anindya.

_________________

jalan-jalan beli motor
sambil minum es dodol

jangan lupa semua kompor
pada follow akun author

mwheee:)

Dijodohin With Gus | End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang