part : 59

16.3K 1K 94
                                    

Ketika kamu ikhlas menerima semua kekecewaan dalam hidup, maka Allah akan membayar tuntas kecewamu dengan beribu-ribu kebaikan.

-Happy reading all-

Setelah kejadian kecelakaan, Tahfiz dibawa oleh warga setempat menuju rumah sakit terdekat. Ia sekarang berada diruang ICU yang sekarang ditangani oleh beberapa dokter.

Keadaan Tahfiz lumayan parah, darah segar berceceran ditempat Tahfiz kecelakaan. Truk yang bertabrakan dengan mobil Tahfiz oleng berakhir jatuh ke dalam jurang.

Tidak ada yang disalahkan dalam kecelakaan ini. Ini musibah yang tak terduga sama sekali, syukuri saja apa yang udah ditakdirkan oleh sang maha pencipta, karena skenario yang dibuat pasti sangat luar biasa.

Umi dan Anindya duduk di kursi rumah sakit yang disediakan. Sedari tadi Anindya mencoba menahan air matanya yang hendak keluar, tetapi sekarang ia tak kuasa lagi menahan air matanya yang sudah meluncur duluan. Umi pun merangkul pundak menantunya agar bisa lebih tenang.

Sedangkan Abi berdiri sambil memejamkan matanya. Terlihat dari bibirnya yang bergerak pelan seperti sedang berdoa kepada sang pencipta agar menyelamatkan nyawa putranya. Hafiz juga berdiri, namun setelah beberapa menit ia duduk dilantai dan menelungkupkan kepalanya.

"Maafin aku, Bang. Karena aku telah berdoa agar Abang mendapatkan kesedihan. Andai saja aku nggak berdoa kayak gitu, mungkin nggak akan kejadian kayak gini." Dengan kepala masih menunduk Hafiz berucap lirih.

"Belajarlah untuk mengerti, Nak. bahwa segala sesuatu yang baik tidak akan Allah izinkan pergi kecuali akan diganti dengan yang lebih baik lagi." Ujar Abi menepuk pundak Hafiz. Beberapa detik setelahnya Hafiz mendongakkan kepalanya, ia sudah menceritakan semua tentangnya dan Anindya dulu.

"Bagaimana Bang Tahfiz, Abi..."

"Udah, Abangmu itu pasti ngerti dan ngga akan marah." Balas Abi dengan senyum yang meneduhkan.

"Jangan nangis terlalu lama ya, Nak. Kasihan janin yang ada dikandungan kamu juga sedih gimana?" Umi mencoba menenangkan.

"Hiks Umi... Mas Tahfiz---"

"Sttt... Udah ya, sekarang jangan nangis lagi." Umi menyeka air mata Anindya yang sudah meluncur kembali.

🍁🍁🍁

"Gimana, Dok? Keadaan anak saya bagaimana?" Tanya Umi dengan raut wajah yang khawatir.

"Maaf, Anda Siapanya pasien?"

"Saya ibunya, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?" Tanya Umi dengan tatapan penuh harap.

"Anak anda akan segera dipindahkan dari ruang ICU."

"Maksud Dokter apa?!" Tanya Anindya membelalakkan matanya.

Dokter menghela napas beratnya, mulutnya terasa kelu untuk berucap. Sulit, tetapi bagaimanapun itu ia harus memberitahukan nya, "Pasien akan segera kami pindahkan ke... kamar jenazah. Saya memohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Ucapnya begitu berat.

Anindya membelalakkan matanya. Kakinya seperti tidak ada tumpuan lagi, Anindya jatuh dan menangis sejadi-jadinya.

"Saya mewakili semua dari pihak rumah sakit memohon maaf sebesar-besarnya, kami hanya bisa berusaha atas kesembuhan pasien, kami tidak bisa melawan takdir sang maha pencipta." Kata dokter berat hati.

"Hiks! hiks! hiks! Gak mungkin mas Tahfiz meninggal, umi... Ngga mungkin!!!" Jerit Anindya histeris.

Umi merangkul Anindya, "Yang tenang dan selalu bersabar, Nak." Umi juga amat sedih dengan meninggalnya putra pertamanya, tapi ia harus bisa menguatkan menantunya yang sedang mengandung cucunya.

"Dokter jangan bercanda ya!!" Omel Anindya tak terima.

"Ini rumah sakit, Nak. sttt... jangan teriak-teriak takutnya mengganggu pasien yang lain yaa." Ujar Umi memeluk Anindya dari samping.

"Hafiz... Umi minta tolong kabarkan ini kepada orang tua istri Abang kamu ya, Nak." Pinta Umi.

Hafiz mendongak ke arah Uminya. "Iya Umi, Hafiz pamit telpon dulu." Balasnya sambil berdiri dan mulai berjalan menjauh.

"Assalamualaikum, Tante." Salam Hafiz begitu telponnya menyambung.

"Waalaikumsalam, ini Hafiz kan yah?" Tanya Nisa dari sana.

"Iya, Tante. Ini Hafiz adiknya Bang Tahfiz."

"Tumben banget nelpon Tante, ada apa nak?"

"Jangan panik ya, Tante."

"Jangan bikin Tante makin penasaran deh! langsung to the poin aja nak ...." Omel Nisa.

"Bang Tahfiz ... Atau suaminya Anak Tante meninggal dunia."

"Apa! Kamu jangan bercanda yah, candaan kamu ngga lucu tau."

"Hafiz lagi ngga bercanda Tante ...."

"Hiks, yaudah saya sekarang akan langsung kesana, Assalamualaikum." Ucap Nisa langsung menutup telponnya.

Hafiz menghela napasnya, ia juga sangat sedih dan hancur banget. Ia merasa bersalah banget pada Abangnya, ia telah berdoa yang enggak-enggak jadi inilah doanya yang terkabulkan.

"Gimana, nak." Tanya Umi menatap Hafiz.

"Orang tuanya terkejut sekaligus panik, sekarang lagi menuju kesini."

Beberapa menit kemudian, setelah Anindya sudah tenang dan tidak histeris lagi, Anindya diantarkan ke ruang jenazah tempat suaminya.

Sesampainya di ruang jenazah, Anindya berlari tak sabaran menuju brangkar atas nama suaminya. Tangan Anindya bergetar ketika mencoba membuka kain putih yang menutupi seluruh tubuh suaminya.

Setelah kain putih itu dibuka, Anindya tetep tidak percaya dengan apa yang terjadi pada suaminya. Jasad suaminya yang terbujur kaku dan tangan yang dingin ketika Anindya menyentuhnya.

"Mas Tahfiz, aku mohon jangan bercanda ... Anindya lagi hamil anak mas yang belum lahir loh." Lirih Anindya tak tahan meluncurkan air matanya.

"Aku mohon mas ... Jangan tinggalin aku."

________________________

Jazakumullahu Khairan Katsiran sudah membaca
"Dijodohin With Gus"

Sampai jumpa my reader's!

Dijodohin With Gus | End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang