part : 61

18.7K 1K 23
                                    

Aku hanya orang dibalik layar, membuat orang lain bahagia dan sering kali dilupakan.- Hafiz

-Happy reading-

"Aku udah ikhlas, Bang." Ucap Hafiz setelah menceritakan semua tentangnya dan Anindya dengan jelas sebenar-benarnya tanpa di lebih-lebihkan sama sekali setelah Tahfiz diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

"Abang juga gak tau, maafin Abang juga ya, Dek. Ketika kamu ikhlas menerima semua kekecewaan dalam hidup, maka Allah akan membayar tuntas kecewamu dengan beribu-ribu kebaikan, belajarlah untuk mengerti bahwa segala sesuatu yang baik untukmu, tidak akan Allah izinkan pergi kecuali akan diganti dengan yang lebih baik lagi." Tahfiz mengelus bahu Hafiz.

"Iya Bang, bahagiain Anindya ehh! Kakak ipar maksudnya."

Tahfiz tersenyum. "Pasti kalau itu mah ..."

Hafiz tersenyum samar. "Abang jadi pulang setelah ini?"

Tahfiz menganggukkan kepalanya. "Iya, pondok pesantren butuh Abi sama Umi, makanya nggak bisa lama-lama disini."

"Sekarang kakak ipar dimana?"

"Mau apa nanyain?!"

"Ck! posesif amat, udah sepenuhnya milik Abang juga."

"Biarin."

"Nanya doang banggg."

"Lagi sama Bundanya di kamar."

Hafiz menganggukkan kepalanya. "Yaudah, aku mau ke kampus dulu deh, lagi ada matkul hari ini."

"Hati-hati."

"Iya Bang, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Tahfiz meninggalkan kamar Hafiz lalu berjalan menuju kamarnya dengan langkah yang bisa di bilang cepat.

"Assalamualaikum." Ucap Tahfiz sembari mengetuk pintu kamarnya.

"Waalaikumsalam, masuk aja nggak di kunci."

Tahfiz pun membuka pintu dan masuk ke dalam, terlihatlah istrinya dengan mertuanya yang sedang menyantap makanan dengan sangat hikmat.

"Gabung sini, Nak." Ajak Bunda pada sang menantu.

Tahfiz tersenyum. "Iya, Bun."

"Enak banget makanan disini, sesuai sama harganya." Celetuk Bunda  senang.

"Enak si enak, tapi lebih enakan masakan Aku."

"Emang iya?" Tanya Bunda tidak percaya.

"Bunda sih, nggak percayaan sama anaknya."

"Musrik."

"Ihh! Bunda mahh"

"Iya-iya, sayang. Bunda iyain deh" Bunda terkekeh kecil.

"Kayaknya perut aku udah nggak muat deh." Anindya mengelus perutnya yang tertutup baju.

"Bunda juga."

Sedangkan Tahfiz yang memakan makanannya di sofa hanya menjadi pendengar setia antara Bunda dan Anaknya.

"Bunda mau ke kamar dulu, sayang. Ayah nunggu nggak ya Bunda tinggal lama." Ujar Bunda sedikit khawatir.

"Masa ditinggal sebentar aja udah kangen, Bun."

"Ayah kamu gitu lohh, ditinggal sebentar aja udah kangen." Balas Bunda tertawa pelan.

"Assalamualaikum." Sambungnya.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab Tahfiz dan Anindya kompak.

Tahfiz mendekat ke arah Anindya yang berjalan menuju teras hotel.

"Mas."

"Kenapa, hm?"

"Mau anak kita laki-laki atau perempuan." Anindya menoleh kesamping menghadap suaminya.

Tahfiz tersenyum bergerak memeluk Anindya dari belakang serta mengelus perut Anindya yang mulai membuncit itu.

"Laki sama perempuan sama aja, sedikasihnya aja sama Allah."

"Tapi Mas sendiri maunya laki-laki atau perempuan?" Tanya Anindya masih menuntut jawaban.

"Perempuan, biar ada yang menyaingi kecantikan kamu." Jawab Tahfiz usil.

Anindya menatap suaminya sinis, "Gitu ihh. Gak boleh ada yang nyaingin kecantikan aku Mas!" Anindya geram.

"Masak sama anak sendiri iri" Tahfiz menaik turunkan alisnya sambil berganti mengelus kepala Anindya.

Anindya memanyunkan bibirnya, "Iya juga sih... Tapi Mas Tahfiz juga salah."

"Kok gitu?"

"Iya, harusnya Mas Tahfiz bilangnya sama-sama cantiknya."

"Iya, sayang.." Tahfiz gemas sendiri dengan istrinya ini, ia mengelus pipi Anindya pelan.

"Sepertinya jantung kita sama-sama nggak aman, Mas" Celetuk Anindya tiba-tiba.

"Hahahaahha" Mereka berdua saling tertawa lepas malam hari ini.

"Sedikasihnya aja, sayang." Ujar Tahfiz setelahnya.

"Iya, Anindya sudah sangat bersyukur karena dia hadir diantara kita. Laki-laki maupun perempuan tidak masalah." Anindya berucap sembari mengelus perutnya.

Tahfiz mengecup puncak kepala Anindya, merangkul pundaknya untuk bersandar.

"Udah siap kopernya?" Tanya Tahfiz di sela-sela berpelukan.

"Udah, tadi dibantu Bunda." Balas Anindya sembari berjalan menuju koper.

"Saya mau bilang sesuatu."

"Apa?" Anindya penasaran dengan lanjutan ucapan Tahfiz.

"Orang pondok udah tahu, siapa istri Gus-nya yang membuat mereka selama ini penasaran."

Anindya mengalihkan pandangannya dari koper yang akan ditujunya, ia menoleh cepat pada Tahfiz. Tidak ada yang perlu dijawab melalui ucapan, dari sorot matanya pasti suaminya itu tahu apa yang Anindya rasakan.

"Kamu nggak nyesel kan."

Anindya menggelengkan kepalanya dan menghembuskan napasnya. "Mereka tau dari mana?"

"Dari—"

______________________


huhuhu Nggak nyangka udah nyampe part (61) ini😭

Aku mau minta maaf bila ada kata-kata di cerita ini yang menyinggung kalian...


Sekian, terima vote

Dijodohin With Gus | End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang