part : 57

17.3K 1.1K 38
                                    

Aku sudah memulainya dengan "bismillah", tidak boleh menyerah sampai aku bisa mengatakan "Alhamdulillah"

-Happy reading all-

"Habis dari mana tadi." Tanya Tahfiz ketika melihat Anindya baru masuk ke kamar.

Kasih tau gak ya? tapi kalo marah gimana?

"Habis dari mana?" Tanyanya lagi.

"Emmm, habis dari kamar Umi." Jawab Anindya menetralkan pandangannya agar tidak ketahuan kalau ia berbohong.

Sesekali bohong gak papa kan yah, ya Allah maafin Anindya.

"Jangan bohong." Tuding Tahfiz mengubah ekspresinya menjadi datar.

Anindya memejamkan matanya sebentar. "E-enggak, kok..."

Tahfiz menarik napasnya pelan. "Saya tadi baru saja dari kamar Umi, gak mungkin kamu dari sana."

Degg!

Anindya membelalakkan matanya, jantungnya sangat boros berdetak dengan cepat, ia bingung mau menjawab apa sekarang. Apalagi wajah Tahfiz menjadi datar, hati Anindya makin bergejolak tegang.

"Jawab pertanyaan saya dengan jujur."

Tangan Anindya bergetar, ia tahu semarah-marahnya Tahfiz tidak pernah menampilkan wajah datarnya, tapi kali ini? ia dibuat terkejut sekali.

"Tadi... dari roftoop." Jawab Anindya.

"Sama siapa?" Tanya Tahfiz penuh menyelidik.

Menghela napasnya pelan. "Di ajak Hafiz." Jawab Anindya lagi dengan memejamkan matanya.

"Syukron mau jujur, tapi kenapa pintu roftoop di tutup? Pantaskah dua orang bukan mahramnya dalam satu ruangan?" Keluh Tahfiz mencoba sabar mengendalikan emosinya.

"Maafin Anindya, tapi di dalam cuma ngobrol gak ngapa-ngapain kok." Anindya menitikkan air matanya yang tidak bisa ditahannya lagi.

Tahfiz menoleh ke arah lain, ia tidak kuat melihat istrinya menangis di depannya. "Jangan nangis."

"Hiks hiks hiks, jangan marah..." Racau Anindya memohon.

"Sini."

Anindya pun menurut dan mendekat, Tahfiz memeluk Anindya sembari memejamkan matanya, ia tidak tahan lagi untuk melihat istrinya menangis, apalagi keadaannya yang sedang hamil anaknya.

"Jangan nangis."

"Jangan marah yaaaaa"

"Saya mau keluar, Assalamualaikum." Tahfiz mengakhiri pelukannya dan keluar meninggalkan Anindya sendiri di kamar.

***

"Arghhh! Kenapa sampai sekarang gue tetep suka sama Lo Anindya?!" Racau Hafiz memukul stir mobilnya.

Hafiz mengendarai mobilnya cukup cepat, udah beberapa kali ia hilang kendali, namun ia tetap kekeuh melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.

Pengendara lainnya juga jadi terganggu dengan Hafiz yang menyalip tak tanggung-tanggung, meneriakinya dan memakinya dengan sumpah serapah yang menusuk hati, tapi Hafiz tetep keras kepala.

Hafiz tujuannya kali ini ingin ke sebuah tempat yang sering di tuju ketika ia sedang menenangkan dirinya. Yaitu sebuah danau yang lumayan jauh dari hotel yang ditempatinya, di dekat sana Hafiz memiliki rumah yang tidak begitu besar, tapi tempat itu membuatnya nyaman dan tenang.

Sesampainya, Hafiz langsung beranjak menuju danau itu yang tempatnya berada di belakang rumahnya.

Hafiz menjatuhkan tubuhnya di tanah, hari ini hari yang sangat buruk baginya.

"Anindya!!! Gue udah terlanjur sayang sama Lo, tapi kenapa Lo ninggalin gue... Arghhh" Teriak Hafiz melempar batu lumayan besar ke danau.

"Lo... Malah nikah sama Abang gue sendiri. " Ucap Hafiz terkekeh pelan.

"Gue udah kasih surat itu sama Lo, apa kurang jelas kalau aku mau serius sama Lo?!" Jerit Hafiz tak terkendali.

Hafiz menghela napasnya panjang, ia masih tak terima kalau Anindya sudah menjadi kakak iparnya.

Padahal Hafiz sudah berusaha keras untuk lulus lebih cepat dengan mendapatkan gelar cumlaude di universitasnya.

"Di sini gue lelah, menjadi mahasiswa diluar negeri itu berat. Menahan rindu sama orang tua, harus bisa hidup mandiri, kalo sakit gak ada yang ngerawat. Sialan!"

Hafiz menghela napasnya pelan sembari menatap nanar danau yang membuatnya tenang. "Kenapa sih, Bang. kebahagiaan mesti berpihak sama Lo terus...  Abang yang selalu dibangga-banggain sama Abi dan Umi, Abang milikin orang yang aku cinta, apalagi sekarang lagi hamil anak Abang. Kapan Abang merasakan sedih?! Hafiz tunggu itu."

"Aku ngga pernah meminta, perasaan ini masuk dalam sanubariku, perasaan yang membuat bahagia namun menyiksa, menyayat, membunuh perlahan-lahan. Ya Allah, entah perasaan ini ujian, berupa cobaan atau nikmat, aku tak dapat membedakannya. Tolonglah hambamu ini ya Allah, kuatkanlah hamba karena perasaan ini sangat menyiksa, jangan biarkan perasaan ini membuatku berpaling darimu ya Allah, aku sangat tersakiti ya Allah, apalagi orang yang membuatku jatuh hati adalah istri Abangku sendiri, aku tak mau terlalu berharap pada makhlukmu ya Allah."

Setelah puas mengeluarkan semua unek-uneknya, Hafiz akan kembali ke hotel. Hafiz sangat lemas karena belum makan dari tadi pagi, ditambah ia sangat kecewa dengan Anindya. Rasanya Hafiz tidak bergairah lagi untuk hidup.

"Cara satu-satunya hanya satu kata, ikhlas."

___________________

Semoga kalian suka♡
Baca part selanjutnya ...

See you!

Dijodohin With Gus | End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang