7 : Mau jadi pacar saya, tidak?

99 14 0
                                    

“Maira calon istri saya, Bu.”

Maira refleks mendongak dan menatap Nino tajam. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum manis tanpa dosa. Maira menatap Bu Arifah lagi. “Tidak, Bu. Dia hanya bercanda.”

Nino menggeleng. “Tidak, Bu. Saya serius. Pernikahan bukan candaan. Mana berani saya bercanda tentang hubungan seserius itu?”

“Memang kamu serius mau jadiin Maira istri kamu?” tanya Bu Arifah.

Nino mengangguk yakin dan melirik Maira. “Setelah kelulusan nanti saya akan langsung menghalalkannya, Bu.”

Maira melotot.

Bu Arifah tertawa, kemudian ditatapnya lagi Maira. “Maira, kamu mau?”

Maira menggeleng.

Nino menggembungkan kedua pipi tegasnya. “Tapi kan saya mencintaimu, Mai.”

Maira berdecak. “Tapi saya tidak.”

Lagi-lagi Bu Arifah tertawa. Sekarang ia tau kebenaran dari berita yang ramai di ruang guru kemarin. Bahwa ada anak baru bernama Nino yang mengejar-ngejar siswi bernama Maira.

“Ya sudah, saya tinggal dulu. Kalian di dalem jangan macem-macem ya? Saya percaya loh sama kalian.”

Maira dan Nino mengangguk.

“Terima kasih, Bu.”

“Sama-sama.”

Setelah Bu Arifah pergi, Maira dan Nino masuk ke dalam perpustakaan yang masih lumayan gelap itu. Maira mulai membuka satu demi satu jendela di sana, Nino pun melakukan hal yang sama.

Perlahan sinar matahari mulai masuk ke dalam ruangan penuh buku itu.

Setelah selesai, Maira menuju ke rak-rak buku kelas dua SMA untuk mengambilkan buku-buku Nino. Nino mengikutinya lagi.

Nino mengambil satu buku yang dipilihkan Maira untuknya. Saat ia cek, ada sobekan kecil di bagian daftar pustaka buku itu.

“Maira?”

“Buku ini sobek.”

“Itu cuma sobekan kecil,” ketus Maira yang sedang mencarikan buku mapel yang lain.

“Tapi tulisannya jadi terpotong.”

Maira menghela napas. “Memang kamu membaca daftar pustaka bukunya?”

Nino menggeleng.

Dalam hati cowok itu menertawakan dirinya sendiri. Membaca daftar pustaka?? Yang benar saja! Dia membaca buku sekolah saja tidak pernah! Apalagi daftar pustakanya!

“Sayang banget, sobekan kecil buat buku ini jadi ngga sempurna,” gumam Nino pelan.

“Ya 'kan, Mai?”

“Di dunia ini tidak ada yang sempurna,” balas Maira sembari fokus menuliskan nomor seri semua buku Nino ke kertas formulir dari Bu Arifah tadi.

“Tapi, di mata saya kamu sudah sempurna.”

Hening.

Nino tersenyum dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Sempurna untuk jadi pasangan hidup saya.”

“Kembalilah ke kelas,” ketus Maira.

Nino menggeleng.

Maira pergi ke rak buku yang lain untuk ia rapikan tatanan buku-bukunya. Nino tersenyum dan mengikutinya lagi. Cowok itu ikut melakukan apa yang Maira lakukan. “Kenapa menatanya?"

“Tidak papa.”

Nino mengangguk. “Oke, Mama.”

Maira menghela napas.

Sabar…

🍁🍁🍁

Anak-anak 2A-7 yang baru datang mengernyit bingung. Di kelas mereka sudah ada tasnya Maira dan Nino. Tapi dua manusianya tidak ada.

“Maira sama Nino ke mana?”

“Ini tasnya ada, orangnya pada gak ada.”

“Hmm mencurigakan.”

“Lagi di KUA,” canda Melvin.

Satu kelas menoleh dan mengernyit bingung. “Ngapain?”

“Nikah lah. Masa honeymoon,” sahut Enzi.

“Ngadi-ngadi.”

Anak-anak kelas berkerumun dan saling membahas yang menarik bagi mereka. Biasalah, obrolan pagi. “Nino beneran suka sama Maira gak, sih?”

“Awas kalo sampe bikin Maira jadi sedih.”

“Awas aja kalo sampe berani macem-macem ke Maira, gue gebukin,” sahut Diana si cewek bar-bar.

“Kita gebukin satu kelas.”

“Ta-tapi kayaknya Nino serius deh.”

“Keknya dia emang tulus sih.”

“Keliatan tulus banget kalo dari matanya.”

“Mereka juga cocok sih. Maira kalem trus kalo si Nino asik gitu, humoris. Udah gitu keliatan tulus banget ke Maira. Pasti nih kalo mereka nikah, rumah tangga mereka bakal seru banget.”

Anak-anak kompak mengangguk setuju.

“Nino bukan idamannya Maira,” sahut Keylo yang sedang di pojok kelas. Biasalah, main game.

“Nah, Maira mana mau dideketin seagresif itu,” imbuh Dean. Hampir semua cowok di kelas itu juga mengangguk setuju. Semua murid perempuan di kelas saling berpandangan dan tersenyum.

“Uhuk… uhuk… ”

“Ekhem, ada yang cemburu nih.”

“Uhuk uhuk, aer dong. Keselek banyak pangeran kodok nih gue.”

“Duh sayang banget Maira gak pernah tau ada berapa cowok aja yang curhat ke gue yang katanya pada jatuh hati ke dia. Udah gitu susah banget move on nya,” celetuk Zeta.

Seketika satu kelas langsung riuh.

Maira memang tidak mencolok karena kecantikan fisiknya. Sekilas dia terlihat seperti gadis berekspresi dingin yang hatinya beku. Tapi seperti ada pesona yang kuat dari dirinya.

Sebagian cowok di kelas itu hanya berdecak, sebagian lagi terpantau samar-samar tersenyum tipis. Entah apa arti senyuman-senyuman itu.

Naya, Nora, dan Riri yang sejak tadi hanya diam menyimak pun saling berpandangan. Sepertinya mereka sedang ada di satu pemikiran yang sama. Tapi mereka tidak tau apa-apa mengenai maksud ucapan Zeta itu.

Di sisi lain, Keylo bangkit dari duduknya dan memasukkan ponsel ke saku celana. “Nanti bilangin ke Maira. Gue mau ngomongin sesuatu sama dia,” ucapnya ke yang lain sambil berjalan keluar kelas.

Hening.

Detik berikutnya kelas langsung riuh.

“MAU NGOMONGIN APAAN, KEYY??” kepo Elden.

“Mau titip uang arisannya Mama,” santai Keylo membuat kelas lagi-lagi gaduh karena kecewa.

“KIRAIN NGOMONGIN MASALAH HATI!”

🍁🍁🍁

“Kembalilah ke kelas.”

Nino menggeleng. “Tidak mau, Maira. Saya mau membantu Calon Istri saya di sini.”

Maira mendengus dan membenahi letak kacamatanya yang turun. “Saya bukan calon istri kamu,” ketusnya.

Nino manggut-manggut. “Ya udah, kamu bukan calon istri saya. Tapi kamu calon menantu kesayangan Ayah Bunda saya, calon pendamping hidup saya, sekaligus calon ibu dari semua anak-anak saya nanti.”

Maira menarik napas.

Sabar.

Nino tersenyum.

“Maira mau jadi pacar saya, tidak?”

TBC

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang