83 : Selamanya

92 12 1
                                    

Radeva menyeka air mata Maira. “Jangan nangis dong. Aku nggak papa kok. Toh biasanya juga gini 'kan? Udah udah, jangan khawatir. Besok kan aku cuci darah lagi,” hiburnya. Namun Maira masih saja tak berhenti menangis.

Radeva duduk bersandar ke headboard kasur, dibantu Maira. Laki-laki itu mengecup singkat kening istrinya dan menyeka air mata di pipi perempuan itu. “Udah, aku nggak papa kok. Jangan nangis lagi ya?”

Maira mengangguk.

“Sayang, bisa tolong bawa Hasbi sama Haura ke sini?” pinta Radeva. Maira mengangguk dan dengan hati-hati menggendong kedua anaknya naik ke tempat tidur. Tapi kedua anak itu terbangun.

“Ayah, Habi aus,” rengek Hasbi.

“Hasbi mau batalin puasa, Nak?” tanya Radeva lembut. Dipeluknya anak itu dengan erat. Kasihan, Hasbi masih agak mengantuk. Tapi karenanya tidur anak itu jadi terganggu.

Hasbi menggeleng.

“Ay-ya!”

Ketiga orang di sana memandang seorang batita yang merangkak mendekati sang Ayah. Radeva memangkukan Hasbi ke Maira, lalu digendongnya batita cantik yang barusan memanggilnya.

“Masya Allah apa, Sayang? Udah bisa panggil Ayah, hmm? Gemes bangett. Coba panggil Ayah lagi, Sayangg,” gemas Radeva sambil ia ciumi wajah batita itu. Ia sangat terharu mendengar panggilan pertama untuknya dari bayinya barusan.

“Ay-ya! Ayyy-yaaaa~”

Radeva tertawa. Diuyel-uyelnya perut si anak cantiknya. “Anak Ayah lucu banget hmmm.” Haura tertawa dengan lucunya.

Maira dan Hasbi tersenyum.

Radeva beralih menatap seorang perempuan dan anak laki-laki di sebelahnya. Radeva cium puncak kepala Hasbi. “Anak Ayah yang paling ganteng, jangan nakal ya? Nurut sama Bunda. Jangan pernah bikin Bunda sedih. Inget pesan-pesan Ayah ya? Jaga juga adik-adik kamu.”

Hasbi mengangguk. “Tapi Ayah, adik Habi kan cuma Hula.”

Radeva melirik istrinya, lalu mencubit pipi si anak sulungnya. “Kata siapa, hmm? Sekarang Habi punya dua adik tau. Atau… bisa aja tiga.”

Hasbi mengerjap. “Benelan?”

Radeva mengangguk.

Hasbi menoleh ke perempuan yang sedang memangkunya. Tapi anak itu langsung terdiam. “Unda enapa nangis? Ini kan puaca, anti puaca Unda batal loh.”

Maira menyeka air matanya, lalu menggeleng dan tersenyum. Radeva terdiam. Tak bisa dipungkiri melihat Maira yang menangis membuatnya ingin menangis juga. Dengan lembut direngkuhnya istri dan kedua anaknya. Keempatnya berpelukan untuk beberapa saat.

Radeva tak bisa lagi menahan air matanya. Laki-laki itu menangis. Perlahan diciumnya wajah Haura dan juga tangan mungil bayi itu. “Jadi anak yang shaliha ya, Sayang? Selalu doain Ayah sama Bunda ya? Ayah sama Bunda sayangg banget sama kamu.”

Entah angin dari mana tapi tiba-tiba saja Haura mulai ikut menangis. Bayi itu menggenggam erat baju Ayahnya sambil terus menangis.

Radeva beralih menciumi wajah Hasbi, serta tangan anak itu. Namun sebelum Radeva bicara, Hasbi lebih dulu membuka suara. Kedua mata anak itu berkaca-kaca. “Ayah enapa nangis juga? Kan katanya Ayah kuat. Kok Ayah nangis?”

Radeva menggeleng. “Nangis bukan berarti lemah, Nak. Ayah nangis pun juga karena Ayah bahagia punya kalian berempat. Ayah bahagiaa bangett.”

Hasbi mengerjap.

“Jadi anak sholeh ya, Bi? Jagoan Ayah nggak boleh nakal ya? Jagain Bunda juga, adik-adik kamu juga. Selalu doain Ayah sama Bunda ya? Ayah sama Bunda juga sayanggg banget sama kamu.”

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang