42 : Perdebatan di bawah Hujan

64 10 0
                                    

Nino membuka-buka isi ranselnya dan ternyata ia menemukan sarung tangan hitam. Itu sarung tangannya. Cowok itu memberikannya ke Maira. “Pakailah, supaya tidak dingin.”

“Tidak perlu.”

“Pakai saja, Maira. Nanti kamu kedinginan.”

Maira pun menurut.

Sekilas Nino mengamati kulit pucat Maira yang semakin memucat. “Kamu sakit, Mai?”

Maira menggeleng. “Tidak. Saya tidak apa-apa,” balasnya. Tapi ia memeriksa tasnya dan mengambil minyak telon di saku depan tas, lalu membaluri tangannya dengan itu. Baru kemudian ia pakai sarung tangan Nino di tangannya.

Ngomong-ngomong soal tangan, syal yang tadi mengikat kedua tangan mereka sudah terlepas saat Nino dan Maira memutuskan untuk naik ke rumah pohon. Jadi sekarang pergelangan tangan mereka sudah tidak terikat lagi.

Maira mengulurkan minyak itu ke Nino. “Kamu mau?”

Nino menerimanya. “Terima kasih.”

“Hm.”

“Maira, saya mau tanya,” ucap Nino sembari membalurkan minyak telon ke kedua tangan.

“Apa?”

“Menurutmu, apa pernikahan dua orang yang tidak saling kenal akan bisa bertahan?”

“Tentu saja.”

“Tapi mereka sama-sama tidak kenal. Bukannya sulit untuk mereka bisa beradaptasi sebagai suami dan istri?”

“Iya.”

“Berarti tidak ada cinta di antara mereka?”

“Cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Cinta itu akan ada karena mereka terbiasa bersama.”

Nino manggut-manggut. “Berarti kalau kita terbiasa bersama, cinta kita akan tumbuh seperti cinta mereka juga?ㅡDuuhhh… kalau cinta saya sih udah tumbuh sampai berbunga semua, Mai. Sampai-sampai hati saya jadi kayak taman deh kayaknya.”

Maira menatap Nino datar. “To the point, sebenarnya apa yang mau kamu katakan?”

Nino menyengir.

“Saya mencintaimu.”

Deg

“Saya bosan mendengarnya,” gumam Maira saking bosannya mendengar celotehan aneh Nino.

“Tapi saya tidak pernah bosan mencintaimu.”

Maira berdecak.

Nino terkekeh geli. Perlahan dahinya mulai berkerut, ia mulai pura-pura berpikir. “Ya sudah, kalau begitu… mencintaimu saya.” Maira langsung menatap Nino aneh.

Nino tersenyum. “Kalimatnya saya balik, biar kamu tidak bosan, Mai.”

Maira mendengus.

Bisa ae si Bucin

“Masih bosan ya?”

Maira diam tak menjawab.

“Kalau begitu… Maira mencintai Nino,” celetuk Nino tak menyerah untuk membuat Maira tersenyum. Maira mendelik tajam.

Nino menyengir. “Oh? Tidak adil ya? Kalau begitu… Nino mencintai Maira dan Maira juga mencintai Nino. Maira dan Nino menikah dan hidup bahagia, punya banyak anak yang lucu-lucuㅡ”

Bugh

Nino meringis.

Barusan Maira memukul lengannya dengan tas mukena yang tebal milik gadis itu. Nino terkekeh geli. Melihat ekspresi lucu Maira saat kesal adalah hal baru yang mungkin sejak saat ini akan menjadi hal favoritnya juga.

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang