68 : Malaikat kecil

285 8 0
                                    

Prince Mohammad Bin Abdulaziz International Airport
Medina, Saudi Arabia

“Salam untuk Abimu ya, Nak.”

Seorang pria bersorban putih, berusia sekitar enam puluh tahunan, berwajah asli Arab namun berdarah Madinah-Indonesia itu menepuk-nepuk bahu laki-laki muda dengan rambut sebahu di depannya.

Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka selalu menebar salam dan menyalami tangan sang pria sepuh dan si anak muda di depannya. Di mata semua orang, beliau adalah orang yang sangat baik. Ia orang yang dihormati bahkan hingga di setiap penjuru negeri.

“Katakan padanya, Kakak kesayangannya ini merindukannya. Oh ya, dan katakan juga kalau anak kesayangannya yang tampan sudah siap menikah.”

Si laki-laki dua puluh lima tahun itu terkekeh. “Tidak, Paman. Saya belum ingin menikah.”

Habib Ali geleng-geleng. “Masih mencintai cintamu yang dulu itu?” Si laki-laki muda hanya tersenyum tipis.

Habib Ali tersenyum. “Apa yang kamu lewatkan, tak diciptakan untukmu. Dan yang diciptakan untukmu, tak akan pernah melewatkanmu.”

Lawan bicara Habib Ali terkekeh pelan sembari manggut-manggut. “Terima kasih atas semua ilmunya, Paman,” tulusnya.

Habib Ali mengangguk. “Semua ilmu itu sejatinya milik Allah. Bersyukurlah padanya, Nak. Paman hanya menyampaikan, semoga berkah untukmu dan orang-orang di sekitarmu. Terima kasih juga selama ini sudah bantu Paman ajar ngaji anak-anak.”

Laki-laki muda mengangguk dan mengamini.

Setelah mengobrol sebentar, kedua orang sayyid itu berpelukan. Dengan berat hati si laki-laki muda menarik kopernya menuju tempat check in, meninggalkan seseorang yang selama ini sudah ia anggap sebagai Ayahnya sendiri. Ia kemudian masuk ke dalam pesawat yang menempuh jarak hingga 8.144 km jauhnya.

Laki-laki berjubah muslim warna putih itu tersenyum menatap langit malam melalui jendela pesawat di sebelah kirinya. Ia rindu tanah airnya, keluarganya, teman-temannya, dan seseorang yang sampai saat ini…

…masih ia usahakan untuk dilupakannya.

Maaf, ucapnya dalam hati.

“Excuse me.”

Laki-laki itu menoleh.

Seorang pramugari berbusana muslim meletakkan satu cup kopi panas ke atas meja lipat penumpang. 

Coffee.”

Laki-laki itu mengangguk. “Thank you.”

“You’re welcome.”

☁️☁️☁️

“Sakit… hiks… ”

Maira menenggelamkan muka ke dada Radeva sambil terus menangis. Perutnya sangat sakit. Entah sudah berapa kali banyaknya ia menggigit lengan, meremas tangan, menjambak rambut, bahkan memukul-mukul bahu serta punggung suaminya.

“Sayang hiks sakit… ”

“Sabar ya, Sayang… ”

Itu semua bukan hal yang sakit bagi Radeva. Semua itu tak ada apa-apanya dibanding ia melihat Maira yang sedang kesakitan di kontraksi pembukaan sepuluh sekarang. Beberapa kali bahkan Radeva menyeka air matanya. Ia ikut menangis, tapi tetap ditahannya sebisa mungkin.

“Maira tarik napas pelan-pelan, trus keluarin pelan-pelan ya,” instruksi Nafa.

“Tarik napas pelan-pelan, Sayang,” pinta Radeva sambil membenahi selimut istrinya.

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang