36 : Dahlah males, Dev

62 9 0
                                    

“Lo deket banget ya sama Maira.”

Radeva yang sedang bermain ponselnya menoleh, menatap cowok yang kini sudah mendudukkan diri ke bangku di sebelahnya. Radeva tersenyum. “Ngga juga.”

Nino beralih menatap Maira yang sedang menenggelamkan muka ke hoodie yang gadis itu letakkan di atas meja. Kebetulan di kelas itu hanya ada mereka berdua, Radeva, Naya, Riri, dan Iva.

Yang lain belum datang. Alasan pertama karena masih jam enam lebih seperempat, yang kedua karena hari ini adalah hari senin. Jadi, masih pada mager sekolah.

“Tapi ngga ada temen Maira yang lebih deket sama dia lebih dari dia deket sama lo. Lo udah kenal banget sama dia.”

Radeva melirik sekilas ke bangku Maira, lalu fokus ke ponselnya lagi. “Tapi ngga ada yang lebih kenal dia lebih dari Allah, 'kan?”

Nino berdecak. “Ya jelas kalo itu mah.”

Radeva terkekeh.

“Eh, Dev Dev.”

“Hmm?”

“Nanti kalo gue sama Maira nikah, gue bisa jamin kalo lo orang pertama yang bakal dapet undangan nikah kita.”

Radeva terkekeh. “Iya iya.”

Nino tersenyum. Sekilas terbesit hal lain yang muncul di benaknya. “Lo… kok nggak cemburu sih, Dev?”

“Cemburu kenapa?”

“Ya kan kalo Maira nikah sama gue, emang lo ngga bakal sakit hati gitu?” tanya Nino mulai serius.

Radeva mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam saku celana seragamnya. “No, jodoh itu udah diatur sama Allah. Gimanapun kita mau perjuangin seseorang yang kita suka tapi kalo dia bukan jodoh kita, ya mau gimana lagi?”

Nino manggut-manggut setuju. “Kira-kira gimana kalo nanti yang jadi jodohnya Maira itu ternyata lo?”

Radeva tersenyum lagi. “Ya berarti lo yang bakal sakit hati, No.”

Nino berdecak. “Dahlah males, Dev.”

Radeva tertawa.

🍁🍁🍁

“Maaf ya anak saya ikut ke sini.”

Bu Atik, guru muda yang mengajar mapel matematika wajib kebetulan pagi ini mengisi kelas 2A-7 di jam pelajaran pertama setelah upacara. Tak seperti biasanya, hari ini guru muda itu mengajar di kelas bersama dengan putri kecilnya. Namun, hal itu justru membuat anak-anak 2A-7 senang.

“Gak papa, Bu.”

“Sering-sering diajak ke sini aja, Bu.”

Bu Atik tersenyum.

Gadis empat tahun yang sedang digandeng Bu Atik itu menatap Maira. Maira tersenyum, anak itu juga tersenyum lebar. “Mamaa, Lita mau cama Kakak itu.”

Bu Atik menggandeng Lita menuju bangku Maira. Lita dan Maira tersenyum. Maira menggenggam tangan anak kecil yang berdiri di sebelah bangkunya. “Hai, Sayang.”

“Iya, Sayang,” sahut Nino refleks.

Semua terbahak.

“WOILAH ADEKNYA YANG DI-SAYANG, NINONYA YANG MELAYANG!” celetuk Rafa membuat semua yang di kelas lagi-lagi tertawa.

Yaa, kecuali Maira.

Maira hanya menghela napas.

“Mau di sini sama Kak Maira?” tanya Bu Atik. Lita mengangguk.

“Maira, Ibu titip Lita ke kamu ya? Biarin dia di sini sama kamu boleh, 'kan?”

Dengan senang hati Maira mengangguk. “Boleh, Bu.”

Pelajaran pun dimulai.

Maira mengangkat tubuh mungil Lita dan mendudukkan anak kecil itu ke pangkuannya. Lita bermain alat tulis milik Maira di atas meja sampai akhirnya berjatuhan.

Nino mengambilkan peralatan tulis milik Maira yang berjatuhan di dekatnya, lalu mengembalikannya ke meja Maira. Cowok itu tersenyum menatap Lita yang duduk di pangkuan Maira. “Sini, Sayang.”

Lita tersenyum malu dan menutup muka dengan kerudung instan Maira.

Semua orang tersenyum.

Maira memeluk Lita. “Kenapa?”

“Kakaknya anteng, Lita mayu,” bisik Dela.

Maira tersenyum. Gadis itu kembali memperhatikan penjelasan Bu Atik di papan tulis. Sesekali diusap-usapnya kepala Lita agar anak itu lebih nyaman. Setidaknya Maira yang biasa tak pernah betah kalau sedang pelajaran, kali ini ia merasa lebih betah karena kehadiran gadis kecil di pangkuannya.

Hari demi hari, bulan demi bulan tak terasa sudah berganti dengan cepatnya. Ada banyak hal yang sudah dilewati oleh anak-anak SMA setiap harinya. Mulai dari tugas yang spam, ulangan dadakan, praktikum, dan masih banyak lagi yang membuat kepala pusing delapan keliling.

09.30 AM

Kelas 2A-7.

Hani dan Orion mengusap-usap dada, melihat situasi kelas mereka yang sudah seperti kapal pecah. “Astaghfirullah, gini amat kelas gua.”

“TEMAN-TEMAN SEMUA. MOHON TENANG, INI ADA PENGUMUMANNN.”

Anak-anak 2A-7 langsung diam dan menoleh ke arah suara, di mana ketua dan sang wakil ketua kelas mereka sedang berkacak pinggang di depan kelas.

“Mulai minggu depan kita udah harus ujian semester akhir. Jadwalnya udah gue share di grup kelas. Kalo nomor ujiannya bakal dibagi lusa.”

Seketika kelas langsung riuh. Bukan karena mereka membicarakan tentang ujian semester akhir, tapi mereka justru membicarakan rencana untuk liburan bersama sebelum menginjak bangku penuh tekanan, kelas 12.

“YANG SEMANGAT SEMUA WOII!! HABIS UJIAN NANTI KITA LIBURAN YUHUU!!”

“SOK ATUHH!!”

“LIBURAN KE PANTAI AJA!”

“HEH JANGAN, NTAR GUE MAKIN GOSONG!”

“YA UDAH, KE PUNCAK AJA BIAR KITA MAKIN PUTIH.”

“ADA YA NIATAN LIBURANNYA KAYAK GITU.”

“BIASALAH, PEJUANG GLOWING.”

“MAI MAI HIDUNG LO!!”

Maira refleks mengusap hidungnya. Tangan kanan yang barusan ia gunakan untuk mengusap hidungnya langsung basah oleh cairan kental berwarna merah yang berbau anyir. Maira langsung berlari menuju wastafel di depan kelas dan membersihkan darah mimisannya.

“Maira dapet berita ujian semester langsung shock,” kekeh Patrizia yang disusul kekehan beberapa siswa lain.

“Ini.”

Maira melirik sekilas sapu tangan putih yang terulur padanya, lalu menggeleng.

“Ini bersih kok, Mai.”

“Gratis juga kok,” lanjut Nino membuat Maira semakin kesal.

“Saya bercanda, Maii. Ini pake aja,” khawatir Nino karena darah di hidung Maira masih tak berhenti mengalir. Sedangkan gadis yang masih menunduk di depan wastafel sambil membasuh hidung dengan air mengalir itu masih bersikukuh menolak sapu tangan darinya.

“TERUSKAN SAMPAI TITIK TERINDAH MENURUT TAKDIR, NOO!” teriak para cowok dari dalam kelas A-7. Nino tersenyum dan mengacungkan jari jempolnya.

“Mai, darahnya ngga akan berhenti kaloㅡ” ucapan Nino langsung terpotong karena secara tiba-tiba Maira menerima sapu tangannya lalu gadis itu berlari ke kamar mandi.

Nino tersenyum.

TBC

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang