93 : Mleyot

68 11 0
                                    

“Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga.”

“Alhamdulillah,” gumam Maira.

Nino memindahkan pangeran kecilnya yang sedang tidur ke sofa ruang tamu, ia lalu mengambil koper-koper dari dalam mobil untuk ia bawa masuk ke rumah. Sengaja tak membiarkan Maira membantunya karena Maira pasti lelah setelah menempuh perjalanan panjang

“Kamu duduk dulu sini, Mai. Atau duduk di singgasana dalam hati saya juga nggak papa,” kekeh Nino sambil menuntun Maira duduk di sofa dekat Hasbi. Maira menghela napas.

“Kemarin, Alhamdulillah rumah ini sudah dibersihkan teman-teman saya. Jadi kita tinggal menata barang-barang saja.”

“Kamu punya teman?” canda Maira.

Nino terkekeh. “Masa ada sih orang yang tidak mau temenan sama cowok ganteng kayak saya?”

“Ada.”

“Siapa?”

“Saya.”

“Iyalah kamu tidak mau temenan sama saya, soalnya kamu itu kan kesayangan saya. Jadi lebih dari temen dong.”

“Terserah deh, No.”

Maira mengamati setiap sudut rumah baru mereka. Itu rumah yang Nino tempati sendiri selama belajar di Madinah dulu, tak heran jika rumah itu terbilang lumayan kecil. Nino memang sudah menawarinya membeli rumah baru yang lebih besar, tapi ia menolak.

“Maaf ya Mai, mungkin rumah ini terlalu kecil untuk kalian.”

“Tidak kok. Ini sudah lebih dari cukup Insya Allah.”

“Benar tidak papa?”

“Iya. Ini sudah lumayan besar kok.”

Nino tersenyum. Ia usap-usap kepala Maira. “Saya beruntung memiliki istri sepertimu. Terima kasih.”

“Untuk?”

“Sudah menjadi bidadari saya.”

Maira tersenyum tipis.

“Kamu senyum tipis saja sudah buat saya meleleh, Mai,” kekeh Nino. Jiwa bucinnya kumat lagi. Maira hanya geleng-geleng.

“Yayayaaa!!”

“Utututu apa, Cantik? Kok marah?”

“Yayaya tata!!” celoteh bayi kecil di pangkuan Maira. Maira dan Nino tertawa.

“Maksudnya Ayah jangan gangguin Bunda gitu ya, Sayang?”

“Yaaaa!”

Lagi-lagi Nino dan Maira tertawa.

Haura terdiam menatap Nino. Kedua manik mata jernihnya perlahan mulai berkaca-kaca, lalu anak itu menangis.

“Cup cup cup, Sayang… kok nangis? Anak Bunda yang cantik kok nangis?” Maira memberikan sebuah boneka anak ayam ke putrinya. Haura memeluk boneka itu erat saat Nino hendak merebut si boneka.

“Halo Hula, namaku Budi,” ucap Nino. Tawa Maira meledak. Haura terdiam menatap sang Bunda, lalu ikut tertawa.

Nino terkekeh, ia usap-usap kepala Haura dan dikecupnya singkat. “Biar saya yang beres-beres rumah, Mai. Kamu sama Haura istirahat saja. Kalian pasti capek.”

Maira mengangguk. Setelah Nino pergi, Maira menidurkan Haura di keranjang bayi. Sedangkan dirinya duduk di karpet bawah sambil mengayunkan keranjang itu juga mengusap-usap kepala Hasbi.

“Ini kota impian Ayah kalian, Sayang. Kita di sini sama-sama penuhi impian Ayah ya?”

Selesai beres-beres, mandi, dan shalat, Nino kembali duduk di sebelah istri dan anak-anaknya yang sedang tidur. Nino menyeka lembut sisa air mata di pipi Maira. Tak ingin membangunkan ketiganya, Nino pergi ke dapur dan mulai berkutat dengan bahan-bahan makanan. Ia yang akan memasak untuk makan siang hari ini.

Romansa Cakrawala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang